Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA dimengerti apabila dunia usaha sangat cemas menunggu aturan pelaksanaan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru. Undang-undang yang disahkan DPR pada 20 Juli lalu itu memang memaksa perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam membuka pintu brankas uangnya lebih lebar. Aturan baru itu mewajibkan perusahaan menjalankan corporate social responsibility (CSR)—semacam ”bakti sosial” untuk lingkungan dengan biaya perusahaan. Karena sifatnya wajib, yang melanggar pasti kena sanksi.
Proyek ”bakti sosial” ini pasti menambah cost perusahaan. Itu sebabnya harus jelas perusahaan seperti apa yang wajib menjalankannya. Peraturan pemerintah yang akan menjadi aturan pelaksanaan perlu didefinisikan gamblang. Sebab, penjelasan pasal 74 dalam undang-undang yang merevisi UU Nomor 1/1995 ini sangat lentur. Yang sudah jelas ”kena” aturan baru ini adalah kategori pertama: perusahaan yang mengelola sumber daya alam. Tapi definisi kategori kedua, perusahaan yang usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, belum jelas benar menunjuk perusahaan yang mana.
Pantas saja banyak komplain datang dari pengusaha. Yang dikhawatirkan, pengalaman selama ini menunjukkan banyak sekali aturan tak jelas yang bisa dijadikan ”pasal karet”, yang bisa ”dijembreng” ke sana-kemari oleh penguasa untuk memeras pengusaha. Ekonomi biaya tinggi akan terjadi, juga ketidakpastian dalam berusaha. Tak ada yang perlu heran kalau Asosiasi Pengusaha Indonesia benar-benar mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal undang-undang itu.
Namun tidak perlu juga dunia bisnis pagi-pagi apriori. Toh, sudah banyak perusahaan, terutama yang bergerak di sektor pertambangan, yang menjalankan CSR sebelum ada hukum yang mengatur—melalui program pengembangan komunitas, perbaikan infrastruktur dan pendidikan, serta program lingkungan. Di banyak negara, CSR yang dikenal pertama kali pada awal abad ke-20 ini sudah sangat lazim. Separuh perusahaan di Amerika dan beberapa negara Eropa sudah menjalankan CSR.
Selain hanya beberapa gelintir perusahaan di Indonesia yang menerapkan CSR, modelnya pun bermacam-macam. Bahkan tak sedikit yang dikaitkan dengan kegiatan mempromosikan perusahaan. Kenyataan inilah yang mengharuskan adanya ketentuan yang baku yang bisa dijadikan patokan oleh perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Pemerintah daerah, umpamanya, tak bisa seenaknya menuntut perusahaan untuk membiayai proyek ini dan itu. Kelompok masyarakat juga tidak bisa dibiarkan untuk minta apa saja, dan perlu dicegah agar tidak memblokir perusahaan kalau tuntutannya ditolak.
Perusahaan tak bisa semata-mata mementingkan profit, tanpa mempedulikan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar. Cukuplah sudah cerita sedih tentang jarak sosial yang menganga antara penduduk setempat dan kehidupan mewah karyawan di lingkungan pertambangan dan perminyakan.
Maka diperlukan peraturan pemerintah yang rinci dan jelas untuk melaksanakan UU Perseroan Terbatas yang baru tadi. Ini penting agar ketidakpastian baru tak terjadi, dan dipastikan perusahaan tidak ”diporoti”. Pemerintah bisa memakai acuan kegiatan CSR yang sudah dijalankan beberapa perusahaan, tentu dengan penyesuaian di sana-sini sesuai ukuran perusahaan.
Perusahaan memang perlu mengeluarkan ”ongkos sosial”—yang sangat wajar untuk mengkompensasi berbagai ketidaknyamanan rakyat sekitar atas operasi perusahaan. Pandangan bahwa tanggung jawab sosial merupakan sekadar masalah etika bisnis sudah kuno. Tanggung jawab sosial harus menjadi bagian tak terpisahkan dari operasi perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo