MASIH ada yang samar-samar dalam penerbitan pers. Karena itu, Menteri Penerangan Harmoko menyibaknya sewaktu di depan Komisi I DPR, Selasa pekan silam. Misalnya, ia menjelaskan pemilikan saham, monopoli, pers pusat yang cenderung mencaplok usaha pers di daerah, hingga ikhwal go public. Menurut Harmoko, berdirinya perusahaan pers itu telah diatur Undang-Undang Pokok Pers. Artinya, badan hukum yang dibolehkan adalah yang mengembangkan segi idiil yang berasaskan gotong-royong dan kebersamaan. "Badan hukum dalam pers tak boleh menyangkut bidang lain, seperti perusahaan tahu, atau perbankan," katanya. Pemilikan sahamnya, minimal 20% untuk karyawan. Yang 80% lagi boleh dibagikan kepada siapa saja, misalnya di-go public-kan. Menpen bahkan menyebutkan tetap terbukanya kerja sama antarperusahaan pers, asalkan sahamnya berbanding 35% untuk investor dan 65% dikuasai (mayoritas) pemilik lama. "Tidak ada monopoli dan telan-menelan dalam bidang usaha pers," katanya. Pemasok modal menyetir pemberitaan koran itu tidak akan terjadi. Mungkin muncul perombakan, seperti berubahnya frekuensi terbit dan nama-nama personel. Cuma, semua itu dilakukan kalau ada rekomendasi, dan organisasi pers turut mengawasi. "Pengawasan secara normatif tentu ada, tetapi kami masih prihatin dengan mekanisme dan sistemnya," kata Zulharmans, Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar. Selain pengawasan, unsur terpenting yang mendorong tumbuhnya pers: kapital. Kemudian, barulah profesionalisme dan teknologi. Jadi, pembagian 35:65 tidak seperti itu persisnya. "Ada yang lebih penting dan positif minimal 20 persen saham sudah lebih dulu dimiliki karyawan," tambah Zulharmans. Walau Undang-undang Pokok Pers sudah ada -- berikut peraturan pelaksanaannya -- agaknya, yang sulit dilacak adalah "jaminan" bahwa tidak terjadi telan-menelan tadi. Inilah yang dipertanyakan H. Anang Adenansi. Sebab, menurut anggota Komisi I DPR itu, bisa saja dipermainkan dengan bermacam cara. Padahal, ia juga setuju pers pusat yang kuat membantu pers daerah yang lemah, sepanjang untuk pengembangan pers nasional. Kemudian, Anang menunjukkan indikasi telan-menelan koran daerah oleh koran pusat, terutama yang sudah tidak punya apa-apa lagi. Formalitas saham mungkin 30:70, atau 40:60. Dalam kenyataannya, justru sebaliknya. Yang penting, koran itu tetap hidup, lalu si pemilik lama menyerah. "Apakah sahamnya tinggal sedikit, itu bukan persoalan," kata Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Media Masyarakat di Banjarmasin itu. Sulitnya, ini terjadi di bawah tangan, karena sama-sama punya kepentingan. "Hal semacam ini tak terungkap ke permukaan," tambahnya. Ada contoh aktual, yaitu jual beli saham koran Dinamika di Banjarmasin. Penerbit koran ini menjual sahamnya kepada pemodal setempat. Belakangan, pemilik baru itu melego lagi kepada kelompok lain di Jakarta, sehingga pemilik lama terjepit. Menurut Anang, kasusnya sedang ditangani Dewan Pers. "Ini namanya jual beli SIUPP. Kalau sudah begini, pers mau dijadikan apa? Kita memang tak bisa makan idealisme saja. Tapi, idealisme jangan dibuang. Sebab, sejarah pers Indonesia adalah pers perjuangan," katanya. Karena idealisme itu, kendati kini koran Media Masyarakat kondisinya bak kerakap tumbuh di batu, Anang malah tidak berniat mencari partner dari Jakarta. Pengusaha terkenal Surya Paloh memahami bahwa idealisme harus ditegakkan, kendati hitungan bisnis jangan diabaikan. "Logis, laba ruginya juga dipertimbangkan," kata bos PT Surya Pesindo yang kian merentangkan sayapnya itu. Selain menerbitkan Media Indonesia, sejumlah koran di Banda Aceh, Medan, Bandung, Yogya, dan Lampung, kini bergabung dalam bendera usahanya. Komposisi sahamnya, konon, fifty-fifty. Toh, Surya menolak ada monopoli. Apalagi memang masih banyak SIUPP bertebar di luar. "Lagi pula, kita punya peraturan pers dalam berbagai aspek, sehingga monopoli tidak tepat ada di sini," tuturnya. YHE, Diah Purnomowati, Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini