Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Fed sudah menaikkan bunga hingga enam kali dalam setahun.
Kenaikan suku bunga The Fed akan lebih tinggi ketimbang perkiraan sebelumnya.
Bank Indonesia hanya mungkin menjaga kurs rupiah agar tak terempas dengan cepat.
PROYEKSI suram datang dari Ketua The Federal Reserve Jerome Powell. Seusai pengumuman kenaikan suku bunga, Rabu, 2 November lalu, wartawan bertanya: apakah The Fed mampu mengendalikan ekonomi Amerika Serikat melambat pelan-pelan seraya menjinakkan inflasi tapi tidak sampai terempas ke dalam resesi? Powell menjawab dengan gamblang: masih mungkin, tapi peluangnya makin sempit.
Begitulah, inflasi yang membandel membuat The Fed kelabakan dan mungkin kebablasan dalam menjalankan kebijakan moneter sehingga memicu resesi ekonomi. Tahun ini, The Fed sudah menaikkan suku bunga hingga enam kali, empat yang terakhir masing-masing sebesar 0,75 persen. Rentang tertinggi bunga The Fed sudah 4 persen. Artinya, The Fed sudah membuat harga segala macam utang makin mahal agar ekonomi melambat. Tapi tetap saja inflasi tahunan masih 6,2 persen per September 2022, jauh melampaui target The Fed yang cuma 2 persen. Kalau inflasi tak kunjung turun, sampai seberapa jauh bunga akan terus naik? Inilah pertanyaan yang menghantui pasar.
Untuk pertanyaan itu, jawaban Powell lebih membuat pasar tercengang: The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga ke puncak yang lebih tinggi ketimbang perkiraan sebelumnya. Untungnya The Fed juga memberi sinyal akan mengerek bunga secara lebih perlahan, bukan melompat-lompat dengan cepat. Dus, kenaikan bunga dalam sidang-sidang The Fed berikutnya mungkin tak lagi sebesar 0,75 persen.
Sinyal-sinyal The Fed yang bernuansa tak berdaya dalam perang melawan inflasi itu membuat investor harus meracik ulang strategi investasinya. Suku bunga The Fed dan likuiditas dolar masih berperan amat penting, mungkin malah yang terpenting, dalam menggerakkan pasar finansial. Inilah motor perpindahan modal portofolio antarnegara.
Karena tingginya bunga dan ketatnya likuiditas dolar, dana investasi di seluruh dunia sekarang makin banyak yang masuk ke aset berdenominasi dolar Amerika Serikat. Di Indonesia, modal asing terutama keluar dari pasar obligasi pemerintah yang dianggap lebih berisiko. Posisi dana asing yang masih bertahan di surat berharga negara (SBN) berdenominasi rupiah tinggal Rp 712 triliun per 31 Oktober 2022, merosot hampir Rp 14 triliun sejak awal bulan.
Selain tercekik dampak kenaikan suku bunga The Fed, ekonomi Indonesia mulai terbebani kenaikan angka inflasi. Per Oktober 2022, angka inflasi tahunan sudah 5,7 persen, sedikit menurun ketimbang inflasi September, tapi cukup jauh di atas target Bank Indonesia yang sebesar 4 persen. Inflasi plus eksodus modal asing dari SBN rupiah kemungkinan besar akan mendorong BI menaikkan lagi suku bunga rujukannya, BI-7 Day Reverse Repo Rate. Selama tahun ini BI baru dua kali menaikkan bunga, masing-masing sebesar 0,5 persen.
Berbagai sentimen negatif itu membuat rupiah makin loyo. Akhir pekan lalu, kurs rupiah sudah berkisar 15.700 per dolar Amerika Serikat dan sepertinya akan terus merosot. BI memang lebih baik membiarkan kurs rupiah meluruh perlahan ketimbang mempertahankannya lewat operasi pasar yang menghabiskan cadangan devisa. Selama Januari-September 2022 saja, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 10,5 miliar.
Per September 2022, meski menurun, cadangan Indonesia masih terbilang aman, US$ 130,8 miliar. Persoalannya, pasar masih akan terus bergejolak mengikuti kenaikan suku bunga The Fed. Cadangan devisa sebesar apa pun tak akan mampu melawan tekanan gergasi pasar global. Jepang contohnya, sudah menghabiskan US$ 62,3 miliar untuk mengintervensi pasar selama September-Oktober demi mempertahankan kurs yen agar tak melampaui 150 per dolar Amerika Serikat. Dengan cadangan US$ 1,3 triliun, sepuluh kali lipat milik Indonesia, Jepang mungkin merasa yakin punya amunisi cukup kuat untuk menentang pasar.
Sebaliknya, dengan amunisi relatif terbatas, sepertinya BI hanya mungkin menjaga nilai rupiah agar tak jatuh terempas dengan cepat, yang dapat memicu kepanikan pasar. Sama seperti Jerome Powell, BI akan mengupayakan perubahan lebih lambat. Bedanya, sementara The Fed perlahan merayap ke puncak suku bunga, BI pelan-pelan meluncur ke dasar lembah kurs rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo