Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU-baru ini saya diundang berbicara di salah satu management retreat sebuah perusahaan farmasi ternama. Mereka meminta saya untuk secara khusus membahas perkembangan inflasi 2004 dan tahun-tahun mendatang.
Tebak-tebakan angka inflasi dalam perekonomian Indonesia memang lebih merupakan suatu "seni" ketimbang "ilmu". Menurut pengalaman saya selama bertahun-tahun mengamati perkembangan indeks harga, sering hasil yang kita dapati tak sebagaimana yang diharapkan. Kadang kala hasilnya meleset karena ada banyak "kejutan" yang terjadi. Karena itu, dalam tebak-tebakan yang sedemikian rupa, suatu peringatan perlu dibubuhkan, "Awas, penggunaannya harus sangat berhati-hati."
Untuk melihat inflasi 2004, perkembangan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya patut dijadikan acuan—meskipun tentu saja perkembangan di bulan-bulan terakhir memiliki nilai informasi yang lebih penting dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Pada akhir 2002, ketika pemerintah menyiapkan RAPBN 2003, proyeksi inflasi yang digunakan adalah 9 persen. Proyeksi tersebut didasari inflasi tahun sebelumnya—pada tahun 2001, inflasi mencapai 12,55 persen. Sementara itu, inflasi pada paruh kedua tahun 2003 masih mengarah pada kisaran di atas 10 persen. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut dipandang cukup konservatif, bahkan mungkin ambisius. Tapi, melihat perkembangan saat ini, apakah proyeksi tersebut cukup masuk akal?
Dalam perkembangan terakhir, inflasi menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup mencolok. Selama paruh pertama tahun 2003, dari Januari sampai Juni, angka kumulatif inflasi baru mencapai 1,23 persen. Jika dihitung dalam jangka waktu satu tahun, yaitu dari 1 Juli 2002 sampai 30 Juni 2003, atau yang umumnya disebut inflasi year-on-year, perubahan harga-harga tersebut mencapai 6,62 persen.
Dan inflasi year-on-year tersebut terus menurun. Pada Juni 2002, inflasi tahunan masih mencapai 11,48 persen, tapi pada Desember 2002 sudah 10,03 persen. Bahkan, pada Maret 2003, perkembangan inflasi tahunan melorot drastis menjadi 7,12 persen, dan merosot terus sampai akhir Juni 2003. Pada akhir bulan September 2003, angka kumulatifnya 2,48 persen, sedangkan inflasi tahunannya menjadi 6,2 persen.
Dengan perkembangan demikian, berapa kira-kira angka inflasi final untuk sepanjang tahun 2003? Perkembangan ini tentunya sangat ditentukan oleh pergerakan harga, yang akan selalu terjadi di akhir tahun saat menghadapi Lebaran dan Natal. Karena itu, biarpun inflasi secara kumulatif masih terbilang rendah sampai akhir September ini, dengan kemungkinan adanya "lonjakan kecil" pada kedua hari raya itu, perkiraan inflasi untuk tahun 2003 tentu akan sedikit berubah. Barangkali yang bisa mencerminkan terjadinya faktor musiman tersebut adalah angka inflasi tahunan yang saat ini mencapai 6,2 persen itu.
Dengan informasi yang lebih minim, saat diuji oleh DPR sebagai salah satu calon Gubernur BI pada Mei lalu, dengan "berani" saya mengatakan inflasi 2003 akan mencapai kira-kira 6-7 persen. Angka ini jauh di bawah proyeksi pemerintah (9 persen) dan semula merupakan proyeksi menengah-panjang Bank Indonesia, yang diperkirakan baru akan terjadi pada tahun 2006. Bahkan, dalam kesempatan tersebut, saya mengatakan untuk tahun 2006 saya optimistis kita dapat mencapai angka inflasi 3-4 persen.
Namun, saya surprised mendengar presentasi Dr. Sjahrir, yang bahkan lebih optimistis lagi, dengan memproyeksikan inflasi 2003 pada kisaran 4-5 persen. Karena itu, secara guyon dalam presentasi di rapat perusahaan farmasi tersebut, saya mengatakan optimistis proyeksi inflasi 2003 akan mencapai 5-6 persen. Ini angka rata-rata perkiraan saya pada bulan Mei lalu dengan angka Dr. Sjahrir beberapa minggu sebelumnya.
Beberapa Sebab Penurunan Inflasi
Banyak yang bertanya apakah kecenderungan penurunan inflasi semacam itu merupakan suatu hal yang akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Pertanyaan ini sangat wajar melihat pengalaman inflasi Indonesia yang turun-naik seperti permainan jungkat-jungkit. Dalam lima tahun terakhir ini saja, kita pernah mengalami inflasi yang sangat tinggi, 77,54 persen, pada tahun krisis 1998, tapi kemudian secara tajam menukik menjadi 2,01 persen, sebelum meningkat kembali menjadi 9,35 persen pada tahun 2000. Meskipun kemungkinan semacam itu selalu saja ada, Indonesia dalam beberapa waktu terakhir beruntung memiliki beberapa hal yang bisa sedikit mengurangi kecenderungan inflasi.
Pertama, inflasi di Indonesia di masa lalu banyak dibentuk oleh kejutan yang dilakukan pemerintah sendiri. Di masa lalu, tiap terjadi ritual penyampaian RAPBN ke DPR, presiden senantiasa menyebutkan rencananya untuk menaikkan gaji pegawai negeri. Secara politis, pengumuman semacam itu memang sangat berarti karena dapat menarik dukungan dari kalangan pegawai negeri. Namun itu juga serta-merta akan menimbulkan announcement effects. Para pedagang langsung menaikkan harga pada kesempatan pertama, bahkan jauh sebelum kenaikan gaji itu sendiri terlaksana. Perubahan yang dimulai pada zaman Menteri Keuangan Bambang Soebianto tersebut dapat secara efektif mengurangi tingkat inflasi yang natural.
Kejutan yang memiliki efek serupa adalah pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang umumnya juga dilakukan secara dramatis pada setiap kali penyampaian RAPBN ataupun dalam kesempatan lain. Dengan diubahnya mekanisme penetapan harga, turun-naiknya harga BBM akan mempengaruhi inflasi, tapi tanpa harus disertai announcement effects yang cukup besar. Terakhir, dalam kaitannya dengan kejutan ini, meskipun dalam skala yang lebih kecil, adalah penetapan tarif dasar listrik, tarif telepon, dan sebagainya.
Faktor kedua, inflasi di Indonesia banyak dibentuk oleh melemahnya mata uang rupiah secara terus-menerus. Awalnya, inflasi banyak dipengaruhi oleh devaluasi. Dengan diterapkannya kebijakan managed floating, kejutan perubahan nilai tukar dihilangkan. Namun, secara riil, melemahnya nilai rupiah akan langsung menambah besaran inflasi setiap tahun. Saat diambangkan, pergerakan rupiah kembali menyumbang pada besar-kecilnya inflasi. Karena itu, dengan dapat dikendalikannya rupiah pada saat ini, pengaruh nilai tukar pada inflasi pun menjadi jauh berkurang.
Ketiga, dengan perekonomian yang begitu terbuka, inflasi di Indonesia juga dipengaruhi perkembangan harga-harga di luar negeri. Pada masa Presiden Clinton, kejayaan ekonomi AS mempengaruhi perkembangan ekonomi global. Dalam masa itu, inflasi global jelas lebih tinggi dibandingkan dengan saat ini. Sementara itu, masa pemerintahan Presiden Bush lebih ditandai oleh melemahnya perekonomian dunia. Kecenderungan deflasi global pun merebak dan sangat membantu upaya pemerintah menekan inflasi.
Karena berbagai faktor di atas, sumber inflasi yang berasal dari kenaikan biaya-biaya (cost push inflation) menjadi jauh berkurang. Barangkali hal-hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan inflasi sampai dua-tiga persen. Bahkan, jika diperhitungkan dampak perubahan nilai rupiah pada inflasi, pengaruh penguatan rupiah menyumbang jumlah cukup besar pada penurunan inflasi.
Lalu bagaimana pengaruh inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan (demand pull inflation)? Dalam beberapa tahun terakhir, sumber-sumber inflasi yang berasal dari sisi ini pun sebetulnya telah cukup melemah. Hal ini sejalan dengan proses pemulihan ekonomi dari krisis yang belum sepenuhnya selesai. Di samping itu, dari sisi pemerintah, konsolidasi fiskal yang dijalankan dengan konsisten dan disiplin yang tinggi pada akhirnya ikut banyak membantu penurunan tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan.
Proyeksi Inflasi 2004
Dengan melihat berbagai indikator di atas, bagaimana proyeksi inflasi untuk tahun mendatang?
Pemerintah, dalam asumsi pokok RAPBN 2004, menyampaikan proyeksi inflasi sebesar 7 persen. Dalam diskusi di harian Bisnis Indonesia baru-baru ini, seorang pengamat menyatakan proyeksi inflasi 2004 akan berada pada kisaran 10 persen. Adakah sumber optimisme yang dapat kita percayai dalam pengendalian inflasi di "tahun pemilu" ini?
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Indonesia saat ini memiliki berbagai kecenderungan yang mengarah pada inflasi rendah. Berbagai kejutan yang dulu dipicu pemerintah rasanya tak akan terjadi lagi pada tahun 2004. Kenaikan gaji pegawai negeri sudah tidak lagi diumumkan saat penyampaian RAPBN yang lalu. Kenaikan harga BBM pun memiliki kemungkinan yang sama dengan penurunan harganya, dengan mengikuti kecenderungan harga pasar minyak dunia. Kenaikan tarif dasar listrik pun, sebagaimana yang diisyaratkan pemerintah beberapa waktu lalu serta kuatnya resistansi di DPR, rasanya juga kecil kemungkinan akan mempengaruhi inflasi.
Sementara itu, tanda-tanda kebangkitan kembali perekonomian dunia rasanya belum akan diikuti kenaikan harga-harga global secara signifikan. Karena itu, dari faktor eksternal pun dorongan ke arah inflasi tinggi relatif kecil.
Dari sisi permintaan, yang berbeda dengan tahun sebelumnya adalah digelarnya pemilu. Namun dari sisi ini pun pemerintah dan Bank Indonesia rasanya sudah sangat berpengalaman. Bahkan, jika kita tengok pengalaman pemilu sebelumnya, justru pada 1999 itulah inflasi merosot drastis dari 77,54 persen (tahun 1998) menjadi hanya 2,01 persen.
Maka, berdasarkan berbagai indikator tersebut, kita boleh berharap inflasi Indonesia pada tahun 2004 justru akan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini. Jika pada tahun 2003 mungkin inflasi akan mencapai 5-6 persen, tahun depan diharapkan akan dapat menyentuh kisaran 3-5 persen. Rentangnya saya buat lebar karena saya sungguh berharap inflasi bisa sedikit lebih rendah dari angka 4-5 persen sebagaimana yang telah saya perkirakan sebelumnya.
Jika Thailand dan negara berkembang lain bisa mencapai inflasi yang sangat rendah, kenapa kita tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo