Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERADA di senjakala kekuasaan, Presiden Joko Widodo terus berusaha menancapkan pengaruh dalam pemerintahan selepas ia lengser kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah secara telanjang cawe-cawe memenangkan anaknya dalam pemilihan presiden 2024, kini ia bersiap cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Jokowi mengerahkan menantu, orang dekat, asisten, hingga ajudan istrinya maju dalam pemilihan gubernur, bupati, hingga wali kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memperpanjang masa berkuasa, dalam pemilihan presiden, Jokowi berupaya menunda pemilihan umum—yang belakangan gagal. Dalam pemilihan kepala daerah, ia mencoba memajukan jadwal pada September, dua bulan lebih cepat dari rencana semula. Pada September, ia masih memiliki pengaruh sebagai presiden.
Rencana itu dijalankan dengan pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat akhir tahun lalu. Beruntung DPR menolak Perpu Pemilihan Kepala Daerah dan Mahkamah Konstitusi menguatkannya dengan menetapkan waktu pilkada serentak tetap 27 November 2024.
Jika pilkada jadi dipercepat, Jokowi dapat leluasa mengerahkan sumber daya negara untuk memenangkan orang-orang yang dia sokong—seperti yang ia lakukan dalam pemilihan presiden. Pada pemilihan presiden lalu, ia memobilisasi bantuan sosial, mengerahkan aparatur negara, dan berkampanye dengan kedok kunjungan kerja.
Pada pilkada November, peluang cawe-cawe itu menyempit meski tidak hilang sama sekali. Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024, pendaftaran calon kepala daerah dimulai pada akhir Agustus, diikuti masa kampanye pada 25 September hingga 23 November. Berkaca pada pemilihan presiden, bukan tak mungkin Jokowi akan memakai kesempatan itu untuk kembali mempengaruhi publik dengan mengarahkan pilihan.
Apalagi Jokowi telah mendapatkan impunitas menyelewengkan kekuasaan dari Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2024 yang menolak gugatan dugaan kecurangan pemilu pada 22 April 2024 menyatakan apa yang dilakukan Jokowi pada pemilihan presiden lalu tak melanggar hukum. Padahal, secara kasatmata, keberpihakannya dalam pemilu melanggar banyak undang-undang—dari asas netralitas presiden dan aparatur negara hingga aturan bantuan sosial.
Pelanggaran-pelanggaran hukum itu dicatat tiga hakim konstitusi dalam dissenting opinion. Tiga hakim ini—Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih—melihat hukum bukanlah teks peraturan yang mati. Mereka melihat hukum sebagai perangkat penegakan keadilan. Bagi mereka, apa yang dilakukan Jokowi membahayakan modal sosial hidup bernegara.
Skema benar-salah putusan Mahkamah Konstitusi yang memakai rasio jumlah hakim membuat apa yang dilakukan Jokowi sah secara hukum. Lima hakim menolak segala argumen dan bukti kecurangan pemilu yang diajukan calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Di mata Jokowi, kepala daerah merupakan tentakel penting penyokong dinasti politik. Setelah mulus membawa Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden, ia mendorong menantunya, Wali Kota Medan Bobby Nasution, menjadi Gubernur Sumatera Utara. Di belakang Bobby masih ada Kaesang Pangarep, anak bungsunya, yang gagal membawa Partai Solidaritas Indonesia lolos ambang batas parlemen. Setelah Kaesang, Jokowi mungkin akan menyiapkan jalan politik meraih kekuasaan bagi orang dekat, keluarga besar, bahkan cucu-cucunya.
Keberlanjutan dinasti itu harus ditopang oleh kekuasaan kecil di banyak daerah. Dengan menjadi pengendali kepala daerah tingkat I dan II, Jokowi tetap relevan di arena kekuasaan setelah tak menjadi presiden pada 20 Oktober 2024.
Sebagai politikus yang tak memiliki partai politik, selama ini Jokowi mengandalkan pencitraan dan gimik untuk memperoleh dukungan publik. Dukungan organisasi relawan dan pemilih tak terdidik yang mudah termakan disinformasi adalah alat Jokowi untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan partai. Posisi tawar itu juga berguna untuk melindungi diri dari pengusutan hukum proyek-proyek mercusuar yang ditopang kebijakan ugal-ugalan selama ia menjadi presiden.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Orang Jokowi dalam Bursa Kepala Daerah".