Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Napak Tilas Gambang Kromong

Sebuah film dokumenter tentang gambang kromong. Digarap dengan riset yang cermat. Awal April ini, dikelilingkan dari Jakarta sampai Malang secara independen.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamera menyorot upacara sembahyangan meninggalnya Teng Soei Ek, seniman gambang kromong di Kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Seluruh sanak saudara me-ngenakan kostum khusus dan ikat kepala serba putih. Hio diangkat.... Sebuah ritual Konfusian.

Di luar, kopi dihidangkan u-ntuk p-ara pelayat yang datang dari ke-ca-mat-an-kecamatan tetangga. Pemilik grup Gambang Kromong Naga Sa-kti Jaya itu meninggal dunia tahun la-lu pada usia 81 tahun. Film dokumen-ter Anak Naga Beranak Naga, karya Aria-ni Darmawan, ini menampilkan gam-bang kromong sebagai cermin pem-baur-an Tionghoa peranakan se-putar Jakarta.

Ariani sebelumnya dikenal se-bagai pembuat film pendek dan penerje-mah (ia pernah menerjemahkan secara ba-gus novel Marguerite Duras: The -Lo-ver). Dalam film ini, ia menggali asal-usul gambang kromong di Bat-avia lewat wawancara-wawancara dengan sinolog Edi Prabowo dari UI dan David Kwa.

Keduanya menceritakan pembantai-an massal warga Cina oleh VOC pada 11 Oktober 1740, yang mengharuskan warga Cina tinggal di luar benteng Ba-tavia (kini Glodok). Tahun 1743, terdapat sebuah pesta pembebasan Nie Ho Kon dari tawanan GG Baron Van Imhoff. Pada peristiwa itu digelar musik dengan instrumen gesek asli Cina—teh yan, kong an, shu kong—tapi sebuah instrumen petiknya, yang khim, diganti dengan gambang.

”Musik asimilasi” ini kemudian menyebar ke Tangerang, Bekasi, Bogor, Ba-belan. Tan Den Seng, ahli musik Cina yang juga diwawancarai Ariani, menjelaskan titi laras gambang kromong akibatnya menjadi kaya. ”Titi larasnya sampai menyerap dari Deli Melayu.”

Yang menarik, Ariani kemudian menyusuri kelompok-kelompok gambang kromong di Kecamatan Serpong, Batu Ceper, Curug, Tigaraksa, Legok, sampai Tangerang. Ia menemui ”maestro-maestro tua gambang kromong” keturunan Cina yang hidupnya miskin.

”Saya main sejak kecil, sejak Pre-si-den Cina masih Chiang Kai Sek,” t-u-tur Aang, 64 tahun, dari grup Gambang Kromong Rindu Malam. Ia mengeluh bagaimana kini gambang kromong di-dominasi gitar listrik, o-r-gan untuk melodi, trompet.

Seorang cokek (penyanyi ga-mbang kromong), Masreh, 76 tahun, juga me-ngeluh jarangnya terdengar lagu klasik saat pertunjukan. ”Dahulu u-ntuk nyokek harus bisa nyanyi klasik,” kata-nya. Itu diakui oleh Ong Gian, pemain gambang dari Desa Jelupang, Serpong. ”Sekarang, dalam sebuah per-tunjuk-an, lagu klasik paling di-nya-nyikan 3-4 lagu, seterusnya lagu-lagu dang-dut,” katanya. Klasik yang dimaksud adalah lagu-lagu yang syair-nya dalam ba-hasa Cina, seperti Lopan Ce Cu atau lagu tahun 30-an: Gula Ganting Sta-mbul Jengki, Cente Manis Berdiri, Onde-onde. ”Semua itu tarik-an napasnya panjang-panjang, sulit,” kata Masreh.

Tak semua menggerutu, ada juga seniman lama yang rileks menanggapi perubahan. ”Ya, yang laku seka-rang, ya, yang ngibing, yang disko,” kata Ukar Sukardi, anggota Gambang Kromong Setia Nada, Gunung Sindur, Bogor. Film ini lalu memperlihatkan aneka event saat grup-grup gambang kromong modern laris ditanggap. Ulang tahun kelenteng, misalnya Ke-lenteng Toa Sebio, Petak Sem-b-ilan, Glodok. Tiap tahun setelah arak-arakan toa pe kong, menggotong p-atung uta-ma kelenteng bernama Ceng G-o-ang Ceng Kung (Dewa Langit), selalu malamnya digelar per-tunjukan gambang kromong.

Atau, pesta-pesta pernikahan Cina. Di daerah Tangerang, di Kedaung dan Kelurahan Selapang Jaya, Kecamatan Neglasari, masih ada yang disebut Rumah Kawin. Ini rumah untuk perhelatan pengantin Cina secara tradi-sional yang sebuah ruangnya khusus untuk gambang kromong dan joget bersama cokek. Di tiap perhelatan ini, kamera Ariani termasuk detail menyusuri ekspresi aneka penonton, gaya ngibing orang-orang tua, ber-bagai ma-kanan khas yang tersaji, sampai ke-giatan di belakang panggung.

Film ini mampu memperlihatkan bahwa gambang kromong tak bisa ma-ti. Sebab, ia bukan semata-mata se-buah seni panggung, melainkan cer-min dari sebuah keterpinggiran komunitas—dengan segala rasa kehangatan dan perihnya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus