Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah panitia seleksi menjaring calon komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi dari kalangan perwira tinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan layak dipersoalkan. Kalaupun pencarian itu membuahkan hasil, penguasaan kursi pemimpin KPK oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan belum tentu mendatangkan manfaat bagi pemberantasan korupsi.
Alasan panitia seleksi bahwa calon komisioner komisi antikorupsi lebih memahami mekanisme penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkesan mengada-ada. Sebab, pengetahuan tentang proses hukum bukanlah monopoli polisi atau jaksa. Advokat, akademikus, dan pegiat antikorupsi pun memiliki pengetahuan teknis hukum dengan sama baiknya.
Lebih dari sekadar pengetahuan hukum, yang paling dibutuhkan dari pemimpin komisi antikorupsi adalah visi dan keberanian dalam memerangi korupsi. Sebab, tugas pemimpin komisi ini tak hanya memastikan penyidikan dan penuntutan perkara selesai sesuai dengan target. Di pundak mereka, ada tanggung jawab membuat Indonesia lebih bersih dari korupsi. Karena itu, integritas dan independensi menjadi syarat mutlak bagi calon pemimpin komisi antikorupsi.
Sebagai lembaga khusus yang memiliki wewenang besar, KPK dibentuk karena pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan tidak berjalan. Selama ini, untuk memberantas korupsi di lingkungan internal lembaganya, pejabat kepolisian dan kejaksaan masih kedodoran. Bagaimana mungkin mereka bisa sukses memimpin lembaga seperti komisi antikorupsi? Upaya bersih-bersih dengan sapu kotor jelas akan sia-sia.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian seharusnya tak mendorong perwira terbaik kepolisian—bila itu memang ada—memimpin komisi antikorupsi. Perwira jempolan itu lebih baik dirawat untuk membenahi kepolisian. Apalagi persepsi masyarakat tentang polisi pun belum membaik. Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia pada September 2018, misalnya, menyebutkan potensi pungutan liar tertinggi berada di kepolisian, lalu peradilan dan lembaga pemerintah.
Niat Tito meningkatkan sinergi antara komisi antikorupsi dan kepolisian dalam memberantas korupsi tidaklah salah. Tapi, kalau memang itu tujuannya, polisi tak perlu menguasai KPK. Polisi bisa memaksimalkan mekanisme koordinasi dan supervisi. Undang-undang memberi komisi itu wewenang menyelia pengusutan korupsi di kepolisian dan kejaksaan. Pada saat yang sama, kepolisian dan kejaksaan wajib berkoordinasi dengan KPK. Sayangnya, fungsi koordinasi selama ini kerap tak berjalan optimal justru karena resistansi dari kepolisian dan kejaksaan.
Polri boleh saja menjamin bahwa perwiranya bakal bekerja profesional dan tunduk kepada aturan main di komisi antikorupsi. Faktanya tak selalu begitu. Sejumlah perwira polisi di komisi ini malah menjadi kerikil ketika lembaga antirasuah itu mengusut perkara yang melibatkan petinggi polisi. Di antara mereka bahkan ada yang melakukan tindakan tercela, seperti merusak barang bukti dan membocorkan informasi.
Menjaring sosok terbaik dari kepolisian dan kejaksaan jelas ibarat mencari jarum di tumpukan jerami—ketika hari mulai gelap. Ketimbang bersusah payah seperti itu, panitia seleksi lebih baik menjaring calon komisioner komisi antikorupsi di tempat yang lebih terang, yakni masyarakat luas. Panitia seleksi bisa mencari kandidat dengan melibatkan kalangan pegiat antikorupsi, perguruan tinggi, dan media yang independen. Dengan begitu, calon pemimpin KPK yang terjaring kemungkinan besar lebih berintegritas dan steril dari konflik kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo