Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang meyakini bahwa pilihan kata bisa menggambarkan seberapa penting suatu kegiatan mengambil bagian dari waktu kita. Misalnya bersepeda, yang sudah saya jalani lima tahun terakhir. Apakah ini hobi? Pengisi waktu? Profesi?
Saya mungkin sepakat dengan hubungan antara kata dan seberapa komitmen kita dengan apa yang kita lakukan. Sejak serius menjadikan sepeda sebagai bagian tak terpisahkan dari keseharian, saya merasa bisa menggunakan kata pesepeda—bahwa saya pesepeda, seperti halnya mereka yang memanfaatkan wahana beroda dua itu untuk pergi ke mana-mana. Tapi belakangan saya mulai sangsi.
Keraguan itu timbul karena kesan yang lama-lama timbul, dan terasa, adalah penekanannya pada alat atau sarana. Di jalan, ketika kepentingan setiap penggunanya tak bisa dibatasi berdasarkan alat atau sarana—atau wahana—yang dipakai, memusatkan perhatian pada benda-benda itu justru bisa menjadi penghalang bagi upaya mengubah pola pikir mengenai keselamatan di jalan. Pembatasan itu bisa memperburuk ketegangan antarkelompok pengguna jalan.
Kata pesepeda, misalnya, disarankan diganti dengan “orang di atas sepeda”; pengemudi ditukar dengan “orang yang mengemudi”....
Memang, menurut kamus, pesepeda (yang sebetulnya merupakan padanan dari cyclist) berarti orang yang bersepeda atau mengendarai sepeda. Berkaitan dengan komitmen pelakunya, jika memang dia menjadikannya sebagai rutinitas, bersepeda bisa dikelompokkan bersama kegiatan-kegiatan lain yang terhitung penting tapi tak mengharuskan orang menaruhnya di daftar agenda yang mesti diikutinya, misalnya kewajiban berada di kantor sejak pukul 09.00 hingga pukul 17.00.
Dalam praktiknya, makna tersebut seakan-akan tak terasa pada kata pesepeda—yang, sebagaimana kata pemanah, umpamanya, dibentuk dari (kata benda) sepeda dengan awalan (prefiks) pe-. Nuansanya, bahwa ada unsur orang/manusia dan bahwa hal ini berpotensi memperbaiki cara orang mendiskusikan keberadaannya di jalan, seperti dipinggirkan oleh kata sepeda.
Baru-baru ini saya mengetahui bahwa, karena kerisauan yang sama, ada kelompok yang mengadvokasi penggunaan sepeda di Seattle, Amerika Serikat, yang menyarankan penggantian kata cyclist. Seattle Neighborhood Greenways, kelompok itu, bahkan berkampanye sejak delapan tahun lalu. Dalam kampanye itu, sepeda diletakkan dalam sasaran yang lebih luas yang hendak mereka capai, yakni apa saja yang berkaitan dengan cara jalan-jalan di dalam kota digunakan oleh manusia, oleh warga kota.
Seattle, seperti kebanyakan kota di Amerika, bukanlah wilayah yang ramah terhadap sepeda. Tapi pengambil kebijakan di sana mulai menyadari hal ini tak bisa dipertahankan. Jalan, dalam pikiran pengelola kota, mesti bisa diakses siapa saja, dengan kendaraan apa saja, dan dengan jaminan keselamatan yang tak memilih-milih.
Dalam pengamatan kelompok tersebut, perdebatan yang lalu timbul akibat perubahan kebijakan itu cenderung panas dan tak produktif. Penyebabnya, ada kalangan yang punya kesan bahwa beleid itu adalah perang terhadap mobil (dan kendaraan bermotor lain).
Untuk menghindari pertentangan yang berpotensi memburuk, diusulkanlah penggunaan kata-kata yang berpusat pada perorangan. Dasarnya adalah pengakuan bahwa siapa saja yang ada di jalan harus dipandang sebagai perorangan; inilah elemen dasar dari suatu jalan. Kata pesepeda, misalnya, disarankan diganti dengan “orang di atas sepeda”; pengemudi ditukar dengan “orang yang mengemudi”; “orang yang berjalan kaki” untuk pejalan kaki. Pandangan ini menekankan pentingnya unsur manusiawi pengguna jalan yang mana pun.
Inisiatif itu perlahan-lahan berhasil mencairkan ketegangan. Pengelola kota bahkan memanfaatkan saran-saran yang ada untuk melibatkan para pemangku kepentingan dalam diskusi yang lebih sehat; para pemangku kepentingan pun jadi bisa melihat persoalan dengan sudut pandang baru. Mereka menemukan peluang untuk bersepakat bahwa tujuan utama yang hendak diwujudkan adalah keselamatan. Dengan suasana baru ini, perlahan-lahan pengelola kota membangun jalur sepeda yang terpisah dan dilindungi pembatas.
Harus diakui, semua yang menjadi alternatif itu bukanlah kata, melainkan frasa. Semuanya tak praktis digunakan, dalam percakapan, juga dalam tulisan. Dalam konteks Indonesia, mungkin saja saya akan menggunakan frasa serupa jika tujuannya adalah membangun suasana bagi wacana yang sehat tentang bagaimana semestinya jalan digunakan bersama-sama—yang hingga kini belum terealisasi. Jika bisa ditemukan kata lain yang lebih mewakili, tentu saja, itu pilihan yang pas.
*) WARTAWAN, PENGGUNA SEPEDA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo