Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Goenawan Mohamad
Mengapa kita repot meng-urusi bahasa Indonesia?
Jawabannya tak hanya sa-tu. Tapi ada satu pengalam-an yang memberi saya motivasi baru untuk ikut bersibuk-diri dengan urusan ini.
Sekali pada tahun 2004 saya menemani Jilal Mardhani yang ingin me-nye-lenggarakan satu pergelaran musik di Si-ngapura. Ia memilih Esplanade, pusat kesenian di kota itu. Kami datang dan ditemui direktur program. Ia ha-lus dan sopan. Ia menolak ide yang ditawarkan.
Esplanade bukan tempat yang c-ocok, katanya. Menurut statistik, penon-ton Melayu hanya sedikit yang datang ke-mari.
Saya bingung sejenak. Mengapa me-nye-but ”penonton Melayu”? Tak pernah terlintas di kepala saya bahwa per-tunjukan yang ditawarkan Jilal dituju-kan hanya untuk kalangan etnis tertentu.
Tapi kemudian saya sadar: di Si-nga-pura, teater terbagi-bagi menurut bahasa yang dipergunakan sebuah kelompok etnis. Lakon Rendra yang pui-tis, Kereta Kencana, sebuah adaptasi atas Les Chaises Ionesco, tak akan bisa dinikmati orang Singapura dari etnis Cina, yang umumnya tak memahami ba-hasa Melayu, baik Melayu-Singapura ataupun Melayu-Indonesia.
Pemisahan bahasa itu, yang bersinggungan dengan garis etnis, tak dikenal di Indonesia. Lakon Teater Koma yang bagus itu, Siluman Ular Putih, ber-asal dari khazanah klasik Cina, dipentaskan untuk semua orang Indonesia, keturunan Cina maupun bukan. Di sini asimilasi sudah terjadi sejak beberapa abad. Tokoh seni panggung Indonesia—sejak Tan Cheng Bok dan Fifi Young sampai Jim Adilimas dan Teguh Karya—menggunakan ba-hasa yang sama seperti Andjar Asmara, Usmar Ismail, Asrul Sani, Wahyu Sihombing, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Dari deret nama itu tampak, mereka datang dari latar belakang yang beraneka ragam, tapi berada dalam satu tradisi—tradisi teater modern Indonesia. Bahasa Indonesia memungkinkan itu.
Tak berarti tak ada kebhinekaan. Jus-tru nama-nama itu menunjukkan kebhinekaan yang lebih kaya (dan lebih radikal serta tak terduga-duga) ketimbang ”kebhinekaan resmi” yang terbatas seperti di Taman Mini.
Maksud saya, kebhinekaan yang tam-pak dalam de-ret-an tokoh seni pertunjukan itu bukanlah berdasarkan satuan ”etnis”, ”suku”, ”budaya” atau ”daerah”, melainkan berdasarkan perbedaan ga-ya ekspresi masingmasing grup teater. Orang tak mem-persoalkan apakah Jim Adilimas itu ”Cina” atau ”Sunda”, Amak Baljun itu ”Arab” atau ”Pekalongan”, Lan-dung Simatupang itu ”Batak” atau ”Jawa”….
Masing-masing nama jus-tru seper-ti menggugat: apa se-benarnya arti ”Cina”? ”Aceh”? ”Jawa”? Jika diusut tampak, ma-sing-masing kata me-nyem-bunyikan ke-bhi-nekaannya sendiri. Sebab sebetulnya tak gampang mendefinisikan bahasa ”Jawa”, sebab bahasa Yog-ya berbeda dari bahasa Tegal. Kecuali bila ”Yogya” berarti ”Jawa”. Tapi bila begitu, bagaimana dengan Tegal dan lain-lain?
Maka bahasa Indonesia mengan-dung paradoks yang sangat berharga. Di satu pihak ia bisa mempersatukan, di lain pihak ia mendukung radikali-sasi kebhinekaan. Dari pengguna-nya bahasa ini dipakai hampir semua orang Indonesia, tapi dari sejarahnya ia bukan bahasa ”mayoritas”.
Bahkan bahasa Indonesia adalah bahasa pelbagai minoritas—sebab di kepulauan ini tiap satuan ”budaya” sebenarnya minoritas. Bahasa ini punya sejarah yang penting di Riau, tapi sejarahnya juga dibentuk di ribuan pa-sar di Nusantara. Dalam proses itu, apa beda antara ”asing” dan ”asli”, ”rendah” dan ”ting-gi”, ”pinggir” dan ”pusat”? Tak per-nah ada.
Ikhtiar -untuk membuatnya ”mu-r-ni”, seper-ti yang di-co-ba pe-me-rin-tah ko-lo-nial Belanda me-lalui sekolah dan Balai Pus-taka de-ngan menghalau ba-hasa ”Melayu Pa-sar” (atau ”Tiong-hoa”), gagal. Tulis-an dan pidato Bung Karno yang memukau orang itu justru banyak dipengaruhi bahasa yang ”tak murni” itu.
Walhasil, pepatah yang mengatakan ”bahasa menunjuk-kan bangsa” kali ini bagi saya berarti bahasa Indonesia memang menunjukkan bangsa ini: manusia kepulauan yang merantau, berpindah, berniaga, membentuk kerajaan besar-kecil yang tak pernah panjang umur, mendirikan kota tanpa tembok, menganut agama yang berbeda-beda…. Dengan kata lain, sebuah bangsa yang tak mengenal segregasi, sebuah bangsa yang menyukai gado-gado.
Itu saja membuat saya bersyukur kita masih punya bahasa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo