Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA pandemi Covid-19 makin ganas, perdebatan yang mempertentangkan kesehatan masyarakat dengan pemulihan ekonomi makin tidak relevan. Sayangnya, perdebatan seperti itulah yang mencuat ketika sejumlah menteri mengkritik keras penerapan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pembantu Presiden Joko Widodo ramai-ramai “mengadili” Gubernur DKI Anies Baswedan dengan alasan pengumuman PSBB berdampak buruk terhadap perekonomian. Mereka antara lain merujuk pada rontoknya indeks harga saham gabungan, turun tajam sampai 257,49 poin, sehingga bursa sempat dihentikan sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sentimen negatif dari pasar saham itu bisa jadi merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari pengumuman PSBB. Tapi pemerintah DKI tak punya banyak pilihan. Wabah makin tak terkontrol. Rasio positif Covid-19 dan angka kematian terus meningkat. Bahkan bangsal sejumlah rumah sakit rujukan nyaris penuh. Bila “rem darurat” tak segera ditarik, kesehatan masyarakat dan perekonomian Ibu Kota akan sama-sama masuk jurang.
Masalahnya, perdebatan menjadi tak bermutu karena setiap pihak demikian terpolitisasi. Penerapan PSBB dirisak karena itu merupakan keputusan Anies, yang beda kubu politik dengan para menteri. Di media sosial, warganet juga terbelah antara mendukung Anies dan Jokowi.
Gegap-gempita di dunia maya, sedangkan di alam nyata, dukungan masyarakat atas kebijakan pengendalian Covid-19 malah makin rendah. Pelanggaran atas protokol kesehatan terjadi di mana-mana. Boleh jadi, rendahnya dukungan itu berkorelasi dengan tergerusnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang terus bertengkar.
Kekompakan pejabat dan solidaritas masyarakat sejatinya sangat diperlukan di tengah morat-maritnya kapasitas sistem kesehatan. Terlambat mengantisipasi gempuran wabah, fasilitas kesehatan kita telanjur babak-belur. Hingga 17 September lalu, 117 dokter meninggal karena Covid-19. Di zona merah, rumah sakit rujukan makin banyak yang tak bisa menerima lagi pasien baru, sementara kurva pandemi terus menanjak.
Pemerintah salah langkah menghadapi wabah sejak awal. Jokowi dan para pembantunya, termasuk Menteri Kesehatan, membuang kesempatan emas karena sempat meremehkan wabah Covid-19. Setelah wabah berkecamuk lebih dari enam bulan, Jokowi akhirnya menyatakan kesehatan masyarakat harus diutamakan. Tapi kritik para menteri atas PSBB DKI menunjukkan Presiden dan para menterinya seperti tidak dalam satu frekuensi.
Ketika wabah kian tak terkendali, pemerintah seperti kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa. Presiden berkali-kali memarahi para menteri yang lamban dan minim terobosan. Tapi Jokowi tak kunjung bertindak tegas. Alih-alih mengganti menteri yang tak cakap, Jokowi bolak-balik membentuk tim ad hoc untuk menangani wabah. Cara itu hanya memperpanjang rantai komando dan memperlambat proses pengambilan keputusan. Upaya mengatasi wabah pun terkesan parsial dengan target jangka pendek, tidak berdasarkan strategi total untuk memenangi perang jangka panjang. Alih-alih setia mendengarkan pendapat ahli, Presiden sibuk mencari second opinion—dengan first opinion yang tak benar-benar dia miliki dan pahami.
Perlu kepemimpinan yang kuat, terutama di level nasional, untuk mendongkrak kapasitas sistem kesehatan sekaligus membangun solidaritas masyarakat dalam waktu singkat. Sebelum benar-benar terlambat, Jokowi seharusnya menunjukkan bahwa dia pemimpin yang tegas, responsif, serta konsisten dalam memimpin pasukan dan rakyatnya. Kualitas seorang pemimpin dipertaruhkan di masa krisis seperti saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo