KETIKA berlangsung Perang Dingin, ideologi telah mempengaruhi hubungan antara Cina dan ASEAN. Cina yang komunis merupakan momok yang mengancam kestabilan negara-negara ASEAN yang nonkomunis. Setelah ambruknya sistem komunisme dan selesainya Perang Dingin, ekonomilah yang banyak mempengaruhi hubungan antara Cina dan ASEAN. Deng Xiaoping berusaha membuat Cina modern dan makmur dengan melancarkan Program Modernisasi. Untuk menyukseskan Program Modernisasi, Cina memerlukan modal dan manusia yang berketerampilan. Setelah Revolusi Kebudayaan (1966-1976), Cina bukan saja tidak punya modal yang cukup, tetapi juga kehilangan manusia yang pandai-pandai. Maka, Cina terpaksa menoleh ke Jepang dan Barat, terutama ke Amerika Serikat, untuk mendapat modal dan teknologi. Di samping itu, Cina juga ingin menggunakan modal dan keterampilan Cina perantauan. Tetapi, perlu dicatat, Cina perantauan yang bermukim di ASEAN jarang ''pulang'', apalagi menanam modal di tanah leluhur. Soalnya, pada waktu itu, mereka belum yakin bisa menimba keuntungan. Menurut sumber Cina, sejak tahun 1979 sampai 1991 penanaman modal langsung yang dijanjikan (contracted investment) di Negeri Tirai Bambu itu berjumlah US$ 56.203 juta -- 61,8% berasal dari Hong Kong dan Makau, 9% dari Amerika, 8,1% dari Jepang, dan 2,5% dari Taiwan. Modal dari negara-negara ASEAN jumlahnya kecil, dan itu pun berasal dari Singapura (2,1%) dan Thailand (0,4%). Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Filipina tidak masuk daftar. Ada pendapat bahwa modal yang datang dari Hong Kong dan Makau termasuk modal dari orang Cina di Asia Tenggara. Ini mungkin saja, tetapi sukar diketahui berapa yang benar-benar berasal dari ASEAN karena pengusaha asing, baik Cina maupun bukan, umumnya menggunakan Hong Kong untuk menanam modal di Cina. Proporsi modal orang Cina dari ASEAN tidak mungkin melebihi modal orang Cina dari Hong Kong, Makau, dan Taiwan. Konon, orang Cina sendiri sering menanam modal kembali (reinvest) di negeri mereka melalui Hong Kong. Meski Singapura merupakan penanam modal di Cina yang terbesar di antara semua anggota ASEAN, sebetulnya, menurut data 1991, penanaman modal langsung hanya sebesar 2% dari seluruh penanaman modal Singapura di luar. Penanaman modal Singapura yang terbesar tetap di Malaysia (22%), Hong Kong (12%), Selandia Baru (11%), Negeri Belanda (8%), Australia (7%), Amerika (4%), dan Thailand (3%). Baru tahun ini penanaman modal Singapura di daratan Cina melonjak. Kabarnya, telah melebihi jumlah total 13 tahun lampau. Tetapi pihak Cina masih saja menggerutu karena orang Singapura tidak menanam modal di daratan Cina sebanyak yang diharapkan. Sebetulnya, setelah peristiwa Tiananmen pada tahun 1989, Cina membuka pintu selebar-lebarnya. Ini memberikan banyak kesempatan bagi orang asing untuk mencari keuntungan. Ekonomi Cina maju begitu pesat -- dengan pertumbuhan setinggi 14% setahun. Tidak mengherankan jika para pedagang, kebanyakan etnik Cina, berbondong-bondong mengadu untung ke Negeri Cina, termasuk pedagang-pedagang kelas kakap di ASEAN. Dari Indonesia, menurut beberapa majalah, termasuk majalah Info Bisnis, Pengusaha Liem Sioe Liong, Mochtar Riady, Eka Tjipta Widjaja, dan Gondokusumo menanam modal secara besar-besaran di negeri leluhur mereka. Hal ini, menurut sejumlah media massa, dianggap sebagai pelarian kapital (capital flight) yang tidak menguntungkan Indonesia. Lebih buruk lagi, ada yang mulai menggugat bahwa mereka kurang setia kepada Indonesia. Tuduhan-tuduhan ini terkadang sangat emosional. Setahu saya, informasi tentang penanaman modal yang berasal dari orang keturunan Cina di ASEAN masih kurang lengkap. Di samping itu, para konglomerat yang beretnik Cina tidak hanya menanam modal di daratan Cina. Mereka menanam modal di mana-mana, tetapi yang terbesar tetap berada di luar daratan Cina. Konglomerat etnik Cina adalah semacam MNC (multi-national corporation). Mereka bergerak tanpa menghiraukan batas negara, seperti MNC lain yang dimiliki oleh bukan etnik Cina. Mereka semata-mata mencari kesempatan dan mengejar keuntungan. Kebetulan di Cina kini ada kesempatan dan keuntungan. Ada yang mengatakan, mereka itu setia kepada Cina karena pertalian primordial. Memang banyak konglomerat dari Indonesia (juga dari negara ASEAN lainnya) tergolong kelompok totok (singkeh) yang lahir di sana. Mereka masih berbahasa Cina, dan masih kangen kepada negeri leluhurnya. Namun, sebagai pedagang, apakah mereka akan menanam modal di Cina jika mereka akan menanggung kerugian? Bukankah mereka baru terjun ke daratan Cina setelah ada kesempatan mengeruk keuntungan? Ketika orang berbicara tentang orang Cina di ASEAN, seakan- akan orang Cina di ASEAN adalah kelompok yang homogen, seakan- akan mereka semua pedagang kakap, seakan-akan mereka semuanya singkeh, atau semuanya pemeluk ''agama Konghucu''. Padahal, orang Cina di ASEAN beraneka ragam. Ada yang kaya raya, ada juga yang miskin papa. Tetapi tidak bisa dinafikan, umumnya jumlah orang Cina yang tergolong kelas menengah jauh lebih besar daripada kelas menengah pribumi. Tentang kebudayaan, ada yang masih singkeh, ada yang sudah menjadi peranakan, lukcin, atau mestizo, bahkan ada yang sudah terlebur ke dalam masyarakat setempat. Karena keadaan di setiap negara ASEAN berlainan, sukar bagi kita membuat generalisasi tentang orang Cina. Tidak bisa disangkal bahwa pemerintah Cina, demi kepentingan nasionalnya, akan menggunakan orang Cina yang bisa dipakai dan juga rela digunakan. Namun, pemerintah ASEAN juga telah berusaha membuat orang Cina menjadi warga negara setempat yang sejati, agar mereka mengabdi kepada negara mereka yang masih muda. Apakah kebijaksanaan negara ASEAN ini sudah berhasil? Apakah kesadaran nasional (national consciousness) di antara orang Cina di ASEAN sudah tertanam? Apakah mereka sudah punya rasa national belonging? Pertanyaan ini agak sukar dijawab karena etnik Cina bukan satu kelompok yang homogen. Namun, kita bisa mengatakan bahwa negara yang paling berhasil mengintegrasikan orang Cina mungkin Thailand dan Filipina (tentu masih banyak yang belum terbaur, tetapi kelompok ini umumnya pendatang baru, bukan yang sudah bermukim di ASEAN beberapa generasi). Ini mungkin ada hubungannya dengan konsep nasion (nation) dari kedua negara itu. Setahu saya, konsep nasion di Thailand dan Filipina itu berdasarkan kultur, bukan ras. Jadi, bila seseorang sudah berakulturasi dengan pribumi setempat, orang itu sudah dianggap sebagai orang Thai atau Filipino. Karena itu, keturunan Cina seperti Chuan Leekpai bisa menjadi perdana menteri Thailand, Jamie Cardinal Sin bisa menjadi uskup Manila, dan Cory Aquino (nama aslinya Cory Cojuanco) bisa menjadi presiden Filipina. Namun, di beberapa negara ASEAN, konsep nasion masih berdasarkan ras dan kultur. Umumnya, seseorang yang sudah berakulturasi masih belum bisa diterima sebagai pribumi. Di zaman Orde Lama, Bung Karno pernah mencetuskan ide bahwa peranakan Cina adalah salah satu suku Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, dan sebagainya. Jadi, peranakan Cina itu sudah menjadi orang Indonesia sejati tanpa peleburan total. Namun, terjadinya pemberontakan G-30-S/PKI menunjukkan terkandasnya gagasan semacam ini. Di Malaysia, jumlah orang Cina sangat besar, dan umumnya mereka masih belum berakulturasi dengan bumiputra (yaitu Melayu). Konsep ras masih sangat kuat dan proses nation-building rupanya masih memerlukan masa yang panjang. Yang perlu ditegaskan di sini, keadaan di internasional sudah berubah. Bangkitnya Cina sebagai kekuatan ekonomi merupakan suatu tantangan terhadap negara-negara ASEAN. Persaingan mengimbau investasi asing merupakan suatu hal yang membimbangkan banyak negara di ASEAN. Memang, Cina mulai memperoleh investasi dari negara asing, tetapi Amerika, Jepang, dan banyak negara lain tetap menaruh minat pada ASEAN karena infrastukturnya jauh lebih baik dan kadar keuntungannya (rate of return) sangat tinggi ketimbang di Cina. Menghadapi tantangan ekonomi Cina itu, ASEAN mulai berbenah. Indonesia bahkan mulai lebih mengintensifikasikan deregulasi ekonomi di samping mempertinggi kerja sama di kalangan negara anggota ASEAN. Kawasan-kawasan perkembangan semacam Sijori (Singapura, Johor, Riau) lebih digalakkan justru untuk menandingi saingan Cina. Dalam persaingan ekonomi ini, apakah ASEAN akhirnya akan menang, itu bergantung pada kemauan politik (political will) para pemimpin ASEAN. Sudah barang tentu, Negeri Cina kini tidak senantiasa berupa lawan ASEAN. Cina bisa dijadikan kawan dalam bidang ekonomi kalau memang saling menguntungkan. Namun, ini memerlukan suatu pola pemikiran yang baru. Bangkitnya Cina juga berupa suatu tantangan terhadap negara- negara ASEAN yang memiliki etnik Cina. Apakah etnik Cina akan berkiblat ke sana lagi? Seperti telah saya katakan, etnik Cina itu tidak homogen, ada yang sudah terbaur, dan ada yang masih totok. Proses ASEAN-isasi etnik Cina sudah berlangsung. Tetapi proses nation-building itu memakan waktu yang lama. Lancar atau tidaknya, untuk taraf tertentu, bergantung pada kebijaksanaan pemerintah setempat. Jika semua orang Cina itu masih dianggap Cina perantauan (overseas Chinese), mereka akhirnya akan benar-benar menjadi Cina yang ''selalu merantau''. Kalau mereka itu diperlakukan sebagai warga negara sejati, banyak juga yang akan berlaku seperti warga negara. Kesadaran etnis memang sudah mulai timbul di mana-mana, tidak terbatas pada orang-orang Cina saja. Namun, pada hemat saya, kesadaran etnis ini tidak selalu bertentangan dengan kepentingan nasional. Untuk menghadapi zaman baru ini, pemerintah ASEAN perlu juga memiliki perspektif yang baru. Demikian pula perspektif kita tentang etnik Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini