Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESTRUKTURISASI utang debitor korban Covid-19 mesti dijaga dari para penumpang gelap. Otoritas Jasa Keuangan harus belajar dari restrukturisasi perbankan pasca-krisis 1998. Krisis tersebut telah memangkas hampir seratus bank hanya dalam tempo dua tahun. Ratusan debitor kakap bertahan hingga kini, hanya satu-dua yang tumbang. Nyaris tak ada debitor kecil yang terkena krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini berbeda. Hingga 10 Mei lalu, menurut catatan OJK, perbankan telah merestrukturisasi utang 3,9 juta debitor dengan total kredit Rp 336,97 triliun, separuhnya usaha mikro, kecil, dan menengah dengan nilai kredit Rp 167,1 triliun. Lembaga pembiayaan nonbank sudah memberikan keringanan kredit bagi 1,3 juta debitor dengan nilai kredit Rp 43,18 triliun. Sebagian dari mereka juga usaha kecil-menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya restrukturisasi ini memang harus dilakukan. Pandemi Covid-19 menimpa hampir semua sektor usaha, dari kelas kakap sampai kelas mikro. Pariwisata, perhotelan, transportasi, dan perdagangan merupakan sektor yang paling parah dihantam pagebluk ini. Keringanan pembayaran pinjaman pasti memberikan napas bagi pengusaha yang bisnisnya sempoyongan ini. Pengusaha yang ambruk akan memicu krisis yang lain, yakni perburuhan.
Agar program restrukturisasi ini berhasil, bank dan lembaga pembiayaan perlu menyeleksi dengan ketat debitor yang mengajukan restrukturisasi utang. Jangan sampai kemudahan ini malah menjadi kendaraan bagi pengusaha yang sebetulnya tidak terimbas pandemi tapi sejak awal berniat menghindari kewajiban pelunasan utang.
Maka, sebelum terlambat, tak ada salahnya pemerintah membentuk lembaga verifikasi. Lembaga ini yang menilai dan mengklasifikasi kondisi tiap debitor. Salah satu yang dinilai adalah sikap kooperatif para pengusaha dalam menyelesaikan pinjaman, termasuk jaminan aset yang akan diberikan dan prospek bisnis debitor di masa depan. Mereka boleh mengajukan restrukturisasi jika terbukti tidak pernah menunggak pokok dan bunga pinjaman.
Evaluasi kasus per kasus perlu dilakukan secara mendalam mengingat skema restrukturisasi untuk tiap debitor pasti berbeda, sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi. Namun perbankan ataupun lembaga pembiayaan tidak boleh ragu menolak permohonan bila debitor tidak memenuhi syarat. Ini untuk mencegah agar semua kemudahan yang diberikan tidak menjadi bumerang bagi perbankan. Mereka bisa ikut terseret kolaps, sementara sang debitor makin berjaya.
Kemudahan dalam restrukturisasi utang berpotensi menciptakan moral hazard. OJK harus belajar dari pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1998-2004. Banyak pengemplang utang tak tersentuh hukum meski mereka memanipulasi nilai aset dan melanggar aturan perbankan. Tak sedikit dari mereka yang ujung-ujungnya membeli kembali aset yang sudah direstrukturisasi dengan harga murah. Beban krisis perbankan pada masa itu, berupa obligasi rekap senilai Rp 600 triliun, masih harus ditanggung rakyat sampai sekarang.
Bukan tidak mungkin sejarah kelam kembali terulang. Gara-gara likuiditas terbatas, sejumlah bank tak mempunyai kecukupan pencadangan untuk menutup kredit bermasalahnya. Agar pinjaman debitor yang gagal bayar tidak menjadi kredit macet, mereka menyetujui permohonan restrukturisasi meski debitor tidak memenuhi persyaratan untuk menerima keringanan. Pada akhirnya, kredit itu tetap macet.
Banknya kolaps dan Lembaga Penjamin Simpanan harus turun tangan. Bukan tidak mungkin, seperti pada 1998, pemerintah juga ikut menanggung praktik moral hazard tersebut. Karena itulah OJK harus membuat pagar betis agar para calon pencoleng tak bisa ikut program restrukturisasi ini. Otoritas juga harus ekstraketat mengawasi manajemen bank agar tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo