Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Makna Kebahagiaan Para Pembisik Gajah

Orang kuno lebih terampil dalam mencari dan mencapai makna kebahagiaan dibanding orang modern.

25 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“SAYA belum lama kehilangan anak perempuan. Sedihnya tak tepermanai. Bagiku, Raghu adalah hadiah dari Tuhan. Ketika air mataku mengalir karena kesedihan, Raghu mengusap dengan belalainya. Usapan Raghu menghiburku. Merawat Raghu seperti memberiku kembali kesempatan merawat anak perempuan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa Raghu? Ya, ia seekor gajah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya terpesona melihat kehidupan laki-laki dan perempuan tua itu—belakangan mereka menikah—yang hidup amat sederhana di desa hutan suaka gajah di India Selatan. Mereka mendapatkan kebahagiaan “hanya” melalui persahabatan dengan seekor gajah—belakangan ditambah satu lagi gajah bernama Ammu. Hidup keduanya berporos pada pengasuhan kedua gajah itu, sambil sesekali beribadah di pura sederhana berukuran 1,5 x 2 meter yang mereka bangun di tanah mereka sendiri di tengah hutan. Memang bukan tidak ada drama dalam hidup Bomman dan Bellie, kedua pembisik gajah itu.

Bomman dan Bellie benar-benar telah mendapatkan kebahagiaan, yang dicari semua orang, melalui hidup bersahabat dengan alam. Kutipan di awal tulisan ini adalah ungkapan rasa syukur Bellie atas kehadiran gajah-gajah itu dalam kehidupan mereka. Bagi keduanya, gajah-gajah itu seperti jelmaan Dewa Ganesha yang mereka puja di pura kecil tersebut.

Begitu bersahabatnya mereka dengan alam, mereka tak mau memakai alas kaki untuk berjalan mengarungi bumi tempat mereka hidup. Saya duga, karena berjalan dengan kaki tak beralas berarti persentuhan yang intim dan penuh kasih dengan ibu pertiwi. Sedangkan beralas kaki sama dengan menginjak-injak alam secara tidak semena-mena.

Kehidupan mempesona Bomman dan Bellie dikisahkan dalam film The Elephant Whisperers, pemenang Academy Award 2023 untuk film dokumenter pendek, yang sekarang sedang diputar di Netflix. Lebih dari sekadar mengasyikkan dan menghangatkan, film ini telah menampar saya dan membuat saya merenung lebih dalam. 

Film ini, sekali lagi, mendemonstrasikan bahwa kebahagiaan itu bisa diraih dengan cara-cara yang “sederhana”. Saya, yang nyaris sepanjang hidup berkutat dengan filsafat—bahkan saat sedang berwacana tentang mistisisme—jangan-jangan hanya overthinking selama ini. Ke mana-mana saya membawa celotehan tentang “persaudaraan” antara manusia dan alam ala Sang Doktor Maksimus Ibn 'Arabi. Bahwa alam adalah manusia besar (makrokosmos), manusia adalah alam kecil (mikrokosmos). Seperti saudara kandung, keduanya saling mencerminkan dan merepresentasikan “ibu” yang sama. Sumber segala ada. Tapi, rasanya, hidup justru menjadi makin rumit, dan membosankan; hati seperti makin merana.

Maka saya teringat, sambil agak merasa sinis, dengan gagasan nyaris perenial tentang kebahagiaan menurut Aristoteles, filsuf dari Stagira. 

Aristoteles memperkenalkan gagasan tentang eudamonia, rasa bahagia yang bersumber dari kepuasan intelektual. Sayangnya, yang intelektual, menurut Aristoteles, bersifat rasional dan skolastik (kering). Jangan-jangan pemikiran intelektual yang membuat saya hanyut justru menimbulkan kehampaan, justru membuat kita skeptis tentang apa saja, dan akhirnya hanya menyisakan kehampaan. Rasio instrumental, demikian daya berpikir filosofis seperti ini biasa dinamai, memang andalan filsafat, juga sains modern. Ia memang lebih bersifat mendominasi ketimbang bersahabat dengan obyeknya. Dengan kata lain, rasio instrumental memisahkan manusia sebagai subyek dari alam sebagai obyeknya.

Orang-orang “sederhana” seperti Bomman dan Bellie adalah mereka yang bebas dari syahwat mendominasi ini. Bahkan, sesungguhnya, pemikiran mereka jauh lebih canggih. Yang mereka andalkan adalah pengalaman langsung (immediate) dengan obyek. Atau lebih tepat disebut penghayatan (peng-hidup-an). Sebuah lebenswelt, kata Edmund Husserl. Di dalamnya pemisahan—tepatnya, dominasi, obyek dan subyek—sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya, keduanya menyatu.

Dalam pemikiran “kuno”, subyek dan obyek hanya ada sebelum pengalaman terbentuk. Setelahnya, bersatu. Inilah pendekatan yang lebih spiritual. Sebuah “Denken” yang lebih mistikal, kata Heidegger, ketimbang metafisika.

Walhasil, orang modern tampaknya harus banyak belajar kepada orang-orang “kuno” seperti Bomman dan Bellie. Tampaknya mereka lebih terampil berpikir dan berbahagia ketimbang orang-orang modern. Bahkan mereka lebih mampu meraih kebijaksanaan ketimbang filsuf modern. Socrates, kakek guru Aristoteles yang lebih mistikal itu, tidak salah ketika berkata, “Hidup yang tak direnungkan adalah hidup yang tak patut dijalani.” Kesalahan terjadi ketika kita memahami bahwa “merenung” berarti berfilsafat secara rasional. Merenung memang berarti berpikir mendalam, bukan sekadar olah logika dangkal.

Bomman dan Bellie, para pembisik gajah itu, telah mengajarkan kepada saya kebijaksanaan sejati itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Para Pembisik Gajah"

Haidar Bagir

Haidar Bagir

Pendiri Penerbit Mizan. Disertasinya tentang "Perbandingan Pemikiran Mulla Sadra dan Heidegger". Bukunya yang ditulis bersama Uli Abshar Abdalla berjudul "Sains Religius Agama Saintifik" terbit pada 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus