Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNYI ketukan pintu pukul tiga dinihari itu mengejutkan Nuraini, 28 tahun. Saat itu ibu tiga anak ini tengah menyiapkan hidangan sahur buat suaminya, Arief Roh mana. Nuraini kaget saat ia membuka pintu: enam pria berbadan tegap berdiri di depannya. ”Bapak ada?” salah seorang tamunya bertanya.
Belum sempat pertanyaan itu dija wab, pria tersebut menyodorkan secarik kertas. Nuraini terkejut saat membaca surat itu. Isinya berupa panggilan sekaligus penahanan suaminya. Kepada Nuraini, para tamunya mengaku aparat Kepolisian Resor Pandeglang dan petugas Detasemen Antiteror 88.
Saat para petugas berbicara dengan Nuraini, muncul Arief Rohmana. Dengan sigap, salah seorang pria yang mengaku anggota Detasemen 88 itu meminta Arief ikut mereka ke Polres Pan deglang. Kepada guru matematika Sekolah Mene ngah Pertama Negeri 2 Cimanuk, Pandeglang, Banten, itu ia menjelaskan, mereka ingin meminta keterangan perihal sejumlah pesan pen dek (SMS) yang dikirim Arief kepada Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Subuh itu, tanpa pamit kepada tiga anaknya yang masih terlelap, Arief digelandang. Nuraini hanya bisa menangis.
Selama sekitar tujuh jam Arief diinterogasi di Polres Pandeglang. Setelah itu, pria asal Tasikmalaya ini dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Banten di Serang. Di dua tempat ini ia terus di tanyai tentang SMS yang ia kirim ke istri Presiden itu.
Arief mengaku memang mengirim SMS ke Ani Yudhoyono. Jumlahnya 30-an. Isinya keluhan perihal rumahnya di Griya Labuan Asri, Padeglang, yang dilin tasi saluran udara tegang an ekstratinggi (SUTET) dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap II Labuan. Salah satu pesan pendek yang ia kirim berbunyi, ”Terompet sumber malapetaka masyarakat Labuan telah kau bunyikan, mulai saat ini engkaulah target selanjutnya.” Bunyi SMS inilah yang dinilai teror.
Kepada penyidik, Arief mengaku sama sekali tidak berniat mengancam Ani. Dia hanya ingin menyampaikan keluh-kesah perihal rumahnya yang dilintasi SUTET. Itu saja. Ia khawatir anak-anaknya terkena radiasi kabel tegangan tinggi itu. Ke takutan ini pula yang membuat ia memindahkan keluarganya ke Kampung Lebak Purut, Pandeglang, sekitar lima puluh kilometer dari rumahnya yang ”berpayung” kabel SUTET itu. Di tempat baru itu, ia mengontrak sebuah rumah. ”Maksud target di SMS itu bukan teror, melainkan target menyampaikan aspirasi,” kata Arief.
Setelah diperiksa secara maraton, Ahad pekan lalu, atas permintaan pengacaranya, Rahmat Roeslan, Arief diizinkan pulang. Kendati demikian, itu bukan berarti kasusnya selesai. Ia tetap menyandang status tersangka. Polisi menjerat Arief dengan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Tran saksi Elektronik, pasal tentang pencemaran nama baik lewat sarana elektronik. Pasal ini bisa mengirim Arief ke penjara selama 12 tahun.
Menurut Rahmat, polisi mendapat laporan teror itu dari Presiden Yudhoyono. Awalnya, Presiden memberi tahu Kepala Kepolisian Indonesia Bambang Hendarso Danuri soal SMS yang masuk telepon sang istri. Nah, dari sini Bambang meminta Detasemen Khusus 88 menemukan sang pengirim SMS. Semula, polisi kesulitan melacak tempat tinggal mantan guru SMP Negeri 1 Labuan itu, lantaran ia sudah pindah dari rumahnya di Griya Labuan. Bela kangan, dengan alat pelacak sinyal, polisi akhirnya menemukan kontrakan Arief.
Dibebaskannya Arief ini, ujar Kepala Kepolisian Daerah Banten Rumiah Kartoredjo, karena Arief mengakui kesalahannya dan berjanji tidak mengulanginya. Guru yang baru satu bulan mengajar di SMP Negeri 2 Cimanuk itu juga sudah meminta maaf secara tertulis kepada keluarga Presiden. Rumiah menegaskan, pe nangkapan Arief sama sekali tidak ada kaitannya dengan keluhannya soal SUTET. ”Ini karena dia mengancam keluarga Presiden, melakukan penghinaan, dan mencemarkan nama baik,” kata Rumiah.
Juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, mengatakan keluarga Yudhoyono sudah memaafkan tindakan Arief. Yudhoyono, ujar Andi, juga sudah mendapat laporan dari polisi bahwa pe ngirim SMS itu tengah mencari perhatian Presiden karena rumahnya dilewati SUTET. Presiden, kata Andi, sudah meminta PLN meneliti soal SUTET yang dikeluhkan Arief. ”Tapi memang jangan sekali-kali mengancam Presiden. Itu tak layak,” ujar Andi.
PETAKA yang menimpa Arief ber awal ketika PLN membangun SUTET pada Januari 2008. Saluran udara tegangan ekstratinggi ini bagian dari infrastruktur PLTU II Labuan, Ban ten, yang dibangun awal 2007. Sejak semula, pembangunan PLTU di pesisir pantai barat Banten itu sudah menuai protes warga karena melalui sejumlah permukiman.
Protes makin menjadi saat saluran ekstratinggi ini ”masuk” perumahan para guru di Labuan, Pandeglang. Ada delapan rumah yang dilin tasi kabel SUTET, di antaranya rumah Arief. Ketinggian kabel yang terdekat dengan rumah warga hanya sekitar 3,5 meter.
PLN sebenarnya sudah mem berikan ganti rugi untuk 18 rumah yang di atasnya membentang kabel SUTET. Namun, menurut Se kretaris Forum Komunikasi Dampak SUTET, Via Zulkifli, nilainya sangat kecil, antara Rp 1 juta dan Rp 8 juta. Besarnya, kata Zulkifli, bergantung pada tingkat kekritisan warga. Jika warga kritis atau sering protes, nilai ganti ruginya bisa di atas Rp 1 juta. ”Jika diam saja, hanya satu juta,” ujar Zulkifli.
Dimintai komentar tentang ini, penanggung jawab jaringan PLN Jakarta-Banten, Suherman, memi lih tutup mulut. ”Proyek ini belum jadi kewenangan kami,” katanya. Pejabat di Unit Penyaluran Transmisi Cilegon, Slamet, juga tak bersedia berkomentar. Namun, kepada Tempo, seorang manajer PLN Unit Pelayan an dan Jaringan Banten Utara, mengakui kompensasi memang belum final. Dalam waktu dekat ini akan dilakukan eva luasi agar warga mendapat nilai yang pantas. ”Ini kan belum beroperasi, sehingga belum dibayar penuh,” kata pejabat yang tak mau disebut namanya itu.
Bukan hanya soal ganti rugi yang dikeluhkan warga. Menurut Zulkifli, sejak ada SUTET itu, warga dicekam ketakutan. Mereka takut anak-anak terkena radiasi dan leukemia. Alasan ini pula yang membuat Arief meninggalkan rumahnya yang sudah sebelas tahun ia tempati. Alhasil, beban pe ngeluaran guru ini pun bertambah. Gajinya, Rp 2,7 juta per bulan, yang selama ini tersisa Rp 430 ribu lan taran dipakai antara lain untuk membayar cicilan kredit rumah dan koperasi, harus dikurangi lagi Rp 209 ribu untuk biaya kontrak rumah. Arief sudah bertekad pergi dari daerah SUTET itu. ”Sudah enam bulan rumah itu saya tawarkan, tapi belum ada yang mau membeli,” ujarnya.
Bersama mereka yang rumahnya terkena lintasan SUTET, Arief pernah menyampaikan keluhan ke berbagai pihak yang mengganggu ketenangannya itu. Bersama Forum Komunikasi Dampak SUTET Labuan, Arief juga melakukan dialog dengan sejumlah pejabat yang mereka anggap bisa meng atasi problem mereka. ”Tapi semua upaya itu tidak direspons,” kata Via Zulkifli.
Sampai kemudian, Agustus lalu, Arief bertemu Zul kifli. Kepada aktivis LSM ini, Arief meminta nomor telepon Ani Yudhoyono. Menurut Zulkifli, Ani sendiri yang mengumumkan nomor teleponnya ke penduduk saat Ibu Negara itu berkunjung ke Pandeglang. Kepada warga, ujar Zulkifli, saat itu Ani berkata, jika ada warga yang akan mengadukan sesuatu, bisa mengirim pesan pendek ke nomor yang ia berikan tersebut.
SMS yang dikirim Arief ke ”nomor penting” itu sebenarnya pernah dibalas. Hanya, isinya tidak memuaskan. Ia diminta menyampaikan keluhannya itu ke pejabat PLN Labuan. Inilah yang kemudian membuat Arief mengirim pesan pendek yang isinya lebih keras. ”SMS itu yang dianggap teror,” kata Zulkifli.
Kasus SMS teror ini, untuk sementara, memang bisa dibilang sudah selesai. Arief menyatakan ia sudah memetik pelajaran dari ”hasil” berpuluh kali mengirim pesan pendek yang membuatnya berurusan dengan polisi. ”Saya akan lebih berhati-hati menyampaikan keluhan lewat media elektro nik,” ujarnya.
Yang diinginkannya se ka rang ini adalah kemba li mengajar. Wakil Kepala SMP Negeri 2 Cimanuk, Agus Santoso, menyatakan ia dan para guru gembira mendengar kabar Arief kini sudah bebas. ”Berarti dia tidak salah,” kata Agus.
Anton Aprianto, Mabsuti Ibnu Marhas (Pandeglang, Banten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo