Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEEKOR kera tua mencuri nama-nama orang, terutama orang perempuan. Belum bisa dikatakan ini sebuah kejahatan kecil atau besar—atau barangkali juga bukan kejahatan. Kerugian yang dialami si pemilik nama tidak dramatis, tapi cerita Haruki Murakami dalam The New Yorker ini—yang dikisahkan seperti bukan peristiwa ajaib—punya ekor yang panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam cerita pendek “Seekor Monyet Shinagawa”, kita dipertemukan dengan Mizuki. Perempuan muda ini mengalami kesulitan mengingat namanya sendiri. Ia akhirnya memutuskan datang ke seorang therapis untuk berkonsultasi tentang keadaannya yang merisaukan itu. “Ia masih ingat alamatnya dan nomor teleponnya. Ini bukan kasus amnesia total seperti dalam film. Meskipun demikian, bahwa ia tetap melupakan namanya sungguh mengganggu. Hidup tanpa nama, rasanya seperti mimpi terus menerus.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian diketahui, nama Mizuki telah dicuri. Pada suatu hari sang pencuri, ternyata seekor monyet tua, tertangkap. Dia pencuri yang luar biasa, tentu. Apalagi dia bisa berbicara dalam bahasa manusia. Dan dia mengaku. Bahkan dia ceritakan modus operandi-nya:
“Saya melakukannya terutama dengan kemauan yang kuat. Kekuatan konsentrasi, energi psikis. Tapi itu tak cukup. Saya butuh sesesuatu yang bertuliskan nama orang itu. Sebuah KTP itu ideal. Atau SIM, atau surat mahasiswa, kartu asuransi, atau paspor. Semacam itulah. Kalung nama juga bisa. Pendeknya saya perlu memegangi sebuah obyek semacam itu. Biasanya, satu-satunya cara ya dengan mencuri.Saya sangat terampil masuk diam-diam ke kamar seseorang ketika orangnya sedang ke luar…”
Dalam kesempatan lain diterangkannya bahwa ia tak sembarang mencuri. Ia mencuri nama perempuan yang membuatnya jatuh hati—sebab itulah satu-satunya cara menyatukan diri dengan sang pujaan:
“…Nama yang tertulis di sana saya tatap lama, saya fokuskan emosi saya, meresapkan nama orang yang saya cintai. Makan waktu dan melelahkan. Saya sepenuhnya tersedot di dalam proses itu, dan akhirnya sebagian dari diri perempuan itu jadi bagian diri saya. Dan perasaan saya, dan hasrat saya, yang sebelumnya tak tersalurkan, dapat dengan aman terpenuhi”.
Dari seorang Murakami yang pandai bercerita—mungkin seperti dari seorang Baron von Munchaussen, tukang ngibul dalam cerita anak-anak yang termashur itu—kita harus siap mendengarkan keganjilan apa saja. Yang terpenting bukanlah kebenaran faktual, melainkan kebenaran dalam keasyikan dan kesediaan kita untuk memaafkan—untuk saat itu—sebuah situasi edan dan 90% dusta. Mungkin salah satu yang diperkenalkan kesusastraan kepada kita adalah menumbuhkan toleransi kepada hal yang aneh seaneh-anehnya.
Tapi kesusastraan juga bisa membuat kita bertanya—dan bertanya bisa membuat kita arif, setidaknya tahu bahwa selalu ada hal dalam hidup yang belum punya jawab. Dalam cerita Murakami, pertanyaan yang timbul pertama-tama: apakah nama sebuah milik pribadi? Dari mana dia didapat?
Murakami hidup di masyarakat modern—dengan kesadaran akan milik prive, dengan kebudayaan tulisan, dengan hukum yang berdasar pada dokumen. Nama identik dengan subyek. Nama bahkan, dalam cerita Murakami yang mustahil ini, identik dengan profil lengkap seseorang: wataknya, apa yang ada dalam bawah sadarnya, nafsu dan dustanya. “Saya memang mencuri nama orang, itu pasti,” kata kera tua itu. “Tapi dalam berbuat demikian, saya juga menghapus beberapa unsur negatif dalam nama itu.”
Kemudian kera itu, sebagai bukti, bagaikan seorang psikoanalis, menguraikan apa yang terpendam dalam bawah sadar Mizuki, perempuan yang namanya dicuri itu. Dan Mizuki mengakui masa silam yang terpendam, yang ia coba redam bertahun-tahun.
Agak aneh—bahkan juga buat sebuah cerita yang aneh. Sebab tiap nama selalu punya dua sisi: ia sesuatu yang menandai sesuatu yang singular, tapi ia juga sesuatu yang hidup dalam bahasa. Dan bahasa tak pernah ditentukan seseorang sendiri. Nama “Slamet”, “Hamanongan”, “Jamila”, “Angelina”, dipasang pada diri seseorang dengan harapan atau penilaian orang lain—misalnya orang tua atau rekan—kepada si diberi nama. Di belakang harapan dan penilaian ada sesuatu yang tak selamanya kelihatan tapi berkuasa: tata simbolik sebuah masyarakat. Ada perintah, ada anjuran, ada larangan, ada yang tak diperbolehkan atas nama Bapa atau otoritas—le nom du père, dalam pengertian Lacan.
Maka itu selalu terbatas. Nama dan bahasa tak bisa sepenuhnya mengungkapkan apa yang dinamai, dengan kata lain, diharapkan. Bahkan ada disparitas yang tak pernah disesali: “Slamet” yang tidak “selamat” bisa terjadi, dan itu tak dianggap perkara besar. Tak ada gugatan kepada si pemberi nama. Nama itu, jika pun masih diingat artinya, sudah lama tak berkaitan dengan asal-usulnya.
Maka jangan khawatir: pencurian nama, kalaupun bisa terjadi, tak akan merugikan siapa-siapa. Cerita ini mengada-ada. Tapi mungkin kita harus memaafkan Murakami dan monyet tuanya: kejadian fiktif selamanya mengada-ada dengan niat menghibur orang. Tiap kali kita membaca sastra—atau menonton wayang—kita senang: dunia imajinasi mengajar kita untuk bisa tersenyum pada yang bertentangan dengan “kebenaran” yang kita ramai-ramai yakini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo