Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gamang Membendung Baju Bekas

Tren thrifting atau berbelanja baju bekas menimbulkan dilema. Disukai konsumen mengancam industri lokal.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana penjualan pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, 3 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tren thrifting atau berbelanja baju bekas makin digemari.

  • BPS mencatat angka impor baju bekas mencapai 8 ton senilai US$ 44 ribu pada 2021.

  • Pemerintah kesulitan menghadang impor baju bekas dan thrifting.

PASAR Cimol Gedebage, Kota Bandung, lumayan ramai pada Selasa, 1 November lalu. Di salah satu sudut pasar itu, David merayu beberapa pehobi thrifting atau peminat baju bekas yang mondar-mandir di kios pakaian bekas miliknya. "Silakan dilihat-lihat dulu," kata pria 31 tahun itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kios berukuran 2 x 3 meter itu, David menjual kaus berkerah yang juga disebut kaus polo atawa wangki. Tak sembarangan, perantau asal Solok, Sumatera Barat, itu menjual produk brand terkenal, seperti Lacoste, Crocodile, dan Uniqlo. Harga tiap kaus bervariasi, dari Rp 25 ribu sampai Rp 75 ribu. Harga kaus merek terkenal tentu lebih mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Tempo, David mengaku memperoleh baju bekas dari pemasok besar di Jakarta. Dalam sebulan dia bisa membeli empat karung baju—biasa disebut bal. Harga satu bal dengan isi 400 kaus impor sekitar Rp 10 juta. “Satu bal tidak semuanya bagus. Ada 10 persen yang reject (tak layak jual),” ujarnya. Untuk menutup modal plus sewa kios Rp 24 juta per tahun, David harus menjual puluhan kaus dalam sehari.

Niko Hendry, 35 tahun, sudah tujuh tahun berjualan pakaian bekas di Pasar Cimol. Selama itu pula dia bergonta-ganti barang jualan, dari baju, jaket, hingga celana denim. Kini Niko memutuskan menjual kemeja karena menurut dia lebih menguntungkan.

Untuk satu bal kemeja bekas, Niko merogoh modal Rp 11-18 juta. Dia menjual sepotong kemeja seharga Rp 25-75 ribu, tergantung kualitas dan merek. Dalam sebulan Niko bisa menjual 4-5 bal kemeja bekas dengan laba di atas Rp 15 juta. "Tapi, yang namanya jualan, pendapatan dan keuntungan naik-turun, kayak berjudi," tuturnya.

Ihwal pasokan, Niko punya cerita. Menurut dia, biasanya baju bekas yang bagus berasal dari Jepang dan Korea. Sedangkan yang lebih murah berasal dari Cina, Taiwan, dan Vietnam. Harganya sekitar Rp 8 juta per bal. “Tapi saya enggak mau karena biasanya banyak reject, seperti warna luntur, ada sobekan, atau kerusakan lain," ujarnya, lalu berseloroh pakaian bekas dari Jepang atau Korea bagus karena biasanya adalah barang “lemparan” dari mal.

Pedagang menyortir pakaian impor bekas yang akan dijual di Pasar Senen, Jakarta, 3 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Pedagang di Pasar Cimol biasanya memiliki jejaring antara lain untuk menjual barang reject dari setiap karung yang mereka beli. Niko, misalnya, menjual barang afkir itu ke sesama pedagang pakaian bekas di Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat, dengan harga rata-rata Rp 25 ribu.

Di Pasar Cimol, ada seribuan pedagang seperti David dan Niko. Mereka menjual baju, celana, jaket, tas, topi, juga sepatu bekas. Semua barang itu diperoleh dari luar negeri. Cimol—namanya berasal dari Cibadak Mall, yang merupakan lokasi awal pasar baju bekas di Kota Bandung—menjadi terkenal karena menjual barang impor bermerek dengan harga miring.

Meski bekas dan terkadang sudah lusuh, barang-barang itu tetap bernilai karena orisinal atau asli, bukan produk tiruan. Ini yang diburu oleh penggila thrifting yang belakangan ini makin marak. Hal ini diakui oleh Linda, 20 tahun, mahasiswi salah satu universitas di Bandung, yang gemar berbelanja di Pasar Cimol. Dia memberi contoh, harga satu kardigan merek Uniqlo Rp 65 ribu. "Kalau beli baru bisa Rp 500-an ribu," katanya.

Bukan cuma di pasar, pelaku thrifting juga menjual-beli baju bekas di mal dan media sosial. Ini yang dilakukan oleh Desi Natalie, pemilik delapan kios pakaian impor bekas bernama DS Pasbar yang berlokasi di Plaza Metro Atom, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Awalnya Desi mencoba-coba menjual pakaian bekas eceran lewat Instagram pada 2020. Usahanya berkembang dan dalam dua tahun dia bisa membeli empat kios serta menyewa empat kios lain. Yang dia jual adalah kemeja dan baju bertudung atau hoodie yang rata-rata berasal dari Korea dengan harga termurah Rp 35 ribu.

•••

PARA pehobi thrifting boleh saja senang karena mendapat barang asli nan murah. Namun tren ini membikin pemerintah pusing. Sebab, impor baju bekas yang membeludak merugikan industri pakaian dalam negeri. Selain itu, pemerintah khawatir terjadi penyebaran penyakit lewat baju atau celana bekas yang diimpor dari berbagai negara.

Pelarangan impor pakaian bekas tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022. Dalam regulasi itu, pakaian bekas masuk kategori limbah mode. Meski larangannya sudah berlaku, pemerintah tak kuasa membendung impor baju bekas yang permintaannya malah makin deras. “Kemampuan kami terbatas,” ucap Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Sihard Hadjopan Pohan pada Jumat, 4 November lalu.

Pakaian bekas masuk dari negara tetangga lewat “pelabuhan tikus” atau pelabuhan kecil seperti di Batam, Kepulauan Riau; dan Tembilahan, Riau, sebelum beredar di Jawa. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar 750 bal baju impor bekas senilai Rp 8,5 miliar yang ketahuan masuk ke Karawang, Jawa Barat, pada pertengahan Agustus lalu. "Agar pelakunya berpikir dua kali dan melihat bahwa negara tidak mendiamkan," kata Sihard.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan regulasi Kementerian Perdagangan menjelaskan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Jadi tiap pakaian bekas dengan pos tarif HS 6309 yang masuk lewat perbatasan akan otomatis ditolak masuk. Karena itu, dia menambahkan, pakaian bekas yang merembes ke sentra thrifting sudah pasti masuk lewat pelabuhan tikus yang tidak terpantau aparat pabean.

Kios pakaian bekas impor di kawasan Jalan Sholeh Iskandar, Bogor, Jawa Barat, 2 November 2022. TEMPO/Ratih Purnama

Nirwala mengatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan 399 penindakan terhadap praktik impor pakaian bekas senilai Rp 26,76 miliar pada 2019. Setahun kemudian, jumlahnya menurun menjadi 169 penindakan dengan nilai Rp 10,37 miliar. Pada 2021, ada 165 penindakan dengan nilai Rp 17,42 miliar, sementara hingga Agustus tahun ini dilakukan 169 penindakan dengan perkiraan nilai Rp 19,46 miliar.

Tingginya angka impor baju bekas terekam dalam data Badan Pusat Statistik. Menurut data BPS pada 2021, terdapat 8 ton baju bekas impor senilai US$ 44 ribu. Nilai yang berbeda ada dalam data Trade Map yang menunjukkan sepanjang 2021 terdapat 27.420 ton baju bekas senilai US$ 31,95 juta yang masuk ke Indonesia. Sebagian besar barang itu berasal dari Malaysia, yaitu 25.323 ton, diikuti Singapura dengan 924 ton pakaian bekas.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono, mengatakan pesatnya pertumbuhan tren thrifting perlu diimbangi dengan gerakan bangga menggunakan produk dalam negeri. "Kita harus mengubah pola pikir masyarakat. Produk luar negeri (termasuk pakaian bekas) belum tentu aman bagi kesehatan,” ucapnya, kemudian menyebutkan hasil pengujian pakaian bekas impor yang terpapar kapang, jamur, dan bakteri.

Toh, para pedagang dan pehobi thrifting cuek bebek. Niko Hendry, yang berdagang di Pasar Cimol Gedebage, pun mengaku tahu tentang larangan impor baju bekas. Tapi, menurut dia, hal itu bukan urusan pedagang. "Itu urusan importir, bos-bos yang memasok bal," katanya. Ihwal efek pada kesehatan, Niko juga memberi jaminan. Sebelum dijajakan ke pembeli, pakaian bekas disortir, dicuci, dan dipanaskan dengan setrika uap serta diberi obat pembunuh kuman. “Kami bayar Rp 600 per baju."

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat Iendra Sofyan mengatakan fenomena thrifting tak bisa dibendung karena konsumen menganggap pakaian bekas impor lebih murah. Bahkan pakaian itu lebih murah jika dibandingkan dengan produk usaha mikro, kecil, dan menengah. Padahal, dia menambahkan, pada kenyataannya banyak pakaian bekas yang lebih mahal daripada produk lokal.

Iendra juga menyebutkan regulasi di sektor perdagangan mengenai barang bekas masih abu-abu. Sebab, ada larangan impor, tapi tidak ada larangan menjual baju bekas impor serta pelaku thrifting. Dia pun berharap ada pengetatan di sisi hulu, yaitu pencegahan oleh aparat pabean, agar produk semacam itu tidak masuk ke Indonesia. "Sudah jelas impornya tak masuk Bea-Cukai dan ilegal," tuturnya. Aminuddin A.S (Bandung)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus