Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pengelolaan sampah plastik di Indonesia membutuhkan evaluasi yang jujur dan mendalam. Penanggulangan sampah plastik dan segala bahayanya tidak cukup melalui slogan kosong “3R” (reduce, reuse, recycle) seperti yang digaungkan pemerintah. Perlu langkah radikal untuk mengatasi akar permasalahan: produksi dan penggunaan plastik sekali pakai yang terus meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah terbukti gagal menangani sampah plastik di lapangan. Volume plastik yang tidak dapat didaur ulang terus menggunung di tempat-tempat pembuangan akhir sampah. Yang lebih parah, sebagian sampah plastik malah tercecer di mana-mana, termasuk di pantai dan lautan lepas. Bila masih diperlukan bukti, bacalah hasil riset Noam Vogt-Vincent dari University of Oxford, Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan penelitian yang terbit tahun lalu itu mengungkap sebagian besar sampah plastik yang terdampar di pantai Seychelles berasal dari Indonesia. Temuan itu berbasis pada merek produk Indonesia yang tertera pada sampah plastik yang berserakan di negara kepulauan di Afrika tersebut. Sampah plastik asal Indonesia bisa sampai di Seychelles karena terbawa arus air laut.
Studi tersebut sejalan dengan temuan Muhammad Reza Cordova dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang menyoroti bahwa sekitar 10 persen dari total sampah plastik yang mencemari laut berasal dari sungai-sungai di Pulau Jawa dan Bali. Menurut penelitian ahli dalam negeri ini, sampah plastik yang bocor ke lingkungan sekitar 0,59 juta ton per tahun.
Dengan sampah plastik yang beredar begitu jauh, mengarungi lautan hingga mencapai pantai Afrika, saatnya pemerintah Indonesia mengubah arah kebijakan. Langkah drastis diperlukan untuk menghadapi krisis sampah plastik ini. Salah satunya melarang penggunaan plastik sekali pakai secara menyeluruh.
Rwanda, sebuah negara kecil di Afrika, telah memberikan contoh yang patut diikuti dengan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai sejak 2004. Larangan berlaku dari hulu ke hilir, baik pada sisi produksi maupun konsumsi. Siapa pun yang melanggar diancam hukuman denda bahkan penjara.
Krisis sampah plastik memerlukan tindakan segera dan berani. Pemerintah Indonesia harus berani menetapkan larangan total terhadap plastik sekali pakai dan mendorong penggunaan alternatif yang ramah lingkungan. Tidak perlu menunggu hingga 2030—seperti janji pemerintah untuk melarang total kemasan plastik sekali pakai. Kondisi darurat limbah plastik memerlukan langkah konkret sekarang juga.
Penanganan sampah plastik kini telah menjadi bagian dari upaya dunia untuk menanggulangi pemanasan global. Produksi plastik yang bergantung pada bahan bakar fosil berkontribusi besar pada emisi karbon. Maka, makin besar produksi plastik, makin besar pula dampaknya terhadap pemanasan global. Bila benar peduli pada isu pemanasan global, pemerintah Indonesia juga semestinya lebih serius mengurusi sampah plastik.
Konsistensi dan ketegasan pemerintah dalam menanggulangi sampah plastik memang sangat penting. Tapi kita semua, sebagai masyarakat, juga memiliki tanggung jawab untuk turut serta mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, demi menyelamatkan lingkungan dan generasi kita di masa depan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Urus Sampah Plastik".