Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Century: Astagfirullah atau Alhamdulillah?

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Harymurti
  • Wartawan

    Kisah penyehatan Bank Century sedang ramai diberitakan. Banyak komentar, terutama dari politikus, menuding pemerintah mengulang kesalah an di masa krisis moneter lalu. Trauma publik akibat menguapnya lebih dari Rp 600 triliun dana Bank Indonesia dalam menyelamatkan sektor perbankan nasional ketika itu seperti terpicu kembali. Mengapa kita mengulangi kesalahan yang sama padahal cicilan utang untuk membayar rekapitalisasi bank pun belum lunas? Astagfirullah, begitulah kira-kira ungkapan kekhawatir an di banyak benak orang ramai.

    Kekhawatiran akibat trauma masa lampau ini dapat dimaklumi, tapi menganggap penyelesaian kasus Bank Century sebagai pengulangan kesalahan sebelas tahun silam jelas jauh panggang dari api. Soalnya, penanganan bank ini oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) justru menunjukkan kita telah belajar dengan baik dari penga laman buruk itu. Sepatutnya kita bersyukur, alhamdulillah.

    Coba simak. Kali ini tak ada dana rakyat yang dikucurkan karena Rp 6,7 triliun yang digunakan untuk menyuntik bank sakit ini berasal dari kocek LPS. Uang yang dibenamkan pun tidak langsung menguap karena bank ini dilaporkan telah kembali sehat. Bahkan, dua atau tiga tahun lagi amat mungkin LPS akan menjualnya ke pasar dengan meraih untung, hingga lembaga ini pun akan semakin bermodal untuk menangani pasien berikutnya.

    Semakin banyak modal di rekening LPS, semakin besar pula kemampuannya menjaga kestabilan dan ketahanan sektor perbankan nasional. Memang pada awal berdirinya, pada 2005, pemerintah memberikan modal awal Rp 4 tri liun, namun setelah itu institusi ini mulai mengumpulkan dana dari uang kepesertaan setiap bank dan premi enam bulanan dana nasabah bank yang diasuransikannya.

    Jumlah premi ini ternyata cukup besar. Ketika harus menolong Bank Century, sedikitnya terdapat Rp 14 triliun di dompet LPS dan, setiap enam bulan, sekitar Rp 1 triliun mengalir masuk dari pembayaran premi 0,1 persen itu. Itu sebabnya, lembaga ini pun tak punya masalah ketika harus membayar dana ribuan nasabah Bank IFI yang dilikuidasi pada April lalu.

    Bank IFI dilikuidasi, tapi mengapa Bank Century dise hat kan? Tentu banyak alasan yang menyebabkan Bank Indonesia memutuskan hal berbeda pada kedua bank ini. Namun yang paling menentukan adalah dampaknya terhadap kesehatan seluruh sektor perbankan nasional. Adapun besar-kecilnya dampak ini amat ditentukan oleh besarnya bank, berapa banyak pinjamannya pada bank-bank yang lain, dan kondisi makro ketika keputusan harus diambil.

    Bank IFI jelas jauh lebih kecil. Selain itu, karena telah lama sakit dan masuk pengawasan khusus BI, pinjaman antarbanknya pun hanya sekitar Rp 8 miliar. Tapi, yang lebih penting, keputusan melikuidasi diambil ketika keadaan perekonomian boleh dikata normal, sehingga dampak sistemik keputusan likuidasi ini tak signifikan.

    Ini amat berbeda dengan kondisi saat keputusan nasib Bank Century harus diambil. Pada November tahun lalu itu krisis global yang dipicu likuidasi Lehman Brothers di New York sedang keras menerpa. Para pemilik dana sedang panik menyelamatkan pundi-pundi mereka. Menarik uang tunai jadi pilihan di mana-mana karena bank seka liber Citibank dan perusahaan asuransi multinasional AIG pun ternyata perlu di bail-out berkali-kali oleh pemerintah AS. Maklum, jika para pemilik modal pun sibuk memin dahkan dana mereka ke tempat yang dianggap aman, flight into quality.

    Di Indonesia hal serupa terjadi. Ketidakpercayaan pada bank, terutama yang kecil, mulai marak. BI memantau setidaknya Rp 11 triliun dana berpindah dari 23 bank kecil ke bank besar. Apalagi setelah Bank Indonesia memutuskan membiarkan Bank Indover, yang sebagian besar sahamnya adalah milik BI, dilikuidasi oleh pihak berwenang Belanda. Akibatnya, Indonesia dipersepsikan semakin tidak aman untuk menyimpan uang.

    Saat itu tingkat risiko surat berharga (CDS) Indonesia, yang pada hari-hari normal berkisar pada 200 basis point, sempat menyentuh 1.248,4 basis poin, alias lebih dari 400 basis point di atas Filipina, negara tetangga yang biasanya mempunyai level credit default swap setara dengan Indonesia. Sebagian pemilik dana besar bahkan memindahkan dana mereka ke Singapura karena pemerintah negara te tangga ini memberikan jaminan penuh (blanket guarantee) semua dana pihak ketiga di bank Negeri Singa itu, sedang kan LPS di Indonesia hanya memberikan jaminan simpanan hingga Rp 2 miliar saja.

    Dalam posisi itu, pilihan likuidasi Bank Century tak mungkin diambil. Sebab, tindakan itu berisiko memicu penarikan dana besar-besaran di sektor perbankan, yang akan menyebabkan krisis moneter tahun 1998 ber ulang. Wajar jika pemerintah pun memilih opsi menyehatkan kembali bank ini dengan menyuntikkan dana segar. Apalagi saat itu perkiraan dana yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 600 miliar, sementara opsi likuidasi dilaporkan akan memakan ongkos hampir Rp 7 triliun. Begitu keputusan menyelamatkan dibuat, pengambilalihan kendali Bank Century pun langsung dilakukan.

    Namun, hanya dua hari setelah kendali diambil, berba gai borok yang selama ini ditutup manajemen lama mulai terbongkar. Ternyata beberapa aksi penggelapan (fraud) telah dilakukan pengelola dan pemilik bank ini, sehingga diperlukan suntikan modal tambahan. Dengan dukungan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tindak pidana ini pun dilaporkan ke polisi dan pengelola lama bersama salah seorang pemiliknya, Robert Tantular, langsung ditangkap, dan upaya pembekuan aset para tersangka ini pun digulirkan, termasuk yang di luar negeri. Setidaknya, menurut Kepala Kepolisian Indonesia, aset senilai Rp 1,191 triliun telah diamankan.

    Kini sudah tiga pelaku kriminal Bank Century yang masuk pengadilan. Mantan direktur utama Hermanus Hasan Muslim malah sudah divonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar, sedangkan mantan direktur treasury Laurens Kusuma dituntut 4 tahun, dan Robert Tantular dituntut 8 tahun penjara serta denda Rp 50 miliar. Beberapa tersangka, termasuk dua pemilik, masih buron dan sudah masuk daftar pencarian Interpol.

    Sebelum diributkan DPR dua pekan lalu, kondisi bank yang akhirnya mendapat suntikan modal Rp 6,7 triliun itu sebenarnya telah sehat kembali bahkan membuahkan untung operasional hampir Rp 200 miliar. Bila kinerja ini terus membaik, LPS memperkirakan dalam dua atau tiga tahun Bank Century dapat dijual kembali ke pasar dengan harga melebihi nilai modal yang ditanamkannya. Mengingat Indonesia saat ini adalah satu dari beberapa gelintir negara di dunia yang pertumbuhannya positif, ini harapan yang wajar. Apalagi ekonomi dunia juga sudah menunjukkan tanda-tanda pulih dari krisis, sehingga nilai surat berharga yang ada di Bank Century—yang pada saat krisis tiba-tiba nilainya ambruk—mulai menaik. Ini tentu skenario optimistis.

    Tapi, katakanlah skenario terburuk yang terjadi, kondisi makro sekarang memungkinkan Bank Century dilikuidasi tanpa menimbulkan dampak yang sistemik. Ini berarti LPS kehilangan modal yang telah disuntikkannya, bahkan harus mengeluarkan uang lagi untuk mengembalikan semua dana nasabah dengan nilai rekening di bawah Rp 2 miliar. Tentu setelah dikurangi hasil penjualan semua aset, termasuk yang disita dari pemilik dan pengelola lama.

    Nah, kalaupun nasib sial ini terjadi, pemerintah dan rakyat tak akan dirugikan satu sen pun. Soalnya, semua dana diambil dari kas LPS, yang sejak 2005 dikumpulkan dari industri perbankan. Walhasil, moral hazard bisa dikatakan tak ada lagi. Likuidasi Bank IFI, yang dilakukan beberapa bulan setelah Bank Century diambil alih, juga menunjukkan peningkatan kinerja pengawasan Bank Indonesia dan keberanian menutup bank bermasalah.

    Ini jelas amat berbeda dengan apa yang terjadi pada skandal BLBI dulu. Ketika itu negara yang mengucurkan dana, karena tak ada sistem asuransi penjamin pinjaman, dan hampir tak ada pemilik serta pengelola bank nakal yang masuk penjara, paling tidak bila diukur secara proporsional.

    Itu sebabnya, setelah mencermati kasus Bank Century, saya berkesimpulan kita tak perlu beristigfar, tapi malah mengucapkan: alhamdulillah.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus