Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susanto Pudjomartono
Sungguh beruntung John Waliry, penasihat hukum Akbar Tandjung. Dua pekan lalu, di dalam persidangan perkara dana nonbujeter Bulog, ia sempat mengumpat kepada Jaksa Penuntut Umum Fachmi, "Bangsat!", tatkala ia merasa sang Jaksa melecehkannya. Cacian Waliry dibalas oleh Fachmi: "Bangsat juga kamu!"
John Waliry dan Fachmi beruntung karena Ketua Majelis Hakim Amiruddin cuma menegur keras mereka. Sang Hakim agaknya tidak menganggap keduanya melakukan pelanggaran berat terhadap tata tertib sidang (contempt of court), dan martabat pengadilan dianggap tidak terganggu oleh caci-maki tersebut.
Waliry dan Fachmi beruntung karena mereka tidak hidup di zaman Majapahit, yang penegakan hukumnya konon sangat tegas. Menurut Negarakertagama, di Kerajaan Majapahit, ada ketentuan mengenai wakparusya atau penghinaan dengan kata-kata dalam perundang-undangannya. Dalam pasal 224 dikatakan, barang siapa memaki orang yang sejajar kastanya, akan didenda satak salawe (dua ratus lima puluh). Tetapi, bila seorang hamba menghina seorang pendeta (brahmana), ia bisa dihukum mati.
John Waliry dan Fachmi lebih beruntung lagi karena mereka tidak hidup di Prancis pada abad ke-15. Di zaman itu, orang yang suka mengumpat bisa-bisa dibelah bibirnya. Dan bila hobi mengumpat itu masih juga diteruskan, yang bersangkutan bisa dipotong lidahnya.
Memaki, mencaci, menyumpah-serapah, atau mengumpat pada dasarnya punya arti yang sangat mirip, yakni mencerca, menista, atau mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan secara spontan sebagai pelampiasan rasa jengkel atau marah. Karena itu, umpatan biasanya berupa satu atau dua kata yang diucapkan dengan suatu tekanan. Tidak ada, misalnya, orang yang mengumpat dengan lagu kata yang halus mendayu seperti "baaang…. saaaat????", atau makian yang diucapkan dalam bahasa Jawa halus kromo inggil seperti "panjenengan pancen kados segawon" (Anda memang mirip anjing).
Semua orang sebenarnya punya potensi untuk mengeluarkan rasa jengkel atau marahnya dengan memaki. Yang membatasi atau membedakan hanyalah usia, kepribadian, lingkungan, serta tata nilai yang hidup di masyarakat.
Hampir semua agama dan budaya menganggap memaki atau mengumpat sebagai sesuatu yang tidak etis, terutama bila diucapkan di depan umum. Namun, ada masyarakat yang agaknya memahami peran umpatan sebagai katup pelepas psikologis itu. Di daerah Solo, Jawa Tengah, ada sebuah desa yang mempunyai tradisi unik yang merupakan bagian dari upacara "bersih desa". Sekali setahun, di hari tertentu pada malam hari, orang bisa pergi ke tepi sebuah sungai, lalu boleh memaki seenak udelnya ke arah seberang sungai tanpa kena sanksi sosial apa pun.
Tiap kelompok masyarakat atau bangsa punya perbendaharaan kata caci-maki yang berbeda, tergantung sejarah, tradisi, kebudayaan, norma, dan tata nilai yang ada. Dalam perbendaharaan kata-kata umpatan, Indonesia agaknya masih kalah jauh dibanding bangsa-bangsa Barat.
Kata-kata umpatan dalam bahasa Indonesia yang paling sering dipakai umumnya adalah nama binatang yang dianggap rendah atau nista. Misalnya: "bangsat" (kutu busuk), "anjing", "babi", "monyet" (kunyuk), "kerbau", "kucing", "kambing", "cacing", "jengkerik", atau "ular". Terkadang kata itu ditambah dengan predikat tertentu, misalnya "(dasar) tampang monyet", "kerbau dungu", "kambing congek", dan "kucing kurapan" (korengan). Umpatan "babi" dan "anjing" paling populer, mungkin karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yang menganggap kedua binatang tersebut seperti najis.
Kategori kedua adalah cacian yang berasal dari sesuatu yang dianggap hina atau merugikan, seperti "setan", "hantu", "laknat", "bajingan", "maling", "copet", "tahi", "kentut", "congek", "sialan", "bodoh", "goblok", "bebal", "budak", atau "banci".
Yang ketiga adalah kata-kata umpatan yang berkonotasi seks. Mungkin karena kita menganggap diri sebagai bangsa yang santun, tidak banyak kata jorok seperti itu dalam kamus umpatan kita. Namun, ada juga kata makian yang maknanya sudah "dicairkan" sehingga dianggap wajar atau biasa, seperti "diancuk", yang populer di Jawa Timur.
Hal ini berbeda dengan di negara-negara Barat, yang punya tradisi mengumpat yang lebih tua. Perbendaharaan umpatan mereka jauh lebih "lengkap". Hampir semua nama dewa Yunani yang jumlahnya ratusan sering dipakai untuk menyumpah, dari Jupiter sampai Aphrodite.
Bangsa Barat yang beragama Kristen juga biasa menyebut nama nabi atau tokoh suci agama sebagai ungkapan ekspresi spontan, seperti "Jesus", "Christ", dan "Holy Moses". Hal ini berasal dari tradisi pengambilan sumpah (oath) dalam sidang agama atau pengadilan.
Meski bangsa Barat punya gudang umpatan yang kaya, toh etika dan kesopanan masih dijunjung. Bagaimana media cetak di sana memperlakukan apa yang disebut sebagai four letter words, umpatan yang terdiri dari empat huruf, dengan misalnya menyamarkannya sebagai f…. atau !?@*. Sampai kini, beberapa kamus terkenal seperti Oxford English Dictionary pun tidak mau mencantumkan umpatan empat huruf itu dalam terbitan mereka.
Di Indonesia, upaya memelesetkan umpatan yang dianggap kasar juga dilakukan. Sastrawan Danarto, yang dikenal sangat santun, selalu menulis "siwalan" (nama buah) sebagai pengganti "sialan".
Mungkin kita juga bisa meniru Kapten Haddock dalam serial komik Tintin, yang selalu mengumpat "sejuta topan badai". Tidak bakal ada orang yang tersinggung.
Yang paling kocak mungkin komedian atau artis Tika Panggabean dari kelompok Project-P. Sering dalam acara siaran televisi, ketika hampir mencaci "anj…..", ia lalu sejenak membiarkan semua orang "menunggu", baru kemudian ia meneruskan "…as Asmara!" sambil terkekeh-kekeh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo