Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Negara Baru, Republik Lama?

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aboeprijadi Santoso
  • Wartawan, tengah bertugas di Dili

    Timor Loro Sa'e tak seperti yang tampak dalam perayaan kemerdekaan di tepi tiga danau, Tasi Tolu, 20 Mei lalu. Perayaan yang ditutup dengan gegap sinar kembang api yang menghias gelap di dini hari.

    Kenyataan politik tidak demikian. Dengan legitimasi yang terbentuk di tiga tingkat—referendum Agustus 1999, pemilu konstituante Agustus 2001, dan pemilu presiden April lalu—negara baru ini menjadi senyawa dari dua atau tiga jiwa di dalam satu tubuh politik.

    Referendum memberi legitimasi internasional bagi negara baru, Pemilu 2001 menghasilkan parlemen dan pemerintahan yang didominasi oleh Fretilin, dan pemilu presiden memilih Xanana Gusmão. Celakanya, Fretilin dan Xanana harus bekerja sama dengan bayang-bayang persimpangan jalan antarmereka di masa lalu dan kini.

    Fretilin (Frente Revolucionare de Timor Leste) lahir pada 1974 dari—sebutlah—"buku-pinter"-nya gerakan kiri ala Frelimo (Frente Revolucionare de Mozambique). Menurut teorinya, tak ada republik untuk rakyat kecuali yang memegang kendali mutlak atau, paling tidak, dominan.

    Fretilin 1975 dan Fretilin 2001—baik nominal maupun nyata—memenuhi kedua syarat itu. Tetapi semangat dan teori-teori Marxisme-Leninisme yang diimpor para mahasiswa eks-Portugal pada 1970-an kini tak laku lagi. Itu sebabnya, tahun lalu lahir isu "restoracao (pemugaran) RDTL (Republica Democratica de Timor Leste)"—alias "menghidupkan kembali" republik yang diproklamasikan Fretilin pada 28 November 1975, yang dihabisi ABRI setelah sembilan hari berdiri.

    Fretilin berkompromi soal tanggal kemerdekaan (bukan 28 November, melainkan 20 Mei), lagu kebangsaan (lagu baru digubah di Makau, bukan lagu Fretilin), tapi tetap menjaga bendera RDTL (merah, hitam, kuning, dengan segi tiga ganda dengan bintang) sebagai warisan keramat. Upacara Ahad lalu—diam-diam tapi resmi—disebut "pengakuan kemerdekaan". Artinya, dianggap sebagai pengakuan dunia terhadap RDTL 1975. Ketua Parlemen Lu Olo (Fretilin) mengatakan, pengakuan itu adalah bagian dari "restoracao RDTL". Jadi, dalam hal simbol dan atribut, negara baru ini setia pada republik lama.

    Masalahnya bukanlah apakah RDTL mau dipugar (sepenuhnya) atau tidak, melainkan apakah pemugaran itu, kalau dikehendaki parlemen, bisa berlangsung secara demokratis.

    "Kay Rala Xanana" naik jadi pemimpin di saat gawat pada 1981, ketika pucuk Fretilin dan separuh gerilya di-habisi ABRI dan sebagian rakyat terlunta-lunta bersama sisa gerilya di Gunung Matebian. Meski Xanana kala itu junior, atasannya, Antonio "Ma Huno" Gomes da Costa, tiba-tiba berdiri dan berseru, "Hormat kepada Commandante Xanana!" Dari situ, jadilah Xanana Panglima Falintil. Jadi, Xanana tak bersaham penting saat lahirnya RDTL.

    Bagi Xanana, restorasi RDTL tak relevan. Yang jadi soal: menjaga persatuan nasional. Ini pula yang dulu membuatnya bersimpang jalan dengan Fretilin.

    Ujiannya bakal datang dari Fretilin dan Jakarta.

    Laporan-laporan menunjukkan, Fretilin-anno-2001 cenderung tak ingin bermain demokrasi secara transparan. Ada dua "guru"-nya: Frelimo dan Golkar. Di Mozambik, ketika Frelimo berkuasa, oposisi Renamo disisihkan 27 tahun dan aparat birokrasi, yang mestinya jadi institusi public servant yang non-partisan, dikangkangi. Golkar, di bawah Soeharto, idem dito.

    Tendensi ini bisa kuat kalau kabinet baru jatuh di tangan "garis keras" Fretilin, yang—berbeda dengan Xanana dan José Ramos-Horta—merupakan jebolan-jebolan Mozambik. Orang, misalnya, mulai mengeluhkan soal "sentralisme": di zaman penjajahan Indonesia masih ada perwakilan daerah (DPRD), kini tidak. Akibatnya, di mata masyarakat yang amat insaf politik ini, citra Fretilin merosot.

    Ujian juga bisa datang dari Jakarta, seperti ketika tiga dari enam kapal perang pekan silam "unjuk kekuatan" di Dili. Satu singgah di dermaga, diusir, dan cuma 10 mobil sipil dan 15 dari ratusan tentara bersenjata yang boleh turun. Itu saja cukup menggetarkan trauma penduduk Dili, yang sudah lama kenal seragam mereka. Akibatnya, giliran citra Xanana—yang mesra dengan Jakarta—merosot.

    Tetapi, satu ihwal, Xanana dan Fretilin sepakat. Indonesia bagi Timor Loro Sa'e penting sekali, lebih ketimbang sebaliknya. Untung, Presiden Megawati Sukarnoputri pernah jadi "ina doben" (mama tersayang) semasa kampanye PDIP di Dili tahun 1999. Dalam perayaan di Tasi Tolu pada Ahad lalu, dia disambut tepuk tangan hangat, meski ada juga yang berseru, "Oouuu, uuh …!"

    Dengan legitimasi internasional di kantong Xanana, dan perolehannya dalam pemilu presiden yang jauh lebih besar ketimbang Fretilin dalam pemilu parlemen, persoalan Xanana-Fretilin tak usai.

    Sebab, Timor Loro Sa'e pada dasarnya telah menjadi negeri yang rakyatnya tak mudah percaya pada negara karena pengalaman buruk di masa lalu. Kini, yang ganjil, pemimpin dan pemerintahannya dihormati dan mengantongi kepercayaan rakyat, tapi tak saling akur.

    Soal republik lama yang membayang-bayangi negara baru, itu cerita yang masih panjang. Kecuali, mungkin, kalau Xanana memilih beternak bebek dan jadi Mat Kodak, memotret anaknya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus