Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN modern lazimnya memanfaatkan kritik pelanggan untuk memperbaiki pelayanannya. Namun PT Garuda Indonesia melenceng dari praktik manajemen dasar itu ketika memperkarakan penumpang yang mengunggah video ulasan di media sosial. Ironis karena Garuda merupakan badan usaha milik negara dengan status perusahaan terbuka.
Adalah Rius Vernandes, seorang penumpang kelas bisnis Garuda Indonesia penerbangan Denpasar-Sydney, yang menjadi obyek perkara. YouTuber yang terbang bersama tunangannya, Elwiana Monica, itu mengunggah foto menu yang ditulis tangan—bukan cetakan rapi seperti umumnya. Mengutip pernyataan pramugari penerbangan tersebut, ia menulis bahwa daftar makanan itu masih belum selesai dicetak.
Unggahan itu beredar cepat di dunia maya. Warganet heran, penerbangan yang masuk daftar maskapai terbaik versi lembaga pemeringkat Skytrax ini tidak memiliki menu tercetak. Respons manajemen Garuda sungguh ajaib: melarang penumpang mengambil foto dan video di dalam pesawat dengan alasan menjaga ketertiban. Mereka juga berdalih bahwa larangan itu perlu untuk keselamatan operasi penerbangan, juga selaras dengan Undang-Undang Penerbangan plus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Habis-habisan dihujat di media sosial, manajemen Garuda berbalik arah. Aturan soal larangan mengambil foto dan video, yang sudah bernomor dan resmi ditandatangani Direktur Operasi Bambang Adisurya Angkasa, buru-buru ditarik. Garuda menyatakan larangan itu sebenarnya berupa draf yang belum selesai dibahas di lingkup internal perusahaan. Blunder makin parah ketika Serikat Karyawan Garuda melaporkan Rius dan Elwiana ke Kepolisian Resor Bandar Udara Soekarno-Hatta dengan tuduhan pencemaran nama.
Tuduhan itu sungguh tak berdasar. Unggahan Rius di media sosial tidak bisa dikategorikan sebagai fitnah atau kabar bohong. Meski akhirnya Garuda meminta maaf dan berdamai dengan Rius pada Jumat, 19 Juli lalu, kejadian itu telanjur mencoreng citra maskapai nasional.
Cara aneh menghadapi masukan ini menunjukkan manajemen Garuda tidak memahami pentingnya kepuasan pelanggan. Mereka tidak menempatkan masukan sebagai bagian terpenting meningkatkan pelayanan. Respons ini sangat tidak profesional. Bandingkan, misalnya, dengan respons pemimpin Air Asia, Tony Fernandez, dalam menghadapi krisis lebih berat, yakni hilangnya pesawat maskapai ini dalam penerbangan Surabaya-Singapura pada 2014. Ia turun langsung berhari-hari mengikuti proses pencarian. Hasilnya, alih-alih terpuruk, citra maskapai murah ini malah menjadi lebih baik.
Pemimpin Garuda seperti menjalankan cara kerja primitif. Padahal, pada 2019, Garuda menempati peringkat ke-12 maskapai terbaik sedunia versi Skytrax, lembaga pemeringkat asal Inggris. Garuda juga dinyatakan sebagai “World’s Best Cabin Crew” setahun sebelumnya. Usaha mempertahankan prestasi itu semestinya dilakukan dengan terus menjaga kualitas pelayanan—dan dengan begitu mendapat ulasan positif dari berbagai pihak, termasuk YouTuber berpengaruh.
Blunder itu sangat memalukan karena manajemen Garuda sebelumnya juga disorot lantaran memoles laporan keuangan. Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia pun telah menjatuhkan sanksi kepada direksi perusahaan ini. Karena itu, tak ada jalan bagi mereka selain mundur. Jika tidak, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai pemegang saham semestinya segera mengganti mereka dengan personel yang lebih cakap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo