Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pakar

Umumnya pakar kita anggap punya kesimpulan dari proses yang netral, metode penelitian yang baku, kerja dan paparan yang sistematis, dengan data, angka.

18 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pakar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Epidemi 2020: yang cepat berjangkit bukan hanya virus, tapi juga pertanyaan. Dengan kata lain, ketidakpastian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita tak tahu berapa banyak orang akan mati dan sejauh mana sebuah negeri seperti Indonesia mentolerir jumlah kematian: 100 ribu? Atau 2,5 juta? Kita belum tahu seberapa parah krisis ekonomi akibat epidemi ini. Akankah korbannya lebih besar dan luas ketimbang korban virus?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wabah sans-frontiere ini mungkin tak semengerikan epidemi di abad-abad yang lalu dari segi jumlah kematian, tapi Covid-19—yang belum lama dikenali—menjalar jauh lebih cepat bersama makin cepatnya lalu lintas manusia. Semua kepergok. Pekan lalu diumumkan, dalam peringkat Global Health Security Index, dari sebanyak 195 negeri, tak satu pun siap penuh menghadapi coronavirus ini.

Sampai kapan?

Orang mengais-ngais jawab.

Pemenang Hadiah Nobel 2013 untuk ilmu kimia, Michael Levitt, menghitung, epidemi ini akan berakhir lebih cepat ketimbang yang umumnya diperkirakan. Tapi dua pekan lalu William Hanage, pakar epidemiologi Universitas Harvard, menulis dalam surat kabar Inggris The Guardian dengan kalimat penutup yang suram: “Di daerah saya tinggal, di Cambridge, Massachusetts, sirene terus-menerus terdengar. Krisis ini tak mendekati akhir, malah sebaliknya. Pandemi ini baru saja mulai.”

Dengan prediksi yang bertolak belakang seperti itu, perdebatan berlangsung intens, dan kebingungan melelahkan. Pada akhirnya, dari pendapat para pakar atau mereka yang diasumsikan sebagai pakar, orang hanya akan memilihnya seperti memilih sandal jepit di toko: memungut yang berwarna jingga (jika ia ingin optimistis) atau ungu (jika ia ingin pesimistis).

Meskipun para pakar dianggap, atau diharap, tak bicara dalam jingga atau ungu.

Pakar (kata ini kita pungut dari bahasa Melayu Malaysia, terjemahan dari expert) lahir bersama perkembangan pengetahuan ketika ilmu-ilmu makin menukik menelaah, makin dalam menganalisis fenomena. Umumnya pakar kita anggap punya kesimpulan dari proses yang netral, metode penelitian yang baku, kerja dan paparan yang sistematis, dengan data, angka. Umumnya mereka bagian dari tradisi klasik ilmu-ilmu: ilmu harus “obyektif”, atau ia bukan ilmu. Seorang ilmuwan harus melakukan apa yang sering disebut, dalam bahasa Inggris, scientific detachment: dalam menelaah, aku sepenuhnya berpikir; aku harus melepaskan perasaan hatiku, prasangkaku, kepentinganku. Aku seakan-akan menelaah dunia mengatasi sudut pandangku. Aku berada dalam isolasi imajiner.

Para sejarawan mengatakan, tauladan sikap itu—yang mendasari pencarian pengetahuan (scientia)—dimulai saat Descartes menuliskan pemikirannya, antara lain, Meditations, di abad ke-17.

Sering dilupakan, ia sebenarnya bukan hanya filosof. Descartes juga pendahulu revolusi sains. Matematika terapan yang dipakai kini didasarkan atas penemuannya. Penjelasannya tentang pelangi membuka arah baru ilmu optik. Dan ia salah satu ilmuwan yang menunjukkan bahwa kerja tubuh manusia dapat ditelaah bagaikan mesin.

Dari sana sebenarnya tampak benih-benih filsafatnya yang kemudian berpengaruh luas: filsafat yang berniat menemukan dasar yang pasti bagi pengetahuan.

Terkenal bahwa Descartes memulainya dengan meragukan segala hal secara radikal: bukan hanya dogma dan dongeng yang ia pertanyakan, tapi juga eksistensinya sendiri di dunia. Yang akhirnya tak bisa diragukan adalah posisinya sebagai subyek yang sedang dalam keadaan meragukan. Pangkal ragu itu proses berpikir. Kalimat pendek Descartes yang termasyhur: “Cogito, ergo sum.” Aku ini sadar aku sedang berpikir, berarti pikiran ada: itulah dasar kepastian.

Dengan cogito sebagai dasar kepastian, Descartes pada akhirnya memandang subyek manusia, subyek yang berpikir, sebagai pusat di tengah (dan berhadapan dengan) dunia. Adapun yang dimaksud “dunia” adalah ruang, waktu, benda, alam, bahkan tubuhnya sendiri (yang bisa ditelaah bagaikan mesin). Aku adalah sang subyek, dan lainnya obyek. Dalam konstelasi itu ada dua “bangunan”: aku yang berpikir dan dunia yang aku pikirkan.

Maka sering ditafsirkan Descartes meletakkan dunia sebagai sesuatu yang terpisah; subyek manusia berada di atas segala hal di luar dirinya dan tak terpengaruh oleh mereka. Kita pun ingat para ilmuwan: dalam meneliti, mereka membebaskan diri dari pengaruh apa pun di luar proses pemikirannya—sebagaimana Descartes, dalam merenungkan thesis-thesisnya, tinggal menyendiri dalam sebuah ruang tertutup di musim dingin.

Tapi keterpisahan itu sebenarnya tak demikian ekstrem dan berbahaya jika diikuti dengan ekstrem pula. Ada kata-kata Descartes yang sering diabaikan: “Aku tak hanya hadir dalam tubuhku seperti seorang pelaut hadir dalam sebuah kapal; aku secara akrab bertaut, katakanlah begitu, sedemikian rupa hingga aku dan tubuhku membentuk satu kesatuan.”

Dalam perkembangannya, para ilmuwan memang melupakan kesatuan itu, ketika mereka makin jauh dari renungan menelaah bagaimana pengetahuannya terbentuk. Dorongan untuk “obyektif” yang kini kita harapkan pada mereka memang menyebabkannya demikian; kita membayangkan seorang pakar tinggal selama-lamanya dalam tabung gelas.

Tapi mustahil. Sejauh-jauhnya seorang manusia masuk ke isolasi, ia selalu berada dalam suatu “keadaan”, Befindlichkeit, kata Heidegger. Seorang pakar memang berniat obyektif, ia bermaksud netral tak jingga tak ungu, tapi tak pernah bisa absolut. Tak absolut tak berarti keliru. Hanya ia punya perspektif yang terbatas.

Kita memang membutuhkan pendapatnya—tapi juga membutuhkan kesadaran tentang terbatasnya pendapat itu. Memang para pakar itu, yang merasa lebih tahu, bisa angkuh. Tapi kini siapa pun harus berdamai dengan kenyataan bahwa selalu ada yang kita belum tahu dan tak bisa tahu. Covid-19 sedang mengajari kita untuk rendah hati, juga dalam ketakutan.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus