Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ke-Putus-an

Bahasa Indonesia dengan baik menyebut decision sebagai “ke-putus-an”: ada yang traumatik ketika putus kaitan antara yang sebelum dan sesudahnya. Tentang kemerdekaan yang terancam kecerdasan buatan.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMERDEKAAN bukan hanya sepatah kata bulan Agustus. Kita tiap kali didesak merenungkannya—meskipun kita sering tak bisa. Merenung bukan hal mudah. Dari pengeras suara di kejauhan terdengar khotbah yang berteriak dan dari televisi tetangga suara percakapan sinetron yang bodoh. Mungkin sudah saatnya kita membaca sebuah sajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persisnya, sajak Toto Sudarto Bachtiar:
Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya

Tak mudah menyimpulkan apa yang dikatakan sang penyair, tapi satu hal terasa: sajak itu mengisyaratkan bahwa kemerdekaan tak dengan sendirinya hadir dalam diri kita. Kalimat “bawalah daku kepadanya” menunjukkan ada jarak antara “daku”, alias subyek, dan keadaan merdeka.

Dengan kata lain, kemerdekaan adalah keadaan yang aksidental, bukan sesuatu yang esensial, pada diriku; ia sewaktu-waktu bisa lenyap. Hari-hari ini kenyataan itu makin genting: pada dasarnya kita tak berdaulat. Kita, subyek, hanya sehimpun data, yang bisa diakses teknologi informasi, dimanipulasi dengan algoritma.

Dengan data yang dihimpun profil kita terbentuk: kita gemar musik Tohpati dan Dewa Budjana, suka membaca novel Dee dan Catatan Pinggir, kita peminum setia kopi Sarongge jenis Ki Hujan, dan pengagum perempuan kurus. Dari sana segera datang, lewat Internet, tawaran yang sesuai dengan profil itu. Tawaran itu membimbing kita ke dalam apa yang “pantas” kita minati dan pilih. Ada sebuah mesin dengan kecerdasan luar biasa yang tampaknya lebih tahu tentang diri kita dan seluk-beluknya—lebih tahu ketimbang kita sendiri.

AI, artificial intelligence, mengasyikkan dan mencemaskan—dan itulah keadaan kita sekarang. Sudah kian sering dibahas bahwa dengan kian piawainya itu “sintar” (mesin-super-pintar), kita makin tak punya otonomi. Kita tak bisa lagi menyebut diri subyek yang mengambil keputusan. Individualitas kita berakhir.

Dalam La fin de l’individu: Voyage d’un philosophe au pays de l’intelligence artificielle yang terbit dua tahun yang lalu, Gaspar Koenig berbicara tentang “feodalisme digital”: beberapa pemilik modal dan penguasa teknologi, dengan pesona mesin dan bahasa teknis yang canggih, mengendalikan jutaan manusia. Banyak yang tanpa berpikir menghambakan diri. AI, kata Koenig, makin mampu menilai sendiri dan masyarakat makin menyerahkan keputusan kepadanya. Konsep tentang “kehendak bebas” manusia dihapus dalam konsensus baru ilmu-ilmu.

Seperti Koenig, juga kita (setidaknya saya) risau, cemas akan nasib demokrasi dan pertumbuhan jiwa manusia. Kita layak khawatir kalau nanti orang memilih pemimpin mereka, sebagaimana mereka memilih merek sandal dan obat wazir mereka, hanya karena diarahkan algoritma. Padahal kehendak bebas, tulis Koenig, bukanlah sebuah daya rahasia manusia. Kehendak bebas adalah kemampuan menggunakan pertimbangan batin, délibération intérieure, untuk menilai dan mengambil keputusan. Itulah yang membentuk individu yang bukan sekadar fotokopi, dan itu pula pangkal ide tentang “keputusan yang bertanggung jawab”.

Koenig memilih pandangan “kompatibilis”. Ia menerima kenyataan bahwa hidup manusia ditentukan pola biokimiawi. Tapi bahkan dengan determinisme ini ia melihat bahwa kesadaran manusia masih mampu memproyeksikan suatu kehendak, atau arah tindakan, yang “dapat dijelaskan dengan nalar yang lebih kaya ketimbang sekadar hubungan sebab-akibat”.

Dengan pandangan itu Koenig termasuk filosof Prancis generasi muda (ia lahir tahun 1982) yang bertekad menghidupkan kembali liberalisme. Tak mengherankan jika pandangannya tentang kemerdekaan bertolak dari asumsi adanya “aku”, “subyek”, atau “kesadaran” yang utuh, mengatasi formasi biokimiawi tubuh manusia.

Berbeda dengan yang tersirat dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar, filosof yang juga novelis ini melihat kemerdekaan sebagai sesuatu yang melekat secara esensial dalam diri manusia. Ia melupakan, manusia bisa dan pernah takut berada dalam kemerdekaan. Di tahun 1941 Erich Fromm, psikolog yang dekat dengan semangat Mazhab Frankfurt yang Marxistis, menulis buku Escape from Freedom, di masa ketika manusia—khususnya di Jerman di bawah Nazi—takut akan kemerdekaan dan berlari memeluk ideologi totaliter. Orang-orang itu tak sadar mereka telah jadi kerbau yang dicocok hidungnya, seperti di masa kini para konsumen rela dibentuk iklan dan para “kadrun” taklid kepada doktrin bumi datar.

“Janganlah takut kepadanya”, tulis sajak Toto Sudarto Bachtiar. Jangan cemas jika kemerdekaan adalah pencarian terus-menerus, setia dan salih dan mesra. Jangan takut jika kemerdekaan adalah seperti yang diekspresikan puisi: kerinduan mengungkapkan idiom dan pengalaman baru. Atau seperti yang ditempuh pengembara: berjalan tanpa Google Map di geografi yang tak terduga.

AI memang membaca kita sebagai data tanpa kemerdekaan, tapi “sintar” itu tak berjejak pada saat-saat konkret ketika manusia mengambil keputusan. Bahasa Indonesia dengan baik menyebut decision sebagai “ke-putus-an”: ada yang traumatik ketika putus kaitan antara yang sebelum dan sesudahnya. Derrida menggambarkan saat-saat itu dengan seru: keputusan sesungguhnya bukan ke-putus-an jika mengikuti satu rencana dan peta. Di dalamnya selalu ada yang tak diketahui oleh kesadaran, sebab kita tak pernah sepenuhnya tahu. Keputusan seperti itu tak bisa dipahami para “metafisikawan yang alergi kepada apa yang hanya mungkin”, le métaphysicien allergique au peut-être—sebab ia adalah keputusan yang bila perlu siap “menanggung yang tak tertanggungkan, yang tak dapat ditentukan, dan yang mengerikan”.

Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara, dan laut adalah gelombang, dan gelombang adalah gerak yang tak mengetahui blueprint-nya sendiri. Mestikah kita, dan kemerdekaan, akan berakhir karena AI?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus