Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sêrat Cênthini: kitab santri dan blusukan. Karya bahasa Jawa 12 jilid dari abad ke-19 ini dimulai dengan sebuah kekalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1636, Giri Kedaton, sebuah wilayah kecil tak jauh dari Surabaya, diserbu pasukan Mataram. Sultan Agung yang berkuasa tak menghendaki ada daerah yang belum takluk. Raja ini memerintahkan Pangeran Pekik, iparnya yang berkuasa di Surabaya, menyerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Giri tak bisa bertahan. Gambaran Cênthini tentang itu mirip sebuah reportase:
Mawut-mawut lumayu ngguwang gêgaman |
samya angungsi urip | nggalundhung ing jurang |
singidan malbèng guwa |
ana ingkang nggêbyur tasik | minggah ing arga |
sinurak saya giris ||
Wadya Giri siji tan ana katingal |
rêsik lir dèn saponi |wadya Surabaya |
surak ambal-ambalan | pratandha ungguling jurit |
Giri kinêpang |têpung kinubêng baris ||
Pasukan Giri kalang-kabut. Panglima mereka yang gagah berani, Endrasena, seorang muslim Tionghoa, putra angkat Sunan Giri, rubuh tertembak peluru pistol. Anak buahnya punah. Giri jatuh. Sunan yang tua itu ditangkap dan dibawa ke Mataram. Anak-anaknya Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti, melarikan diri, mengembara dari tempat ke tempat — dan dari sinilah Cênthini sebagai kisah blusukan bermula.
Gayabahasa yang lugas, dingin, itulah yang membentuk karya ini. Dua belas jilid itu tersusun dalam tembang, tapi kalimat tak dihias ornamen bunyi, tak berpihak, yang tak menilai baik-buruk. Cênthini mendahulukan informasi. Rinci, bisa berbait-bait. Dalam Buku ke-II, misalnya, ada lebih 100 pupuh menguraikan katuranggan, ciri dan watak kuda, sekitar 60 bait menguraikan perihal keris,dan entah berapa baris merekam cerita wayang dan kisah-kisah berlatar Islam.
Nilai Cênthini bukan sebagai karya sastra. Isinya lebih berupa catatan perjalanan yang panjang, dengan komentar, anekdot dan renungan sampingan. Kadang-kadang mirip buku wisata, seperti ketika Cebolang, sang pengembara utama, berkunjung ke Borobudur.
Saya kira ketika Pangeran Mangkunegara, yang kemudian menjadi Pakubuwana V (1820-1823), membentuk satu tim untuk menyusun Cênthini, ia ingin menghimpun "big data". Cerita pun disusun dengan alegori pengembaraan. Blusukan adalah perjalanan mencari informasi. Tampaknya ada kebutuhan mengetahui apa yang hidup di pedalaman, jauh dari kraton. Pengembaraan dalam 12 jilid ini menangkap penyebaran perbedaan-perbedaan dalam masyarakat zaman itu. Apa yang disebut "pusat" tak berperan. Yang tunggal tak ada.
Cênthini adalah cerita keanekaragaman dalam transisi. Dalam Buku ke-I, Panglima Endasena disebut "Cina mualap", "konon keturunan raja" —dan umumnya disebut tanpa nada negatif, menunjukkan bahwa tokoh ini sudah dianggap bagian wajar masyarakat Giri.Ia ditembak tiga kali dengan pistol, senjata baru, bukan ditikam dengan tombak.Tokoh utama Cênthinitak lagi para aristokrat. Menjelang Buku ke-II,
muncul Cebolang, pemuda pedalaman, anak Seh Akadiyat dari wilayah Banyumas yang menghilang bersama empat santri dari rumah, tanpa sebab
Tak jelas, mengapa Cênthinipada bagian itu seperti hendak mengganti kisah pengungsian para pangeran menjadi cerita pelarian para santri. Mungkin lebih menarik: akhirnya ini cerita penjelajahan ke luar habitat sendiri.Itu petualangan, itu pembebasan, bahkan pembangkangan. Orang tua Cebolang mencari si anak, tapi tak mendapat kabar apapun.
Pembebasan itu bisa berarti luas. Juga dalam seksualitas.
Cênthini umumnya dikenal dari bagian-bagian dengan adegan senggama. Dalam kata pengantar untuk Les chants de l’île à dormir debout, terjemahan bebas Elizabeth D. Inandiak atas Cênthini, Patrice van Eersel menulis bahwa sekarang seluruh karya ini direduksi hanya ke sisi erotiknya. Kritiknya benar: Cênthini tak cuma itu.
Mungkin sebab itu, dengan tafsirnya yang memikat, Inandiak menggerakkan sisi erotik itu — yang mirip sebuah pornografi — masuk ke dalam wujud yang puitik. Dalam tafsirnya tak ada adegan seru di Buku ke-IX: persetubuhan bergantian antara Jayengsari dan tiga perawan, Banem, Banikem dan Baniyah, dalam detail sekitar 10 pupuh.
Tapi ada yang hilang dari versi Inandiak: bahasa yang tak disensor "kesopanan" kalangan literati di sekitar ulama dan tahta. Dalam adegan tiga perawan dusun itu, kata-kata erotik dengan bunyi yang sugestif ("kokodhoke ngangkak ngangkêk anjêrindhit") justru bisa dilihat sebagai indikasi ketegangan sosial di luar kamar — satu hal yang penting jika Cênthinidiniatkan sebagai sehimpun big data tentang kehidupan nilai-nilai masyarajat dan warganya di Jawa sejak masuknya Islam. Deskripsi erotikdalam Buku ke-IX menunjukkan ada yang tak dikendalikan bahasa dari atas. Sultan Agung menang, tapi pedalaman Jawa sebuah jagad tersendiri.
DemikianlahCênthini, yang ditulis dengan mata dan telinga di dunia yang majemuk dan ribet, jadi dokumen sebuah campur-aduk budaya. Di sana Islam merasuk dan jadi keyakinan lokal, jauh dari fiqih yang dijaga kekuasaan. Di sanaposisi perempuan tak dibatasi akidah.Yang membunuh panglima Giri adalah isteri Pangeran Pekik. Ia memimpin serangan Mataram. Ada juga kisah Siti Aklimah: perempuan ini disiksa suaminya, tapi Tuhan membelanya. Allah menghukum laki-laki itu di neraka — dan kemudian diperlihatkan si isteri adalahseorang yang berhati mulia: ia memaafkan suaminya. Ia minta kepada Tuhan agar ia juga ke neraka.
Lebih mencolok lagi, yangdianggap "tak patut" dan "berdosa" —janda desa yang penuh syahwat secara terus terang, juga homoseksualitas —hadir wajar seakan-akan dalam karnaval cerita.
Pada akhirnya, Cênthini adalah rekaman pengakuan:hidup tak bisa steril.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo