Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA gerangan yang didengarkan Centhini selama 40 malam? Abdi yang setia itu selalu berada di dekat pelaminan majikannya, Tambangraras. Ia bersimpuh diam di dekat kamar bahkan ketika Tambang-raras sedang bersama suaminya, Amongraga. Di situlah Si Centhini, gadis yang penuh hasrat belajar itu, meny-i-mak apa saja yang diucapkan ketika pasangan itu bercengkerama dan bersetubuh.
Ketika malam ketujuh belas tiba, Amongraga telanjang dan duduk bersila di buritan ranjang: ”Dinda, ketahuilah bahwa raga ini seperti obor, roh nyalanya, ilmu asapnya, zat cahayanya. Padahal nyala tidak dapat dipisahkan dari obor maupun asap atau cahayanya.”
Kutipan dari Serat Centhini itu (dalam buku Empatpuluh Malam dan Satunya Hujan yang terjemahannya dikerjakan dengan bagus oleh Elizabeth D. Inandiak, Sunaryati Sutanto, Laddy Lesmana, Landung Simatupang) hanyalah salah satu dari 722 tembang. Tapi agaknya ia mengikhtisarkan tema dasar buku ini: konflik dan kontras, juga persentuhan dan tumpang-tindih, antara ”raga” dan ”roh”, antara yang sensual dan yang spiritual, antara yang alim dan yang alami—juga antara yang ”Arab” dan yang ”Jawa”.
Konflik, kontras, persentuhan, dan tumpang-tindih itu tersirat dalam 4.200 halaman Centhini. Di bagian ini kita bersua dengan pengembaraan Amongraga dari Giri. Di sini disajikan bukan saja informasi kehidupan rakyat di desa-desa Jawa zaman itu (buku ini ditulis pada permulaan abad ke-19), tapi juga uraian cara ibadah secara Islam. Kita juga akan menjumpai deskripsi pesta makan dan tontonan yang asyik, dan sekaligus tuntunan cara zikir dan salat. Bait-bait bernada Mijil menyebutkan berpuluh-puluh lauk-pauk (dhokowan, sayur asem, abon wayang, empal kisi, dadar layon, sambel jinten…), dan bait-bait Dhandhanggula menceritakan bagaimana Amongraga—orang alim dan tokoh tauladan Serat Centhini—meng-ucapkan lailaha ilalah.
Salah satu kontras yang mencolok ada dalam Pupuh 362. Ke-190 baitnya dimulai dengan Amongraga bersem-bahyang. Segera adegan berubah ke para santri yang menyanyi dan menari, seakan-akan memberikan latar musik bagi adegan ranjang Amongraga dan Tambangraras. Tapi di kamar itu tak ada yang erotik. Selama 40 hari pernikahannya dengan gadis Wanamarta itu, Amongraga tak melakukan sanggama sama sekali. Pria alim keturunan Sunan Giri ini hanya memberikan wejangan.
Tapi tak lama kemudian, kisah bergerak ke Jayengraga. Pagi itu, lelaki tampan itu merasakan desakan syahwat yang dahsyat. Dalam keadaan ereksi yang luar biasa ia gagal menyetubuhi istri dan selir-selirnya; mereka sedang datang bulan. Ia pun mencoba semuanya: felatio, merendam penisnya di air, dan akhirnya melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda pengiringnya. Ia mencapai orgasme, dan segera sesudah itu, kokok ayam pun terdengar. Datang subuh. Ade-gan homoseksual itu segera berpindah: para pelaku mandi, mengambil air wudu, dan salat.
Adegan erotik terus terang yang semacam itu bahkan kita temukan lebih seru dalam pasase lain dari Serat Centhini, yang diterjemahkan jadi Minggatnya Cabolang. Tak ayal, orang bisa bertanya: sebuah pornografikah ini? Atau sebuah puisi mistik, di mana kenikmatan seksual hampir tak berbeda dari kenikmatan unio-mystica, seperti dalam cerita Panji versi Bali? Di salah satu adegan, tampak Amongraga, Tambangraras, dan Centhini tergeletak. Mereka telah mencapai klimaks. Bukan sehabis sanggama, melainkan setelah zikir yang intens, setelah mereka manunggal ke dalam ”Hyang”.
Memang akhirnya tak tampak koherensi. Buku ini bisa se-perti sebuah ensiklopedia, dengan sederet nama sayur-mayur dan aturan tembang Jawa. Tapi pada saat lain ia dapat tampil sebagai sebuah puisi surrealistis yang mempesona:
Bentangan langit luas di atas Misbah yang membakar kantuk Embun menetes ke pasu Isak pelawak di dalam gua Bulan dan bintang terusir siang
Tapi seperti dikatakan di atas, konflik, kontras, persentuhan, dan tumpang-tindih adalah tema dasar Centhini. Di semua itu ia bergerak menemukan maknanya. Tanpa memberikan kata akhir: ketika ia menyebut ”raga” ibarat obor dan ”roh” ibarat nyalanya, ia tak menunjukkan mana yang lebih dulu, ”obor” atau ”nyala”. Tapi kita tahu: ”obor” tanpa ”nyala” bukanlah ”obor”, dan ”nyala” itu hanya bisa hadir sebagai suluh karena bambu-bersumbu yang disiapkan itu.
Mungkin karena inilah yang hendak ditegaskan: ”raga”, yang karnal dan sensual, tak terpisahkan dari ”roh” yang spiritual. Mana tubuh, mana kesadaran, tak perlu batas yang jelas. Sebagaimana tersirat dalam nama tokoh cerita ini, tumpang-tindih terjadi antara ”among” dan ”raga”—”among” berarti ”mengikuti dan mengelola dengan kasih sayang”, dan ”raga” berarti tubuh. Pada akhirnya hidup tak hanya merayakan yang alim, melainkan juga yang alami.
Dan inilah yang terjadi setelah 40 hari:
Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tambangraras di ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan air mata. Mereka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan, tanpa kalah atau menang.
Yang penting adalah keasyikan hal yang tak terduga-duga (”tanpa aturan”). Maka yang monoton dengan batas awal dan akhir (sebuah daftar, misalnya) segera akan dijegal oleh puisi yang membuka kejutan dan warna-warni.
Itu sebabnya Centhini menyuarakan kembali sesuatu yang ”Jawa”, misalnya pertunjukan wayang kulit, tapi juga menerima yang ”Arab”, misalnya dalam kosakata ibadat.
Kisahnya memang bermula dengan konflik antara Majapahit dan wilayah Giri: sebuah kekuasaan Hindu yang sedang runtuh menghadapi sebuah wilayah Islam yang naik. Tapi kemenangan Giri hanya sementara. Mataram berdiri, dan di bawah Sultan Agung, wilayah Islam di Jawa Timur itu digebuk. Dan Amongraga lari, mengembara, mencoba memperkenalkan Islam ke pelosok, tapi akhirnya Centhini tak mengisahkan apakah ia dan kealimannya menang.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo