Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Agar Korupsi Gas Tak Bebas

KPK tak kunjung menetapkan tersangka dugaan korupsi LNG Pertamina. Menyeret Karen Agustiawan dan anaknya.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN berlalu, Komisi Pemberantasan Korupsi tak kunjung menetapkan tersangka kasus korupsi LNG Pertamina. Padahal, penyidik KPK sudah memeriksa puluhan saksi direksi hingga staf PT Pertamina dalam impor gas alam cair tersebut. “Karena kasus ini masuk tahap penyidikan, pastinya sudah ada tersangka. Tapi nama mereka belum bisa kami umumkan,” ujar juru bicara KPK, Ali Fikri, Jumat, 4 November lalu.

Perkara ini menyasar kontrak pengadaan liquefied natural gas (LNG) di Pertamina dengan anak perusahaan Cheniere Energy Inc, Corpus Christi Liquefaction LLC. Pada saat yang sama, Pertamina menjalin kerja sama dengan Anadarko Petroleum Corporation lewat anak perusahaannya, Mozambique LNG1 Company Pte Ltd. Penyelidikan berfokus pada kerja sama dalam pengadaan LNG periode 2012-2020.

KPK menduga pembelian gas dari kedua perusahaan itu merugikan keuangan negara hingga Rp 2 triliun. Penyidikan kasus itu merentang dalam empat periode kepemimpinan, dari Direktur Utama Pertamina kala itu, Karen Agustiawan, hingga masa kini, Nicke Widyawati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 31 Januari 2019/TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejaksaan Agung sebenarnya sudah lebih dulu menangani kasus ini sejak Maret 2021. Mereka mengumpulkan sejumlah bukti selama enam bulan. Kasus ini pun sudah naik statusnya menjadi penyidikan. Tapi KPK mengambil alih perkara ini sejak akhir 2021.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana membenarkan informasi tersebut. Ia mengatakan peralihan perkara dari kantornya ke KPK berlangsung mulus. “Itu sudah selesai. Hubungan kami dengan KPK baik,” katanya.

Tanda-tanda calon tersangka sudah muncul pada 8 Juni lalu. Kala itu, KPK mengajukan permohonan pencegahan ke luar negeri ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap empat orang. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina periode 2009-2014 Karen Agustiawan; pelaksana tugas Direktur Utama Pertamina periode Februari 2017-Maret 2018, Yenny Andayani; mantan Direktur Gas PT Pertamina, Hari Karyulianto; dan putra Karen, Dimas Muhammad Aulia, yang bekerja sebagai trader di PPT Energy Trading Co Ltd.

Ali Fikri berkilah permohonan status cegah ke luar negeri tak selalu berkaitan dengan penetapan tersangka. Ia beralasan pencegahan dilakukan untuk memudahkan penyidikan. KPK baru akan menahan para tersangka jika ada bukti permulaan yang cukup.

Itu sebabnya ia menjamin KPK bakal bekerja secara profesional. Ia menolak anggapan bahwa KPK lamban. Penyidikan kasus itu harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan dugaan pelanggaran. “Uraian dugaan korupsi serta pelanggaran pasalnya harus dirumuskan secara lengkap,” ujarnya.

Penyidik dikabarkan sudah memeriksa Karen pada November tahun lalu. Ruang kerjanya juga sudah digeledah. Tapi KPK belum menjadwalkan pemeriksaan lanjutan.

Selain memeriksa Karen, penyidik sudah memeriksa saksi lain. Mereka adalah mantan Direktur Utama Pertamina, Dwi Seotjipto; mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Nur Pamudji; dan Direktur Sumber Daya Manusia dan Penunjang Bisnis Pertamina Patra Niaga Isabella Hutahaean.

KPK akan fokus memeriksa Karen lantaran memberikan kuasa kepada Hari Karyulianto saat menandatangani dua dokumen kontrak pembelian LNG selama dua puluh tahun dari Corpus Christi. Kontrak pertama (train 1) terjadi pada 4 Desember 2013 dan kedua (train 2) pada 1 Juli 2014.

Hari juga mendapat kuasa serupa ketika meneken perjanjian dengan Mozambique LNG1 pada 8 Agustus 2014. Struktur Direktorat Gas Pertamina dibuat Karen pada 2012 lewat surat keputusan nomor KPTS-26/00000/2012-SO.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan keputusan bisnis Pertamina ketika itu dilatari krisis pasokan gas yang dialami pelaku industri. Defisit LNG pada 2013 disebut mencapai angka 578 juta kaki kubik atau million standard cubic feet per day. Sementara itu, kebutuhan gas di Pulau Jawa mencapai 2.491 juta kaki kubik.

Yenni Andayani, di Jakarta, 3 Januari 2017/TEMPO/Tony Hartawan

Tingginya kebutuhan ini membuat Pertamina mempertimbangkan impor LNG. “Pasokan Pertamina tak bisa diandalkan karena terikat kontrak jangka panjang dengan sejumlah perusahaan di luar negeri,” kata Mamit.

Pertamina membeli LNG dengan merujuk pada hasil rapat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Satuan Kerja Khusus Migas, dan Wakil Menteri ESDM pada 17 Desember 2012 dan 19 Desember 2012.

Ada pula keputusan hasil rapat dibuat di rumah Wakil Presiden Boediono pada 18 Desember 2012. Dalam pertemuan itu disepakati pemerintah berencana menambal kebutuhan pasokan gas dalam negeri lewat mekanisme impor.

Berdasarkan kalkulasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Mamit menjelaskan, krisis pasokan gas ketika itu diprediksi bertahan hanya sampai 2020. Pemerintah lalu memberi mandat kepada Pertamina untuk melayani kebutuhan gas dalam negeri lewat mekanisme impor.

Persoalan muncul lantaran impor LNG lewat lantai bursa dianggap berisiko terhadap fluktuasi harga. Sementara itu, kontrak pembelian melalui operator pemilik kilang LNG menuntut kemampuan Pertamina menyerap produksi gas dalam jangka panjang. Pertamina memilih bekerja sama dalam jangka panjang untuk menyediakan LNG domestik.

Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan kontrak pengadaan LNG Pertamina diperbarui kembali pada 20 Maret 2015. Kala itu, Pertamina dipimpin oleh Dwi Soetjipto. Kontrak itu mengamendemen perjanjian yang diteken Hari Karyulianto sebelumnya, yakni pada 1 Juli 2014.

Penandatanganan kontrak disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di sela-sela kunjungannya ke Amerika Serikat. Kontrak senilai US$ 13 miliar itu mengikat Pertamina sebagai pembeli jangka panjang selama 20 tahun sejak 2019. Volume pembelian tercatat sekitar 1,52 metrik ton per tahun (MTPA).

Fasilitas LNG milik Cheniere di Portland, Texas, Amerika Serikat, 13 Juni 2022/REUTERS/Callaghan O'Hare

Pelaksana tugas Direktur Utama Pertamina, Yenny Andayani, turut membuat kontrak pengadaan LNG baru pada 5 Juni 2017. Ketika itu, Pertamina menyepakati pembelian selama 20 tahun dari perusahaan LNG asal Australia, Woodside Energy. Pengiriman LNG disepakati dilakukan secara bertahap selama 2019-2038.

Seorang petinggi di Pertamina mengatakan kontrak ini juga bisa bermasalah. Sebab, status Yenny hanya pelaksana tugas. Sementara itu, kewenangan tersebut hanya bisa dilakukan seorang direktur utama definitif.

Di masa kepemimpinan Karen, Pertamina memutuskan membeli LNG secara jangka panjang dari Corpus Christi dan Mozambique karena harganya dinilai lebih murah. Pertimbangan inilah yang kemudian berujung ke proses hukum. Mozambique baru akan mengirim LNG ke Indonesia pada 2024.

Ketika pasokan gas dari Corpus Christi mulai disalurkan pada 2019, pasokan LNG di dalam negeri masih mencukupi. Akibatnya, Pertamina melego semua gas alam itu ke lantai bursa di Singapura. Transaksi ini dilakukan PPT Energy Trading Singapore (ETS), anak perusahaan PPT Energy Trading Tokyo yang 50 persen sahamnya dimiliki Pertamina.

Seseorang yang mengetahui penjualan ini mengatakan PPT ETS melepas LNG seharga US$ 5 per million British thermal unit (MBTU). Padahal harga belinya mencapai US$ 8 per MBTU. Kala itu, harga gas internasional sedang anjlok.

Mamit Setiawan meyakini keputusan PPT Energy menjual LNG di bawah harga beli tak bisa disimpulkan sebagai kerugian negara. Sebab, karakteristik harga pasar energi sangat fluktuatif. “Pada 2022, harga LNG justru melonjak berkali-kali lipat,” katanya.

Dikutip dari Reuters, harga patokan LNG yang dirilis S&P Global Commodity Insights Japan-Korea-Marker pada awal Maret 2022 merangkak naik menjadi US$ 59,67 per MBTU. Jumlah itu naik tujuh kali lipat dari harga tahun sebelumnya yang hanya US$ 6 per MBTU. Kenaikan harga itu ikut dipengaruhi invasi militer Rusia ke Ukraina yang terjadi sejak sebulan sebelumnya.

Meski memantik perdebatan, kasus ini terus bergulir di KPK. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meyakini penyidikan kasus itu bakal tuntas dalam waktu dekat. “Cepat atau lambat akan kami umumkan,” tuturnya.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, memberikan keterangan pers kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT. Pertamina (Persero) Tbk. Tahun 2011-2021, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Juni 2022/TEMPO/Imam Sukamto

Deputi Penindakan KPK Karyoto punya keyakinan serupa. “Kami berupaya penyidikan kasus ini berjalan dengan baik. Jangan sampai berujung putusan bebas seperti kasus Pertamina di Australia,” ujarnya. Karyoto menyindir putusan bebas Karen ketika terseret kasus Blok Basker Manta Gummy, Australia.

Kejanggalan transaksi pengadaan LNG itu bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019. Kemudian Pertamina juga secara internal mengaudit proyek ini. Atas permintaan Pertamina, lembaga audit asal Inggris, PricewaterhouseCoopers (PwC), turut menelaah proses kontrak LNG Pertamina dengan Corpus Christi dan Mozambique pada 2020.

Ketiga audit itu menyimpulkan di antaranya pengadaan LNG oleh Pertamina dianggap bermasalah karena tidak memiliki analisis supply and demand yang valid. Pertamina dianggap buru-buru menyepakati kontrak pembelian dengan Corpus Christi tanpa memperhitungkan potensi penyerapan di pasar.

Pengadaan LNG dari Corpus Christi pun dianggap tak sesuai dengan anggaran dasar perusahaan karena dibuat tanpa persetujuan Dewan Komisaris dan rapat umum pemegang saham. Kontrak itu juga tak tercantum dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2013, 2014, dan 2015.

Audit PwC menyebutkan, akibat transaksi tersebut, potensi kerugian dari selisih pembelian LNG Corpus Christi dengan penjualan kepada PPT ETS sebesar US$ 5,17 juta. Adapun kerugian akibat penjualan ke Vitol—perusahaan dagang sektor energi—sebesar US$ 23,46 juta. Jika dikonversi, nilainya mencapai Rp 427,5 miliar.

Ketua BPK Isma Yatun tak kunjung merespons permintaan wawancara. Kepala Biro Hubungan Masyarakat BPK Yudi Ramdan mengaku belum bisa menanggapi hasil audit lembaganya terhadap transaksi LNG Pertamina. “Kami belum mendapat arahan dari pimpinan,” ujarnya.

Audit internal Pertamina turut menyorot pemberian insentif kepada delapan pegawai PPT ETS pada tahun anggaran 2017 dan 2018. Sebab, model penghitungan bonus itu diusulkan dan disetujui sendiri oleh personel PPT ETS. Sebagian besar pegawai PPT ETS adalah perpanjangan tangan (secondee) Pertamina. Sementara itu, Pertamina sudah memiliki mekanisme penghitungan sendiri.

Sebelum menjual LNG Pertamina dari Corpus Christi, PPT ETS juga berbisnis sektor energi di Singapura. Total bonus kepada delapan pegawai PPT ETS mencapai Sin$ 25 juta atau setara dengan Rp 278 miliar. Bonus tersebut berasal dari total penjualan LNG senilai Sin$ 1.697 juta kepada Pavillion Energy dan sejumlah pembeli lain.

Putra Karen Agustiawan, Dimas Mohamad Aulia, tercantum sebagai salah satu penerima bonus. Tercatat sebagai trader di PPT ETS, ia menerima Sin$ 1,7 juta pada 2018.

Penerima bonus terbesar adalah empat perwakilan Pertamina di PPT ETS. Mereka adalah Managing Director Arief Basuki, International Director Mochamad Harun, Trading Manager Marcus Daniel, dan Operation Manager Bayu Satria. Keempatnya secara total menerima Rp 258 miliar.

Seseorang yang mengetahui proses transaksi tersebut mengatakan jajaran Dewan Komisaris Pertamina turut mempersoalkan pembagian bonus itu. Di antaranya Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ahok juga dikabarkan ikut mendorong pengusutan korupsi gas alam cair Pertamina ke Kejaksaan Agung dan KPK. Saat dimintai konfirmasi, Ahok enggan mengomentari informasi ini. “Silakan tanya ke KPK saja,” ucapnya.

Tempo juga mengirim permintaan wawancara melalui Corporate Secretary PT Pertamina Brahmantya Satyamurti Poerwadi. Ia tak merespons. Permohonan yang sama juga disampaikan kepada pelaksana tugas Vice President Corporate Communication Pertamina, Heppy Wulansari. “Kami belum bisa menyampaikan keterangan karena saat ini penyidikan sedang berjalan di KPK. Jadi kami menunggu proses hukum tersebut,” tulisnya melalui pesan WhatsApp.

Pengacara Karen Agustiawan, Soesilo Aribowo, enggan diwawancarai soal dugaan korupsi LNG Pertamina ini. Soesilo adalah pengacara yang berhasil membuat Karen lepas dari semua tuntutan hukum ketika terseret kasus korupsi investasi di Blok Basker Manta Gummy Australia. “Saya belum mendapatkan penunjukan secara resmi dari Pertamina,” ucapnya.

AGUNG SEDAYU, ROSSENO AJI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus