Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Salah Kaprah Rekonsiliasi

Pemilihan presiden merupakan peristiwa rutin lima tahunan, bagian dari mekanisme sirkulasi kepemimpinan.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah Kaprah Rekonsiliasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memandang kompetisi ini sebagai pertarungan hidup-mati sangatlah keliru. Apalagi jika pada akhirnya yang terjadi adalah permufakatan tertutup di antara para elite untuk bagi-bagi kekuasaan. Dengan jargon rekonsiliasi, kedua kubu bernegosiasi mencari kesepakatan.

Setelah pemilihan presiden dengan kompetisi yang nyaris brutal setahun terakhir, kehidupan publik seharusnya normal kembali. Mahkamah Konstitusi telah menolak semua gugatan sengketa hasil pemilu yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Keputusan Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei 2019 dikukuhkan: Joko Widodo-Ma’ruf Amin memimpin negara ini pada 2019-2024.

Betapapun menyesatkan, kata rekonsiliasi telah lazim digunakan akibat terlalu kerasnya persaingan di dalam masyarakat. Orang ramai seolah-olah dibagi menjadi dua kelompok: nasionalis dan islamis—betapapun problematiknya penggunaan kategorisasi itu hari-hari ini. Kubu nasionalis disematkan kepada pendukung Jokowi, sedangkan cap islamis dilekatkan kepada penyokong Prabowo. Kedua kelompok membawa narasi yang menguatkan stempel-stempel itu selama masa kampanye. Amien Rais, politikus Partai Amanat Nasional yang mendukung Prabowo, misalnya, menyebut adanya kekuatan partai tuhan dan partai setan. Sedangkan para pendukung Jokowi mengecap kelompok lain sebagai anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia atau pro-negara khilafah.

Adu stempel itu memuncak justru setelah hasil pemungutan suara diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Kelompok pendukung Prabowo memprotesnya dengan, antara lain, menggelar salat tarawih di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, tepat di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, pada 21 Mei malam. Inilah awal pecahnya kerusuhan yang menewaskan sembilan orang. Bukan kebetulan, elite kedua kubu intensif bertemu setelah rusuh.

Inisiatif datang dari kubu Jokowi. Mereka disebutkan menawarkan posisi di pemerintahan untuk sejumlah politikus Partai Gerindra pimpinan Prabowo. Tawaran juga disodorkan ke Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Jika ini terlaksana, koalisi pemerintah akan memegang kekuatan mutlak.

Sejauh ini, dari penghitungan sementara, gabungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan menguasai 349 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Gerindra bergabung, kekuatan bertambah menjadi 427 kursi. Bila Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional juga menyeberang, koalisi pemerintah bakal memegang 525 dari 575 kursi Dewan. Oposisi hanya ditempati Partai Keadilan Sejahtera.

Bagi Jokowi dan Ma’ruf, kekuatan mayoritas itu dianggap bakal memuluskan semua rencana pemerintah. Tak ada serangan dan kritik tajam dari DPR. Semua keinginan—dari menambah anggaran hingga menetapkan undang-undang baru—akan berjalan mulus tanpa hambatan. Tapi di sinilah persoalannya: keinginan agar rencana tak diganggu aral itu mengasumsikan bahwa rencana tersebut seratus persen baik sehingga tidak perlu secara sengit diuji dalam proses checks and balances.

Bagi masyarakat, kekuatan mayoritas tunggal itu bisa merugikan. Sebab, tak ada lagi perimbangan kekuatan di lembaga eksekutif dan legislatif. Lebih jauh lagi, orientasi kekuasaan ini makin menjauhkan sistem kepartaian yang ideal. Elite partai bersikap sangat pragmatis, mengejar kesepakatan transaksional.

Oposisi yang kuat sebenarnya akan membiasakan masyarakat menghadapi perbedaan. Terutama perbedaan orientasi politik, seperti di negara-negara maju. Masyarakat bisa belajar dari perbedaan kubu konservatif yang mendukung Partai Republik dan kubu liberal sebagai penyokong Partai Demokrat di Amerika Serikat. Di negara-negara Eropa, ada kekuatan kiri pada kelompok buruh yang berkompetisi dengan kelompok kanan. Perbedaan politik di negara-negara itu berjalan normal, tidak menimbulkan permusuhan yang pada akhirnya memerlukan “rekonsiliasi”.

Ada baiknya Gerindra menimbang kembali tawaran bergabung ke kubu Jokowi. Mereka perlu bersama Partai Keadilan Sejahtera—juga semestinya Demokrat dan PAN—tetap menjadi oposisi. Kekuatan oposisi tidak kalah penting dibandingkan dengan pemerintah. Mereka bisa menyusun program-program tandingan, yang akan menjadi pembanding program partai penguasa. Prabowo juga punya tanggung jawab moral karena, sengaja atau tidak, ia telah membuat pendukungnya menjadi militan dalam pengertian yang negatif. Sikap ini telah memperkeras persaingan politik dalam sepuluh bulan terakhir. Untuk kemaslahatan bangsa dan negara—alasan yang selama ini kerap dipidatokan Prabowo—tak semestinya ia kini berpindah posisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus