Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pohon-pohon*

Hutan adalah wilayah penghabisan di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan.

22 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk tanda dalam waktu. Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan? Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-menjalin bersama perdu, carang, dan sulur; sekitar pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukitan Bali Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam kesepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di timur, di tepi danau, tampak sebuah puri kecil yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-akan bergetar di ruas batang trembesi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap diukur. Tamasya itu—hutan yang hilang, waktu yang dirampat—tak lagi punya tuah. Ia hanya punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga “puak yang perkasa dan damai” itu—ungkapan Marcel Proust tentang pohon-pohon—pun punah, tak akan dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur dan tua menyingkir ke dalamnya sebagai petapa, untuk—seperti Destarastra, disertai Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata—menantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba menemui kembali pohon-pohon (seraya mengenakan pakaian dari kulit kayu dan anyaman gelagah) dan berharap untuk dapat bertaut lagi dengan Kegaiban yang dulu mereka lupakan.

Berapa lama gerangan Kegaiban itu dilupakan, sehingga tuah alam sirna? Hilangnya pesona dunia, the disenchantment of the world, bermula ketika datang “modernitas”—itulah yang dikatakan dalam risalah termasyhur Max Weber. Tapi mungkin lupa dan lenyap itu jauh lebih tua ketimbang abad ke-17 Eropa. Bagi saya, lupa itu bisa datang kapan saja, ketika manusia melihat dunia hanya sebagai sehimpunan obyek yang siap dalam jangkauannya, untuk disimpulkan dalam “pengetahuan” atau untuk diotak-atik sebagai alat. Pada saat itu, manusia pun lupa bahwa ia pernah terpesona oleh apa yang disebut dalam filsafat Jawa sebagai sangkan paraning dumadi, “asal dan bakal apa yang ada, yang men-jadi”. Pada saat itu, manusia yang lupa juga tak lagi tersentuh oleh apa yang disebut orang-orang tasawuf sebagai wujud.

Pada saat itu manusia sibuk dengan apa yang tampak dan terdengar, dengan segala yang dapat diraba dan dicium, dengan apa yang ada yang di hadapannya—dan ia pun abai bahwa “ada” (wujud) adalah sesuatu yang ajaib, sebenarnya: Kenapa kok ada “ada”? Kenapa bukan “tidak ada” saja?

Pertanyaan itu mengusik, tapi bukan sebuah pengusik. Ia sebenarnya sebuah getar yang menggugah. Dan di gua pertapaan yang dilindungi pohon-pohon, “puak yang perkasa dan damai”, getar yang menggugah tapi telah dilupakan itu hendak ditebus kembali. Dengan diam, sunyi, rela, melepas hasrat. Dengan, dalam kata-kata penyair Wordsworth, “kepasifan yang arif”.

Di sanalah ruang yang statis itu bertaut dengan waktu yang berlalu. Sang petapa membiarkan, mempersilakan, apa saja yang di luar egonya untuk merayakan wujud. Ia tak mengalahkan waktu. Ia tak membabatnya hingga datar, rata, terukur, seperti sang pembangun yang menjarah hutan. Sang petapa, raja yang telah jadi resi itu, tak lagi hendak menentukan. Ia ditentukan. “Lalu waktu, bukan giliranku...,” kata salah satu puisi meditatif Amir Hamzah. Sang resi mencoba meresapkan betapa abad membentuk batang, tahun menyambung dahan, dan, di dekat kakinya, embun menyusun jaring lembut di antara rumput dan daun putri malu. Ia kini bahkan merasakan bahwa basah adalah momen dari air yang terus-menerus bergerak, entah dari mana, entah ke mana. Mungkin dalam kekekalan.

Konon, seorang sufi akan menyebut bahwa pada saat itulah ia menemukan tajalli, manifestasi-diri Yang Maha-Gaib. Ia akan teringat akan sebuah hadith bahwa Tuhan menyembunyikan diri-Nya “di balik tujuh puluh ribu cadar cahaya dan kegelapan”. Ia akan langsung merasakan betapa benar dan indahnya kalimat itu: kedua anasir dalam cadar itu hadir, dan yang gelap tak akan menyingkirkan yang terang, juga sebaliknya.

Sebab sang sufi adalah manusia yang dulu ibarat raja, atau sebuah subyek yang imperial, yang ingin mengendalikan dunia di luar dirinya dan sebab itu tak hendak membiarkan hal-hal yang gelap hadir. Kini, sebagai resi yang pasif tapi arif, ia bersyukur bahwa kegelapan itu juga bagian dari rahmah. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam hadis pula, seandainya Tuhan menanggalkan semua cadar, cahaya yang menyemburat dari Paras-Nya akan serta-merta “menghancurkan penglihatan makhluk mana saja yang berani menatap”.

Mungkin tajalli itulah Lichtung—kata yang dipilih Heidegger, ketika Ada (Sein) menyatakan diri, ketika Yang Gaib mengejawantah. Lichtung, dalam deskripsi George Steiner, penafsir Heidegger, adalah “seperti cahaya yang bergerak di sekitar obyek-obyek dalam hutan yang gelap, meskipun kita tak tahu dari mana sumbernya”.

Hutan gelap, rimba purba, tapi yang terkadang menghadirkan cahaya yang mempesona tanpa jelas sumbernya—mungkin itulah kiasan yang baik hari ini: kerinduan manusia kepada tiap getaran dari Kekekalan Yang Maha-Gaib, sekaligus Yang Maha-Indah, di mana hidup adalah pohon-pohon lebat yang mensyukuri matahari. Tapi kita menebangnya, kita menghancurkannya, dan nihilisme yang menakutkan itu pun mulai.

GOENAWAN MOHAMAD

*) Pernah dimuat di Tempo edisi 16 November 2003

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus