Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN yang lampau, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat mengeluarkan fatwa yang membuat heboh. Fatwa yang dikeluarkan dalam forum rapat koordinasi daerah MUI se-Sumatera Barat itu berbunyi seperti ini (saya kutip sebagaimana tulisan aslinya, termasuk penulisan huruf kapital dan tanda ejanya):
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hukum Penggunaan nama-nama yang tidak sesuai dengan Syariah terhadap produk makanan, Minuman, Obat-obatan, Kosmetik, dan Pakaian adalaj dilarang di dalam Islam (manhiy ‘Anhu). Kalau menyangkut hal-hal yang prinsip di dalam Islam terkait soal akidah seperti “neraka”, “setan”, “Iblis” maka hukumnya haram. Kalau terkait dengan akhlak dan etika seperti “ayam dada montok”, “mie caruik”, maka hukumnya makruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak hanya sebatas itu, pada diktum rekomendasi tercantum kalimat “semua lapisan masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk yang menggunakan nama-nama yang dilarang dalam fatwa ini”.
Fatwa itu tentu saja berbuntut panjang. Sebab, di medan laga dunia bisnis, sudah banyak wirausaha kuliner yang telanjur melabeli usaha bisnisnya dengan sejumlah nama yang “garang”. Kita mengenal Rawon Setan yang legendaris di Surabaya itu, yang berdiri jauh sebelum fatwa tersebut dikeluarkan. Kita mengenal Dawet Jembut di Purwodadi yang, sebagaimana diakui penjualnya, berasal dari akronim Jembatan Kecabut. Kita juga mengenal sejumlah sajian kuliner dengan label “garang”, seperti Mie Setan, Sambel Setan, Mi Goreng Setan, Bakso Rusuk Setan, dan Ceker Setan, yang rata-rata merujuk pada sensasi kepedasannya.
Peter B. Hammond dalam An Introduction to Cultural and Social Anthropology (1971) menulis bahwa salah satu hal yang menjadi penanda gaya hidup adalah kebiasaan makan. Ada enam kriteria yang dicatat Hammond tentang kebiasaan makan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat tertentu: apa makanan yang sebaiknya dimakan, kombinasi makanan apa yang pantas, cara penyajian yang pantas, waktu yang pantas untuk bersantap, peralatan yang cocok digunakan untuk menyantap, serta estetika dan tata penyajian yang baik.
Menariknya, belakangan kita mendapati fenomena pergeseran wacana, yakni dari masyarakat yang berpandangan bahwa makanan merupakan bagian kebutuhan hidup yang mengedepankan kepraktisan mengarah ke masyarakat yang memandang makanan sebagai cita rasa dan estetika, sampai kemudian bergerak ke arah masyarakat yang berpandangan bahwa makanan adalah bagian dari citra.
Jika dikaji lebih dalam, memang sejarah tradisi kuliner kita tidak pernah bisa jauh dari dua citra: mistisisme dan erotisisme. Pada kategori pertama, sejumlah nama makanan dan produk kuliner bangsa kita erat kaitannya dengan perkara mistis. Hadirnya nama seperti Sambel Setan, Mie Iblis, Rawon Setan, Es Pocong, Tahu Setan Judes, Es Genderuwo, dan Es Kuburan menjadi penanda bahwa tradisi kuliner kita semarak dengan mistisisme.
Nama-nama tersebut tentu saja memiliki makna sosial. Secara umum, nama-nama mistis itu adalah gambaran akan “kegaharan” dan sensasi rasa pedas yang demikian kuat. Tentu saja makna sosial itu cukup berhenti di sini dan tidak perlu ditarik terlalu jauh sampai ke wilayah akidah dan keyakinan sebagaimana yang dimasukkan ke diktum fatwa MUI di atas.
Adapun erotisisme memiliki akar yang jauh lebih menghunjam. Banyak jajanan tradisional Nusantara yang namanya mengandung unsur erotisisme. Nama seperti råndå royal, dudhå kemulan, bujang selimut, dan kue tete sudah ada sejak dulu. Belakangan, lahirlah nama jajanan beraroma erotisisme seperti Kue Bikini, BH Suwek (akronim dari Burger Hitam Super Wenak), dan Dawet Jembut Kecabut (kependekan dari Dawet Jembatan Butuh Kecamatan Butuh, nama lokasi tempat minuman tersebut dijajakan).
Jika ditelisik lebih dalam, ada satu fenomena lagi yang membuhul kiwari, yakni penamaan sajian kuliner dengan varian bahasa yang identik dengan kekerasan: Ayam Geprek, Ayam Gepuk, Ayam Pentung, Tahu Geprak, Ubi Cincang, dan sebagainya. Fenomena ini tentu saja menarik untuk dikaji dan diperbincangkan dalam kesempatan lain.
Perkara kuliner memang selalu asyik didiskusikan. Ia bergerak begitu dinamis, termasuk dalam hal memberikan label. Tentu saja persoalan labelisasi dan penamaan makanan itu tidak murni hanya persoalan akidah atau keyakinan dalam agama tertentu. Ada banyak faktor, termasuk sejarah dan strategi pemasaran.
Kawan saya bercerita menggebu tentang hasil pertemuannya dengan pakar pemasaran terkemuka, Hermawan Kartajaya. Oleh pesohor itu, kawan saya diberi nasihat: “Jika ingin daganganmu laku, produkmu harus memiliki diferensiasi atau pembeda. Misalnya, kalau produkmu pecel lele, jangan berhenti di label pecel lele saja, tapi kasih nama ‘pecel lele dumbo’. Kalau produk daganganmu nasi kucing, harus ditambahi misalnya menjadi ‘nasi kucing anggora’. Itulah diferensiasi yang menjadikan daganganmu tidak hanya memiliki pembeda dengan produk lain, tapi juga memiliki daya tarik yang mengundang perhatian calon konsumen.”
FARIZ ALNIEZAR, PENGAJAR LINGUISTIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, PENULIS BUKU PROBLEM BAHASA KITA (2017)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo