Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahtiar Effendy
Amien Rais memang lebih "terbuka". Di saat banyak peserta diskusi di rumahnya—sebelumnya di tempat Ahmad Tirtosudiro dan Jusuf Kalla— ramai-ramai mengatakan bahwa acara tersebut tidak punya tujuan politik, ia justru mengatakan sebaliknya. Ia tidak mengingkari kemungkinan tertransformasinya forum tersebut menjadi kaukus jika enam bulan ke depan pertemuan bulanan itu masih berlangsung.
Agaknya penjelasan Amien Rais inilah yang membuat banyak orang percaya bahwa dalam pertemuan bulanan tersebut ada warna politik. Mustahil, menurut banyak orang, pertemuan itu—yang dilihat dari segi siapa yang diundang terkesan purposive—tidak memiliki maksud-maksud politik, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Apalagi, tempat-tempat yang dipilih pun (rumah Ahmad Tirtosudiro, Jusuf Kalla, Amien Rais, dan berikutnya Ali Marwan Hanan, dan entah rumah siapa lagi) bernuansa politis. Tempat-tempat itu merupakan kediaman para tokoh politik nasional yang erat kaitannya dengan kepentingan politik umat.
Jika diletakkan di dalam perspektif dinamika pemerintahan Megawati saat ini, sebenarnya wajar saja—walaupun bisa saja salah—jika ada pihak yang menilai pertemuan tersebut bermotivasi politik. Dalam usianya yang hampir satu tahun, kepemimpinan Megawati dinilai belum menunjukkan kemajuan yang berarti, termasuk dalam hal ekonomi dan politik-keamanan. Bahkan, kekuatan-kekuatan tertentu di sekelilingnya mulai menyuarakan wacana yang dinilai kurang aspiratif. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah penilaian bahwa proses amandemen UUD 1945 berlangsung eksesif (kebablasan), dan karenanya diakhiri saja atau setidak-tidaknya dilakukan sesedikit mungkin.
Pertemuan di rumah Amien Rais yang membahas soal amandemen mudah dikaitkan dengan diskursus politik yang sedang berkembang. Demikian pula halnya dengan forum yang digelar di rumah Jusuf Kalla, yang membicarakan persoalan ekonomi. Stigma sejarah tidak diterimanya pertanggungjawaban Habibie dan proses naik-turunnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, serta semakin dekatnya sidang tahunan MPR bulan Agustus, hanya menguatkan anggapan bahwa forum itu memang ada "apa-apanya".
Realistiskah penilaian di atas? Saya sendiri cenderung berpikir sebaliknya. Meskipun mungkin memang ada motivasi atau harapan politik, meletakkan pertemuan demi pertemuan di atas dalam perspektif politik "konspiratorial" adalah jauh panggang dari api. Kendatipun banyak yang kecewa dengan proses pemulihan krisis, rasanya belum ada sesuatu yang menyamakan pandangan dan sikap politik (common denominator) mereka yang diundang—untuk jelasnya, katakanlah, kalangan Islam. Tanpa hal tersebut, sulit rasanya kaukus dibangun.
Adanya pandangan dan sikap bersama ini mutlak. Sebab, komunitas politik Islam—barangkali juga berbagai komunitas politik lain—sangat beragam dalam hal kepentingannya. Persoalan sekrusial Piagam Jakarta saja melahirkan sikap dan pandangan yang berbeda. Bahkan, dulu, keinginan menaikkan Abdurrahman Wahid menjadi presiden pun—kendati berhasil memperoleh dukungan mayoritas—tidak secara penuh merapatkan barisan komunitas politik Islam. Jadi, apa yang akan dijadikan dasar untuk membangun koalisi? Itu kalau memang pertemuan itu punya tujuan politik.
Memang, ada juga yang melihat bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk menjalin kerja sama jangka panjang. Bukan untuk menyulitkan Megawati di sidang tahunan, melainkan untuk memutuskan siapa yang pantas maju dari kalangan Islam dua tahun mendatang. Taruhlah pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan bagi Amien Rais pada 2004. Sebab, dialah yang sering dianggap sebagai front runner dari kalangan Islam.
Jika demikian yang diniatkan, rasanya dari sekarang sampai 2004 bukanlah waktu yang pendek. Banyak hal bisa terjadi di tengah jalan, ketika kita menanti masa kampanye dan pemilihan presiden tiba. Bukankah jarak-waktu yang digunakan untuk menciptakan koalisi Poros Tengah dan menentukan Abdurrahman Wahid sebagai pilihan sangat pendek—dan karena itu menjadi efektif? Koalisi seperti ini menjadi sangat mungkin dilakukan, karena pemilihan presiden dilakukan oleh MPR.
Meskipun belum resmi diputuskan, tampaknya pada 2004 pemilihan presiden bakal dilakukan secara langsung. Dengan sistem seperti itu, kaukus menjadi tidak banyak artinya. Pada pemilihan presiden mendatang, akan ada beberapa calon Islam. Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz, Zainuddin M.Z., Didin Hafidudin, dan tentu saja Amien Rais merupakan tokoh-tokoh yang mungkin maju sebagai calon. Dalam konteks seperti ini, di mana letak urgensi kaukus jika dibangun sekarang? Akankah mereka mengajak masyarakat agar memilih satu tokoh tertentu?
Lain ceritanya jika proses pemilihan sudah sampai putaran kedua. Di sini para tokoh itu bisa saja memberi dukungan (endorsement) bagi tokoh yang memang sudah mereka putuskan. Pada tingkat inilah membangun "tenda besar" untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik (Islam) menjadi lebih mungkin.
Harap diketahui, skema seperti ini masih bersifat "sepihak". Ia belum memasukkan kemungkinan jika kubu—katakanlah—Megawati mengambil tokoh Islam berpengaruh (bisa dari NU, Muhammadiyah, PPP, PBB, dan sebagainya) untuk menjadi calon pendampingnya (running mate). Yang sedemikian ini tidak hanya dapat membuyarkan skenario pembentukan kaukus Islam, tetapi juga membelah dukungan Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo