Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mengembara

Seorang pengembara siap untuk “tidak mendapat”, berani tak menghasilkan apa-apa. Ia bukan pejalan yang jinak.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mengembara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa arti “mengembara”? Di masa terkurung pandemi ini, “mengembara”—yang selalu menarik, selalu penuh masalah, dan sebab itu tak habis-habisnya disebut dalam imajinasi sastra—adalah meninggalkan tempat dan masa lalu. Terkadang secara radikal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chairil Anwar mengutarakannya dalam sebuah puisi yang mengejutkan: mengembara adalah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat

   —the only possible non-stop flight

   Tidak mendapat

 

Dengan kata lain, tak ada tujuan final. Seorang pengembara siap untuk “tidak mendapat”, berani tak menghasilkan apa-apa. Ia bukan pejalan yang jinak.

Maka pengembara yang sebenarnya tak akan beroleh tauladannya dalam cerita romantis Panji. Dalam cerita ini, yang menghibur orang di pelbagai tempat di Asia Tenggara, putra mahkota Jenggala di Jawa Timur abad ke-12 meninggalkan istana. Ia menempuh hutan demi hutan, mencari kekasihnya yang raib. Ada satu versi yang menyebut Panji, pangeran yang sedih itu, hilang ingatan. Tapi pada akhirnya ia—yang dalam sebuah tari Jawa disebut kelana gandrung alias pengembara yang dirundung asmara—adalah bangsawan yang punya rencana tetap dan nasib baik; yang dicarinya ketemu.

Panji bukan pengembara.

Bahkan Odiseus pun tak masuk kategori itu. Odiseus, seorang tokoh dalam kisah Perang Troya gubahan Homeros di zaman Yunani Kuno, memang lazim dipakai sebagai perumpamaan. Kata odyssey dalam bahasa Inggris sama dengan “perjalanan bertualang yang lama dan tak jarang menghadapi rintangan”.

Tapi sebenarnya perjalanan tokoh ini sebuah rute pulang. Setelah bertahun-tahun ikut perang, Odiseus berlayar kembali ke istananya, ke haribaan istrinya. Homeros memang menyebutnya seseorang yang “dalam banyak cara mengubah jalur dan mengembara panjang dan luas”. Setelah bersama aliansi Yunani menghancurkan Troya, Odiseus melihat “banyak kota yang dihuni orang yang berbeda-beda, mencoba kenal cara berpikir yang berlain-lainan”. Tapi tetap: perjalanan itu, seperti Panji (meskipun jauh lebih seru), digerakkan untuk kembali kepada apa yang dikenalnya—bagian dari dirinya sendiri. Seorang penelaah puisi Homeros pernah menunjukkan, dalam diri Odiseus pengertian nostos (kembali) berkaitan dengan noos (pemikiran).

Lévinas, filosof Yahudi-Prancis itu, bahkan melihat perjalanan Odiseus sebagai un retour au Même, “jalan pulang ke Yang-Sama”. Odiseus tak berlayar jauh menyambut Yang-Lain, Yang-Berbeda. Ini kisah yang egosentris, dengan agenda yang konservatif, kembali memeluk identitas—bukan untuk “mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”.

Lévinas menunjukkan kontrasnya dengan cerita Ibrahim dalam kepercayaan Yahudi. “Ibrahim meninggalkan tanah airnya selama-lamanya, untuk sebuah negeri yang belum diketahuinya, dan bahkan melarang pelayannya membawa kembali anaknya ke tempat keberangkatan.”

Tapi perlu catatan: Ibrahim, tauladan pengembara, pemula agama-agama besar di Timur Tengah, memang seseorang yang kukuh dan berani di wilayah asing. Namun keberanian diri bukanlah segala-galanya. Ada unsur waktu. Yang asing lambat-laun akan tak lagi asing. Ada transformasi.

Sebab itu saya kira Lévinas keliru menilai perjalanan Odiseus sebagai perjalanan pulang ke Yang-Sama. Veteran Perang Troya itu telah melihat banyak hal, bertindak cerdik dan licik di tengah bahaya; ia bisa jadi serba curiga. Tapi ia juga merasakan keramahan orang-orang yang dengan tulus menyambut pendatang asing yang butuh tempat berteduh—unsur yang selalu hadir dalam pengembaraan. Puisi Homeros mengisyaratkan, dalam arus waktu, Odiseus—seperti Ibrahim—tak lagi seperti semula.

Pengembaraan tak mungkin hanya perjalanan kembali ke Yang-Sama. Ruang dan waktu yang hidup dan dialami tak akan mengulang sebuah “ego” yang identitasnya kekal. Odiseus mengalami apa yang disebut xenia, adat yang merawat hubungan baik antara tamu dan tuan rumah.

Hubungan itu bukan tanpa dampak.

Dalam satu adegan, Raja Phaeacia menyambut Odiseus, orang asing yang butuh istirahat dalam perjalanannya yang jauh. Selama jamuan, Baginda melihat sang tamu menitikkan air mata ketika mendengar puisi yang dibacakan penyair istana tentang pengembaraan. Raja pun sadar, tamunya bukan dewa perkasa yang mampir, tapi manusia yang mengalami. Ia pun meminta Odiseus mengisahkan perjalanannya sendiri: “Tuan kisahkan pengembaraan Tuan, lukiskan tempat dan orang-orang, kota-kota yang Tuan saksikan. Mana yang liar dan kejam, tak ramah, mana pula yang baik hati kepada tamu, dan menghormati dewa-dewa?”

Mengembara tak mungkin tanpa variasi itu. Kita ingat Serat Centhini. Pengembaraan Jayengresmi cukup radikal. Putra Sunan Giri Prapen yang harus melarikan diri setelah daerahnya dikuasai Sultan Agung ini berjalan dari tempat ke tempat di Jawa dengan memakai nama samaran. Di pelbagai dusun para pengungsi Giri ini jadi akrab dengan apa yang selama ini tak mereka kenal: jenis makanan, adat-istiadat yang tak seragam—juga apa yang mistis dan yang cabul.

Mereka tak terbang jauh di angkasa dengan “nonstop flight”. Tapi mereka tak kembali. Mereka bukan Odiseus, bukan Panji. Mereka akhirnya identitas yang sama sekali lain. Di ujung cerita 12 jilid yang ganjil ini, mereka jadi larva.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus