Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRARAS adalah sebuah kawasan di pedalaman Timor Leste. Orang Portugis, bekas penjajah eks Provinsi Timor Timur, kadang menyebutnya “Kraras”, tapi pada kesempatan lain mengejanya “Craras”. Ia hanya puluhan kilometer dari Viqueque, ibu kota kabupaten, kota terbesar ketiga di negeri itu. Di Dusun Bibileo dan bukit hijau yang indah serta sungai di sekitarnya, tersisa sejumlah rumah penduduk, sebuah lapangan berbukit-bukit, dan sebuah gedung bekas pusat komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Tentara Nasional Indonesia) saat saya kunjungi pada 2013.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik semua itu, Kraras menyingkap sejarah berdarah. Andaikata pohon bisa bercerita, mereka akan menjadi saksi suatu pembantaian keji. Tahun 1983 hampir menjadi tahun penentu bagi perjuangan bangsa Timor Leste. Menjelang 17 Agustus 1983, sebuah tim zeni ABRI menyiapkan perayaan ulang tahun Proklamasi Indonesia. Tak lama kemudian, tim zeni itu diundang menghadiri pesta makan oleh penduduk setempat. Pesta makan itu berubah menjadi malam berdarah. Belasan tamu dibantai. Seorang perwira rohani tim zeni tersebut menjadi saksi mata dari atas sebuah pohon. Sebulan kemudian, ia mengabarkannya ke satuan ABRI di Viqueque.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saat itu, Kraras sarat pratanda “Zaman Bergerak”. Sejumlah anggota pertahanan sipil dan ratih (rakyat terlatih) yang dimobilisasi tentara Indonesia tengah menyiapkan pembelotan. Serbuan tentara Indonesia ke Timor Timur sepanjang 1975-1978 telah membawa perang dan bencana kemanusiaan. Sekitar 300 ribu prajurit gerilya dan warga sipil, atau sepertiga penduduk jajahan Portugis, tewas akibat perang dan musibah gagal panen. Tahun 1980-an menjadi semacam intermezzo yang rawan, tak menentu.
Di Jakarta, Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf menginisiasi pembicaraan damai melalui Komandan Resor Militer Kolonel Poerwanto yang disambut oleh Gubernur Mário Viegas Carrascalao dan pemimpin gerilya, Kay Rala Xanana Gusmão. Pertengahan Maret 1983, Poerwanto dan Xanana bertemu kurang dari seminggu dalam apa yang mereka sebut sebagai “kontak damai”. Kata “kontak” itu menandakan harapan dan insting kecurigaan yang melekat di kedua pihak. Pembicaraan terjadi tanpa akhir yang jelas, kecuali makan malam bersama. Lahirlah momentum baru bagi kedua pihak.
Di balik layar, kelompok pejuang Timor, Front Radikal Timor Merdeka (Fretilin), menyiapkan gerakan kebangkitan rakyat atau levantamento. Sementara itu, ABRI, seperti belakangan terungkap dari pernyataan Benny Moerdani dan Prabowo Subianto, khawatir kontak damai tersebut dimanfaatkan Pasukan Pertahanan Timor Leste (Falintil atau disebut juga F-FDTL) untuk menggalang kekuatan. Dugaan itu nyata. Malam berdarah pada Agustus tersebut menginterupsi rencana levantamento, yang sedianya akan berawal di Los Palos, di ujung timur, menuju Bacau.
Aksi pembalasan ABRI berupa serangkaian pembantaian di Kraras sepanjang September mengakhiri kontak damai. Latar penyulutnya belum jelas, tapi Gubernur Carrascalao dengan nada marah mengungkap pratandanya. Dia memastikan “ada ulah Kapten Prabowo”, lalu mengajak Kolonel Poerwanto meninggalkan lokasi kontak damai. Demikian penjelasan Carrascalao kepada Indonesianis beken, Ben Anderson.
Sejak saat itulah terjadi serangkaian prahara. Kejadiannya berlapis-lapis: dari bukit Bibileo ke tepi sungai Wetuku dan sekitarnya. Semua itu kemudian disebut “Peristiwa Kraras”. Di sebuah desa, ratusan penduduk dikurung dan dibiarkan mati kelaparan. Sekitar 300 mantan petugas pertahanan sipil dan penduduk setempat dihujani peluru. Ini tak hanya sekali, tapi terjadi berkali-kali di sejumlah lokasi. Laporan pelanggaran hak asasi manusia di Timor yang dibuat Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), Chega!, mencatat ratusan nama korban dan merinci lokasinya. Desa Kraras kemudian masyhur dengan julukan “Desa Janda”. Pada 2013, pemerintah Timor Leste memperingati prahara itu dengan menggelar perayaan nasional dengan sebuah upacara khidmat. Pada 2017, film Beatrice memperkenalkannya ke dunia.
Letnan Jenderal Lere Anan Timur, mantan gerilyawan yang menjadi Panglima Tentara Timor Leste F-FDTL (2011-2022), ketika saya temui pada 2019, memastikan, “Ya, saya lihat Prabowo dari atas bukit Ai-Sahe (sekitar Kraras).” Sementara itu, menanggapi pertanyaan saya di harian The Jakarta Post edisi 20 Desember 2013, Prabowo membantah kabar bahwa dia pernah berada di Kraras. Meski begitu, banyak saksi memastikan dia berada di Kabupaten Viqueque kala itu. Yang terang, komandan satuan Chandraka-8 itu sering mondar-mandir ke Timor tanpa seizin atasannya. Arsip Timor memastikan dia beroperasi di kawasan timur. Ganjil bila seorang perwira sepenting Prabowo, menantu Presiden Soeharto, hanya memantau berbagai peristiwa di Kraras tanpa mengkoordinasikannya dari kejauhan, dari Kota Viqueque atau tempat lain.
Kraras sepanjang September 1983 itu adalah sebuah halaman hitam bagi Timor Leste, seperti prahara 1965-1966 bagi Indonesia. Ratusan riwayat terkubur di situ. Perubahan kiblat politik terjadi, seperti dikisahkan oleh Padre Maubere. Romo yang berbasis di Viqueque itu, yang semula menyambut gagasan integrasi, balik badan menjadi pembela rakyat lokal. Di situ pastor populer tersebut mengaku pernah berdebat panas dengan Kapten Prabowo Subianto.
Dari momentum dasawarsa berdarah 1980-an itu kelak lahir Dewan Perlawanan Nasional Maubere (CNRM) pada 1986, sebuah front persatuan atas nama seluruh bangsa, yang kemudian bernama CNRT (“T” dari Timor, pada 1999). Berkat tekanan dunia dan kepiawaian konstitusional Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, CNRT menjemput kemenangan dalam jajak pendapat Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1999 dan restorasi kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste pada 2002.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kraras"