Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI abad ke abad, wabah adalah ketidakpastian. Juga sekarang. Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan. Apa yang kemarin kita ketahui tentang Covid-19 hari ini tak sebulat sebelumnya. Virus yang, menurut seorang pakar, “tak terdapat pada manusia enam bulan yang lalu” kini membingungkan mereka yang bergulat mengalahkannya. Bahkan sekarang kembali diperdengarkan suara bahwa bahaya Covid-19 sesungguhnya dilebih-lebihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya termasuk yang berharap begitu, seraya kurang percaya—tapi apa yang sebenarnya bisa saya percaya dengan pasti? Pernah dikatakan sang virus tak akan membunuh anak-anak. Tapi baru-baru ini di Kota New York bocah berumur lima tahun mati dengan gejala tertular. Pernah dikatakan, kita harus tinggal di rumah, tapi kemarin ada berita, di rumah pun tak ada jaminan selamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di sepanjang zaman, banyak hal berubah dalam ilmu,” kata seorang dokter ahli di Boston yang dikutip Washington Post pekan lalu ketika membahas Covid-19. “Theori dibikin dan dibuang. Hipotesis ditarik dicabut.” Lalu ia menambahkan, “Artinya kita sedang belajar.”
Tak ada yang baru dalam kata-kata itu, sementara ada yang dilupakan bahwa kita tak hidup “di sepanjang zaman”. Kita—apalagi orang awam—dikepung ketidaktahuan, ditodong ancaman sakit dan kematian, dan semua terjadi hari ini. Kita tak sempat meninjau “sepanjang zaman”. Kita esok harus memutuskan: sampai kapan kota kita ditutup? Sampai berapa lama kehidupan ekonomi dihentikan, dengan korban yang tak jarang tragis, seperti seorang anak perempuan India berumur 12 tahun yang mati ketika harus kembali berjalan kaki ke kampungnya—150 kilometer dari kota yang dilokdon?
Para pakar epidemi umumnya menjawab (dengan segala niat baik, juga dengan masygul): situasi ini masih akan lama....
Jawaban itu tak dimaksudkan menghibur. Ia menyiapkan kita agar tak punya ilusi. Tapi lebih jauh bisa dipersoalkan: ketika ilmu pengetahuan belum punya kesimpulan tentang sang virus, waktu yang “lama” itu akan bisa mengubah rasa ketakpastian jadi gugatan: bagaimana para ilmuwan secara moral mempertanggungjawabkan apa yang mereka katakan dan sarankan, jika yang mereka kemukakan belum sebuah kesimpulan? Bahwa mereka sebenarnya “sedang belajar”?
Tak mudah menjawab ini—tak mudah bagi para ilmuwan. Sama tak mudahnya bagi pengambil keputusan politik menentukan sebuah kebijakan ketika ia dibantu ilmu pengetahuan yang masih bertanya-tanya.
Di masa lalu—yang belum benar-benar lalu—ada jalan lain dari situasi bertanya-tanya. Orang bisa menyodorkan sesuatu yang di luar dirinya. Menanggungkan cemas di pundak sendiri memang terlalu berat. Maka di Eropa, selama pandemi besar abad ke-13, beberapa ribu orang Yahudi—ya, mereka orang lain—dibakar hidup-hidup. Atau, orang merujuk nasib dan bintang-bintang. Atau, lebih sering, Tuhan. Ketika mereka sendiri resah atau takut menyalahkan Tuhan sebagai pencipta malapetaka, para agamawan membangun theodice—sebuah pembelaan buat Tuhan: Tuhan yang baik dan adil tentu selalu punya alasan yang mulia. Ia menguji kita—juga menguji anak India yang mati di jalan itu. Sebuah mala dalam bumi ciptaan Tuhan selalu dimaksudkan baik, meskipun yang menikmati kebaikan umumnya mereka yang bukan sekelas si gadis yang kelaparan itu....
Sebenarnya bisa juga manusia menolak menghalalkan mala yang menimpanya—menolak bahwa itu “desain niat baik Tuhan”. Manusia bisa menanggungkan mala tanpa pernah melihat rencana penghiburan Ilahi. Levinas, misalnya, filosof Yahudi-Prancis itu, yang mengalami kekejaman Hitler terhadap orang-orang Yahudi, lebih suka berbicara tentang agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan: “iman tanpa theodice”.
Dengan kata lain, ia ingin menunjukkan ia bisa beriman kepada Tuhan yang tidak senantiasa adil. Tanpa Tuhan yang demikian sekalipun, toh manusia tetap bisa menjadi saksi dan pelaku kebaikan—tetap bisa mengalami keadilan sebagai “ruh” yang tak pernah jera membayangi dan menyeru, dalam sejarah yang fana.
Tapi ini tak ringan dijinjing. Di zaman modern, penjelasan-penjelasan berubah, bahkan sejak masa Shakespeare di abad ke-16, ketika wabah datang berkali-kali. Salah satu tokoh dalam lakon All’s Well That Ends Well berkata, “Kini dikatakan, mukjizat telah berlalu; kini kita punya orang-orang yang berfilsafat, untuk membuat hal-hal yang supranatural dan tanpa sebab menjadi sesuatu yang modern dan biasa saja.”
Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang seakan-akan pengetahuan”, ensconcing ourselves into seeming knowledge.
Kata “seakan-akan” di sana terasa ngilu, atau lucu, atau jujur.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo