Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matinya Toekang Kritik Penulis: Agus Noor Penerbit: Lamalera, Februari 2006 Tebal: XLii+256 halaman
Buku Matinya Toekang Kritik, yang berisi kumpulan monolog karya Agus Noor, dapat dibaca sebagai medicina mentis bagi bangsa ini. Yakni kritik yang menurut Immanuel Kant menjernihkan budi dari berbagai penggunaan yang pincang, sekaligus menyembuhkannya. Obat yang pahit, tapi buku ini bisa membungkusnya dalam kemasan manis. Hasilnya tetap pengungkapan kebenaran yang membebaskan.
Ya, monolog-monolog ini pernah di-pen-taskan Butet Kartaredjasa, juga Rie-ke Dyah Pitaloka. Tapi cukup ba-nyak- orang tak tahu persis monolog itu selain pertunjukan Butet meniru Pak Harto. Butet sama dengan monolog In-donesia, siapa pun pengarang naskahnya. Kenyataan ini membedakan naskah monolog ini dari naskah te-a-ter lainnya. Naskah teater selalu dikenal- bersama dengan pengarangnya. De-ngan kehadiran buku ini, pembaca dapat mengenal penulis naskahnya, refleksinya yang mendalam.
Semua berawal dari kekuasaan tak- ter-tandingi dan komunikasi- politik yang macet. Dan monolog meng-gambar-kan aneka parodi, dan kekuasaan yang terkesan angker mulai ter-guncang kewi-bawaannya. Dia mu-lai ditertawakan. Terjadilah desa-kra-lisasi kekuasaan po-litis. Dengan ini, mu-lailah demokratisasi, yang pada da-sarnya mengandaikan kesamaan de-ra-jat semua elemen dari satu tatanan- politis. Selama masih ada persona yang disakralkan, yang tidak merasa perlu dan wajib untuk mendengar pihak yang kritis, selama itu tidak ada demokrasi.
Mulai dari monolog pertama Amanat Calon Menteri Kesehatan hingga ter-akhir Pidato Terakhir Seorang Jenderal, kita dihadapkan dengan kondisi politik yang kacau dan rancu. Judul-judul seperti Pelajaran Bahasa untuk Pemimpin Bangsa, Negeri Para Seling-kuh, Koruptor Kita Tercinta sudah mengungkapkan sasaran kritiknya: distorsi sosio-politis yang mencampuradukkan ruang publik dan ruang privat, strategi politik yang rasional dan pengerahan dunia gaib, kehalus-an berbahasa dalam tradisi dan bahasa ke-kerasan yang menghancurkan suara-suara kritis. Akibat dari distorsi- sosio-politis ini, peran yang dimain-kan para warga menjadi tidak jelas.
Karena tidak ada pemberantasan secara serius, perlahan korupsi dipandang sebagai kodrat kedua, yang memang tidak bisa diberantas. Kalau sudah demikian, daripada terus menilai korupsi sebagai suatu aib yang perlu disembunyikan, lebih baik menunjukkan normalitasnya. Bukan hanya itu. Korupsi bisa berubah menjadi satu kenikmatan yang memberi peluang bagi sang koruptor untuk melakukan banyak- tindakan terpuji. Di negeri ini para koruptor tidak perlu lagi lari dari aparat penegak hukum. Sesuai dengan prinsip trias politika yang mengatur pembagian kekuasaan, terjadi juga pembagian ko-rupsi yang merata anta-ra pihak eksekutif, legis-latif, dan yudikatif (64).
Jika keadaan sudah seperti ini, tidak menghe-rankan apabila ada yang menilai jabatan Presiden Indonesia sebagai sebuah kutukan. ”Jadi Presiden Indonesia seperti kutukan, kok! Apa sih enak-nya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya gituan-gituuu me-lulu: selalu nyusahin rakyat” (92).
Dengan kutipan di atas menjadi jelas aktualitas pelbagai monolog dalam buku ini. Ini bukan sekadar sebuah nostalgia tentang era pembungkaman kritik dalam masa Orde Baru. Monolog ini juga memuat kritik yang berguna dalam humor yang segar bagi penyelenggara kekuasaan sekarang. Juga sekarang si toekang kritik belum mati, karena belum semuanya teratur. Rakyat belum dapat dijadikan robot yang hanya boleh ikut perintah untuk meladeni keinginan tuannya. Oleh kecerdasan si toekang kritik, telah bangkit rakyat yang kritis, yang akan terus mengawasi penyelenggaraan kekuasaan di negara ini.
Diharapkan, dengan buku ini akan muncul banyak usaha kreatif, agar rakyat di daerah pun menjadi rakyat kritis kritik yang punya selera seni.
Dr Paul Budi Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo