Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Corry

Presiden AS George Bush & Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev bertemu di Malta. Gorbachev datang membawa damai -- ke pelbagai sudut, di Uni Soviet maupun ke dunia luar -- dengan risiko yang gila.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN dan angin menghantam dan ombak mengguncang ketika Perang Dingin diakhiri di sebuah kapal di Teluk Marsaxlokk di Malta pekan lalu. Presiden yang satu, dari Amerika Serikat, George Bush, mungkin muntah-muntah. Ia gagal datang ke satu jamuan makan malam. Esoknya ia nampak mengenakan alat pencegah mabuk laut: sebuah tempelan kecil (yang bisa mengeluarkan obat scopalmine) di balik kedua kupingnya. Presiden yang lain, dari Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, juga memilih cara yang aman: ia selamanya tetap di kapal pesiar Maxim Gorky yang kukuh itu. Ada kehati-hatian, yang jarang nampak dalam satu peristiwa bersejarah. Tapi mungkin kali ini harus demikian, karena orang masih bimbang. "Sudah berakhirkah Perang Dingin?" tanya Zbigniew Brzezinski, ahli Perang Dingin terkenal itu, dalam sebuah tulisan di The Washington Quarterly nomor musim gugur 1989. Tulisan itu memang dibuat sebelum pertemuan Malta, bahkan sebelum Tembok Berlin jebol. Bagi Brzezinski, arti berakhirnya Perang Dingin harus berpusat kepada apa yang "simbolis" dan yang "filosofis". Jangan lupa, tulisnya, bahwa yang dipertaruhkan oleh Blok Barat dalam Perang Dingin adalah "hak asasi manusia". Kekuatan moral terbesar Barat ialah karena ia membawa soal hak asasi ini dalam sikapnya ke Blok Timur. Sebab itu, Tembok Berlin adalah simbol yang kena: ia memisahkan "Barat" dan "Timur", bukan cuma secara harfiah. Di balik Timur tembok itu tak ada sepotong pun coretan ungkapan perasaan atau kenakalan. Yang ada hanyalah kebungkaman. Di balik Barat, grafiti berwarna-warni yang mengharukan maupun yang jorok, dituliskan. Itulah tanda kebebasan. "Maka, Perang Dingin akan mendapatkan tanggal berakhirnya," tulis Brzezinski, "ketika tembok itu secara pasti akan ditiadakan." Kini Tembok itu, yang oleh Khrushchev, pemimpin Soviet yang menegakkannya, disebut "domba yang budek dan bisu", sudah dipotong. Rakyat Jerman Timur telah bisa bersuara dan semua pemimpin komunis mengundurkan diri. Jika kita akan memakai "syarat" Brzezinski, Perang Dingin sudah habis bahkan sebelum Presiden Bush, sehabis mabuk laut, bersalaman dengan Presiden Gorbachev di kapal Maxim Gorky. Natal 1989 akan jadi Natal dengan kata "Damai di Bumi" yang agak tulus, dan kalau saya ditanya Santa Claus mana yang membawanya, saya akan menjawab mungkin bukan seorang Santa Claus, tapi seorang anggota Politbiro. Saya ingat sepotong sajak yang ditulis penyair Agam Wispi ketika ia berkunjung ke Eropa pada ahun 1960-an. "Nikita, Nikita, datang bawa damai." Wispi memuji Nikita Khrushchev, yang waktu itu menawarkan kepada Barat "hidup berdampingan secara damai". Kini rasanya ia harus menulis satu eulogium yang lebih antusias buat Gorbachev. Sebab, bila Khrushchev membawa damai tapi sebenarnya tak siap dengan risikonya, Gorbachev datang membawa damai -- ke pelbagai sudut, di Uni Soviet maupun ke dunia luar -- dengan risiko yang sangat gila. Di dalam negeri, ia buka pintu kebebasan bersuara. Artinya, ia bikin kesempatan buat orang yang mau bicara menentangnya. Juga ia rombak sistem ekonomi, dengan akibat satu transisi yang sangat berat. Artinya, pelbagai sendi pokok Marxisme-Leninisme baginya harus ditinggalkan, biarpun alternatifnya masih gelap. Tidakkah dengan begitu ia sebenarnya membongkar sendi struktur kekuasaannya sendiri? Dan ketika ia membiarkan rakyat pelbagai negeri Eropa Timur menjatuhkan pemerintahan mereka masing-masing, tidakkah sebenarnya ia menciutkan wilayah pertahanan Soviet. Apa sebenarnya yang ia cari? Saya tak tahu. Yang saya tahu adalah ia telah jadi orang yang menyebabkan sejarah berubah setelah 70 tahun. Yang saya tahu ialah bahwa perubahan itu menyebabkan ratusan juta orang bisa bernapas lega. Saya heran bahwa ia tak mendapatkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian. Salah satu adegan yang menyentuh dalam trilogi novel John Le Carre tentang pergulatan antara kontraspionase Inggris dan spionase Soviet terjadi menjelang akhir. "Karla", tokoh utama dinas mata-mata Kremlin, akhirnya memutuskan untuk menyeberang. Orang Inggris telah memerasnya, di sudut terlunak dari hatinya yang keras: ia teramat cinta kepada anaknya yang dirawat di Barat. Malam itu ia melewati Tembok Berlin. Malam itu ia meninggalkan masa silamnya, perjuangannya, dan keyakinannya. Di seberang sana, Smiley, tokoh kontraspionase Inggris, menantinya, berjaga. Itu adalah caranya menghormati musuhnya yang menyeberang itu, seorang alat perang yang berkorban untuk sesuatu yang lebih human, di sebuah dunia yang kotor dan sinis di mana orang cuma bicara soal kalah dan menang. Gorbachev bukan "Karla" dan ia tak menyeberang ke Barat. Tapi, apa pun kepentingannya, ia juga telah melakukan sesuatu yang hampir mustahil, dilihat dari seluruh latar belakang dirinya. Hasilnya adalah satu masa depan bukan cuma untuk anaknya sendiri, tapi untuk entah berapa ratus juta anak-anak dunia. Ia layak mendapatkan rasa hormat, rasa ikut serta dalam keprihatinan dalam bahaya yang mungkin menghadangnya kini. Ia layak mendapatkan sebuah vigil. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus