Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Covid-19: Antara Dilema dan Solidaritas

Robertus Robet
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menghadapi wabah: tanggalkan dilema.

  • Mengarungi pandemi: perkuat solidaritas.

  • Indonesia mau yang mana?

SELENDANG putih tersimpul di tuas pintu flat-flat kecil di Chicago, Amerika Serikat, pada 1918—tahun ketika wabah flu Spanyol sedang mengguncang dunia. Penghuni flat sengaja mengikatkan selendang itu sebagai tanda “kami sedang sakit”. Tanpa kata, mereka meminta tetangga dan orang-orang menjauh agar tak tertular sakit. Penderitaan, ancaman stigma, dan kematian tidak menyurutkan mereka yang sakit menjaga keselamatan orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kombinasi ketidaktahuan, ketidaksiapan negara-negara, dan kekacauan birokrasi membuat pandemi flu Spanyol membunuh setidaknya 50 juta orang—ada yang melaporkan hingga 100 juta (di Jawa saja, menurut penelitian University of Michigan, Amerika, penduduk yang tewas tahun-tahun itu sebanyak 4,5 juta jiwa). Tapi keganasan virus tidak mampu membunuh kemampuan orang untuk melakukan perbuatan baik. Sejarah mencatat, beberapa waktu kemudian, ilmu pengetahuan memenangkan manusia dalam perang melawan pandemi. Namun kemenangan sejati sesungguhnya sudah terjadi jauh hari, yakni ketika keluarga di flat-flat itu dengan sukarela mengikat selendang putih di pintu-pintu rumah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Filsuf Slovenia, Slavoj Žižek, membuka buku tipis terbarunya, Pandemic!, dengan mengutip sebuah ungkapan dalam Alkitab, “noli me tangere”, yang ditafsirkannya dengan “jangan sentuh aku (jika engkau mencintaiku)”. Ungkapan itu mewakili etika solidaritas di zaman pandemi ini. Cinta, perhatian, dan keprihatinan justru hanya bisa direalisasi tanpa keintiman dan dibatasi oleh jarak. Tapi, di era pandemi, jarak tak lagi menjadi pemisah, justru mengentalkan keintiman sosial.

Gagasan ini pula yang barangkali mendorong Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 23 Maret 2020 mengganti istilah penjarakan sosial (social distancing) menjadi penjarakan fisik (physical distancing). Terselip harapan bahwa virus corona boleh merusak dan melebarkan proksimitas kebertubuhan kita, memisahkan kita dari pergaulan dan kebersamaan dengan orang yang kita cintai, tapi tidak akan merusak dan malah memperkuat kemampuan kita menaruh perhatian terhadap nasib orang lain.

Pertanyaannya: bagaimana menumbuhkan solidaritas dalam situasi ketika setiap orang sedang ditekan oleh keharusan mengutamakan keselamatan diri sendiri? Žižek menjawab ini dengan mengambil contoh kelakuan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mendadak menawarkan bantuan dan kerja sama dengan otoritas Palestina. Langkah Netanyahu ini sudah pasti tidak diulurkan dengan pertimbangan kebaikan dan kemanusiaan universal, tapi karena ia didesak oleh fakta bahwa tak mungkin secara rigid memilah-milah mana orang Israel dan Palestina di sana apabila penularan virus terjadi.

Kerja sama satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri. Orang pada akhirnya dipaksa keluar dari kepungan kepanikan dan egoisme, karena sadar peluang selamat akan lebih besar apabila orang di sekitar kita juga selamat. Di sini, mau tak mau, orang jadi peduli terhadap sesamanya. Di sini, solidaritas tumbuh tanpa memerlukan kerangka universal transenden. Ia muncul lebih sebagai gerak pragmatis: aku hanya akan aman sejauh semua orang juga sudah aman. Solidaritas dipraktikkan sebagai kerangka dan upaya memperluas diri, diri yang steril dan higienis. Noli me tangere dan cucilah selalu tanganmu!

Dari segi itu, pandemi membawa pengertian baru akan pentingnya spasialitas dalam relasi sosial manusia. Apa yang disebut sebagai “normal baru” pada hakikatnya hanya praktik spasial baru ketika isolasi fisik dilakukan tanpa merusak kemampuan—meminjam istilah Georg Simmel—sosiasi (interaksi sosial) kita.

Harapan ini bukan sama sekali kosong, mengingat manusia pada dasarnya adalah homo duplex: makhluk yang di satu sisi selalu menginginkan kebersamaan tapi di sisi lain dan di saat yang sama menyukai kesendirian. Pandemi meradikalisasi syarat-syarat manusia sebagai homo duplex. Maka muncul konser-konser balkon amatir di Italia dan Spanyol, penduduk membagikan makanan dan botol-botol minuman di jalan untuk mereka yang miskin. Di pekarangan, orang meletakkan botol-botol sabun dan pembersih tangan untuk siapa saja yang lewat. Dengan asumsi orang di sekitar makin steril, makin rendah risiko buat saya tertular penyakit.

Untuk konteks Indonesia, solidaritas dengan basis kesadaran spasial ini tidak serta-merta mulus dan lancar. Penyebabnya, banyak orang tidak memiliki otonomi penuh atas hidupnya. Mereka orang-orang yang mesti tetap bekerja ke kantor, pabrik, jalan, dan trotoar untuk meneruskan hidup. Bagi orang yang bekerja di toko swalayan, buruh-buruh pabrik, dan pedagang kaki lima, hidup hanya mungkin diteruskan dalam praktik spasial yang sudah mereka kenal. Dari sini perbedaan sosial muncul bahkan dalam akses dan cara membentuk solidaritas.

Pembelahan sosial menajam dan terungkap secara ironis oleh pernyataan pejabat yang mengimbau “yang kaya lindungi yang miskin agar bisa hidup wajar, yang miskin jaga yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya”. Ia berbicara dengan tujuan mengajak semua orang berkontribusi menahan pandemi. Tapi secara implisit pernyataan itu bias kelas dan mengungkap serta menebalkan perbedaan dan fragmentasi sosial yang sudah ada dalam pikiran orang banyak.

Sejak itu, pikiran yang mengaitkan corona dengan urusan kaya-miskin tak terelakkan, yang menguatkan tuduhan bahwa virus corona adalah penyakit orang kaya. Argumen dari asumsi ini sederhana: virus corona menyebar melalui fasilitas globalisasi. Fasilitas globalisasi, seperti tiket pesawat, visa, dan koper perjalanan, hanya bisa dimiliki orang-orang kaya. Persis seperti dikatakan Zygmun Bauman, globalisasi membagi masyarakat dalam dua kelas: turis dan gelandangan.

Untuk orang kaya, globalisasi akan dialami sebagai turis. Tapi, buat orang miskin, globalisasi akan dialami seperti gelandangan yang menyeret kaki di jalan-jalan. Virus dan penyakitnya boleh sama, tapi cara mengalami dan merespons pada tiap orang tergantung strata sosial-ekonomi mereka. Di kalangan para aktivis Asia, paradoks ini diutarakan dalam satire: “Kalau mau mendapat uji Covid gratis, batuk saja di depan pejabat atau orang kaya!” Kegelisahan dan kepanikan terhadap penularan virus memang merayap lebih ganas di kalangan orang-orang kaya, elite, dan para selebritas.

Ketimpangan sosial-ekonomi membuat solidaritas dengan basis etika noli me tangere terasa kurang memadai. Solidaritas pada akhirnya mesti kembali didefinisikan dengan basis relasi dan penghormatan pada kebersamaan: kalau Anda meminta orang lain berkorban untuk kemaslahatanmu, engkau juga harus melakukan yang sama kepada yang lain.

Untungnya, civil society di Indonesia, setidaknya sejak masa-masa reformasi, punya cukup sejarah dan pijakan kuat dalam soal tolong-menolong dan membangun solidaritas. Jejak ini kita temukan kembali dalam gerakan dapur umum di Yogyakarta, yang juga tumbuh di beberapa kota lain. Rukun tetangga dan rukun warga membentuk unit-unit peduli Covid, yang tidak hanya menolong pasien, tapi juga membentuk lumbung-lumbung pangan untuk menolong orang miskin di sekitar wilayah tinggal mereka.

Diam-diam mahasiswa kedokteran beramai-ramai mendaftarkan diri menjadi relawan medis di rumah sakit yang menangani pasien Covid. Meski tak dieksplisitkan, di sini solidaritas selalu punya dimensi kritik: ia sebenarnya menantang negara. Kalau elite meminta rakyat mengorbankan kebebasan, pekerjaan, dan nafkah, negara mesti lebih dulu menunjukkan komitmen yang sama. Itu pula, barangkali, yang mendorong banyak negara mendadak menjadi lebih sosialis di masa pandemi. Di pelbagai negara, program-program sosial diperluas, bantuan langsung tunai dan subsidi digelontorkan, universal basic income diberlakukan, serta perusahaan-perusahaan kecil dibantu untuk menahan laju pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.

Dalam pandemi, pemerintah yang baik justru melihat kesempatan ini untuk keluar dari aneka dilema, mengambil keputusan dan berupaya merealisasi tujuan-tujuan terbaiknya. Memperluas tanggung jawab demokratisnya, memperpanjang jangkauan meraih yang menderita, mengaktifkan sumber daya terbaik guna menemukan solusi keluar dari bencana, betapa pun kecilnya.

Itulah yang dilakukan di Jerman, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Meski, di tempat lain, kesempatan emas justru disalahgunakan: di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump menyalahgunakan kegentingan pandemi untuk kepentingan-kepentingan elektoralnya; di Brasil, Presiden Jair Bolsonaro bermain-main dengan pandemi sambil menekan oposisi. Di negara-negara itu, kelemahan dalam civil society semasa pandemi dipakai sebagai insentif untuk memperkuat autokrasi ketimbang memperluas keadilan dan demokrasi.

Masyarakat sipil Indonesia sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya: tanpa dilema kiri-kanan, mereka bertindak menolong sesama agar terhindar dari wabah. Tanggung jawab sekarang kembali kepada pemerintah. Di antara Korea Selatan, Selandia Baru, Jerman, Amerika, dan Brasil, Indonesia hendak meniru dan mendekat ke arah yang mana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus