Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang lebih buruk dari pelemahan pemberantasan korupsi, yakni politisasi kasus korupsi: penanganan rasuah disetir kepentingan politik. Penindakan tak lagi didasari fakta obyektif, melainkan motivasi politik. Siapa yang dijerat diputuskan dengan sewenang-wenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejala ini sudah menjadi hal biasa di Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah undang-undangnya dirombak oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2019, KPK rawan menjadi alat politik. Penetapan tersangka yang tak lagi terbuka dan bisa dihentikan penyidikannya di tengah jalan membuat pengusutan kasus bisa serampangan dan rentan dimainkan. Dengan mata telanjang, kita telah melihat sejumlah perkara di KPK ditangani secara berat sebelah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu perkara yang berpotensi masuk kategori tersebut adalah pengadaan gas alam cair (LNG) PT Pertamina (Persero). Setahun setelah mengambil alih kasus itu dari Kejaksaan Agung, KPK tak juga mengumumkan tersangkanya. Publik menerka-nerka siapa yang disasar dari permohonan larangan bepergian ke luar negeri yang diajukan KPK kepada kantor imigrasi. Salah satu yang dicekal adalah Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawan.
Pembelian LNG yang prosesnya dimulai pada 2013 tersebut bukannya tak punya cela. Dalam laporan investigasinya, auditor independen PricewaterhouseCoopers menyebutkan pengadaan LNG dari Corpus Christi Liquefaction LLC, perusahaan yang berbasis di Texas, Amerika Serikat, tidak berdasarkan analisis supply dan demand yang valid. Pertamina tidak menghitung dengan benar penyerapan di dalam negeri. Akibatnya, ketika LNG dari Corpus Christi mulai dikapalkan pada 2019, gas tersebut tak jadi mampir ke dalam negeri karena kebutuhan gas sudah memadai. Pertamina akhirnya menjual rugi LNG tersebut ke perusahaan energi, PPT Energy Trading Singapore dan Vitol, sehingga tekor US$ 28,5 juta.
Namun perlu dicatat bahwa kontrak Pertamina dan Corpus Christi diamendemen pada 2015, setelah Karen tak lagi menjabat. Perubahan kontrak dilakukan bos Pertamina pengganti Karen di Texas dan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo. Kemudian, meski LNG itu dijual lagi—karena pasokan dalam negeri telah tercukupi—dan Pertamina sempat mengalami kerugian, totalnya perseroan tetap menangguk untung hingga 2021. Dengan kata lain, ini adalah keputusan bisnis yang mungkin salah hitung di awal tapi akhirnya memberikan laba.
Kecuali KPK menemukan bahwa Karen menerima besel dari pembelian LNG pada era kepemimpinannya, menetapkan dia sebagai tersangka akibat keputusan bisnis tersebut bisa salah sasaran. Jika Karen dijadikan tersangka tanpa didukung bukti yang kuat, tudingan bahwa KPK telah menjadi alat pukul makin mendapat pembenaran. Kecurigaan itu amat berdasar karena Karen adalah Direktur Utama Pertamina pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Politisasi kasus harus dibayar dengan kredibilitas KPK yang makin hancur lebur. Dengan motivasi politik di balik penanganan perkara yang begitu kentara, kian sulit bagi publik kembali mempercayai lembaga yang dulu independen ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo