Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Daesh

Tuhan tak berada di peluru terakhir pasukan “Negara Islam”.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Daesh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di benteng penghabisan Baghouz, Suriah, di antara puing dan jejak pembantaian, di balik bunker yang bengkah oleh peluru mortir dan pohon-pohon kurma Eufrat yang hangus oleh bom, sebuah proyek roboh.

Para “jihadi” ingin membangun utopia, dan itulah yang terjadi: sebuah bangunan sosial politik yang tak punya tempat. “Negara Islam”, Islamic State, atau Daesh, masuk ke kesalahan asumsi awalnya. Para pendirinya tak melihat bahwa di bawah negara itu—sebagaimana di bawah tiap kekuasaan di dunia—yang disebut “fondasi” hanyalah sepotong sejarah, hanya sebuah kontingensi, yang bisa ya dan bisa tidak, bergantung pada kondisi dari saat ke saat.

Kelak apa yang akan dikenang? Kembali bertautnya peradaban dengan kebiadaban. Di atas buminya yang keco-kelatan, di bawah langitnya yang terang, pernah berdiri majelis, mimbar, madrasah—tapi juga bercak darah ratusan leher yang disembelih dan tubuh yang ditembaki.

Di balik kebuasan itu adalah Daesh: ekspresi lain ideologi ketidaksabaran yang berkecamuk di Dunia Arab sejak abad ke-20.

Ideologi itu tumbuh dari rasa kesal, waswas, cemburu, curiga. Mereka melihat dengan masygul masyarakat mereka tak kunjung utuh, terpadu, dan mampu bersaing dalam hal-hal yang penting di zamannya. Dunia mereka, yang kadang-kadang disebut “Dunia Islam”, tak kunjung mereka anggap “islami” penuh. Mereka merasa dikalahkan. Sementara itu, mereka merasa terkepung dunia lain—yang kadang kala disebut “kafir”.

Bagi mereka ketidakutuhan itu sebuah cacat, dan cacat itu harus ditiadakan. Mereka menyangka bahwa keutuhan adalah esensi sebuah bangunan sosial, apalagi mereka percaya ada perekat yang ajaib: agama Islam. Dan ketika perkembangan waktu tak kunjung memperlihatkan keajaiban agama dalam membuat penganutnya utuh, kukuh, terpadu, mereka jadi tak sabar. Jalan singkat mendesak: dengan memaksakan, melalui kemenangan perang.

Tapi sebenarnya mereka dirundung ilusi setua Plato. Dalam angan-angan Plato, kota Kallipolis adalah ideal yang pantas diteladankan: sebuah negeri yang stabil, berakal budi, rapi, dipimpin orang-orang terpilih—sebuah impian yang kemudian masuk ke dunia Islam dalam risalah-risalah Alfarabi di abad ke-9.

Tapi impian tetap impian: dalam pengalaman manusia, ketidakkompakan sebuah negeri adalah sesuatu yang bukan cacat, melainkan kewajaran. Kallipolis tak per-nah ada dalam se-jarah. Alfarabi mengatakan, “kota”, al madaniyah, adalah nomor satu dalam “derajat kesempurnaan”. Tapi kita tahu negeri apa pun, kota mana pun, mengandung keretakan yang endemik.

Daesh menyangka konflik itu hanya berlangsung dengan “yang kufur”; bagi asumsi dasar mereka, dalam tubuh Islam hanya ada ukhuwah. Di hadapan seantero dunia, mereka tegaskan “Islam” sebagai sebuah identitas—bukan sebuah proses. Dan dengan itu, mereka mengumandangkan diri berbeda. Tapi “the logic of difference” itu dengan segera tenggelam oleh “the logic of identity”.

Mereka tak mau mengakui, dengan itu mereka risau. Di dunia ketika “kami” tiap saat kepergok dengan “mereka”—dengan yang bukan-kami—tiap saat itu pula “si-mereka” dianggap mengganggu. Terutama ketika justru tampak, seketika atau berangsur-angsur, adanya titik-titik persamaan antara “kami” dan “mereka”.

Para “jihadi” lahir sebagai kaum takfiri, yang menampik apa yang bukan “kami” sebagai kafir—semacam paranoia akan terjadinya pengaruh. Bisa dimengerti. Mereka menanggungkan trauma sejarah, pengalaman kekalahan ketika dihadapi dunia yang berbeda sejak imperialisme Barat mengubah bumi.

Mereka pun makin puritan; mereka habis-habisan hendak menggapai yang paling murni dan asli dalam “identitas” mereka. Dorongan kian kuat untuk menegaskan beda diri, hingga lupa bahwa di antara sesama manusia beda terjadi, tapi tak pernah mutlak.

Salah satu yang datang bersama imperialisme adalah pertemuan “kami” dengan “mereka”. Tapi dalam prosesnya, tumbuh kesadaran bahwa tak seorang pun, tak satu kaum pun, hanya punya satu ekspresi yang 100 persen tersendiri. No one today is purely one thing, kata Edward Said dalam Culture and Imperialism.

Tapi itulah yang hendak diingkari kaum “jihadi”.

Pada gilirannya, IS sebuah isolasi. Makin puritan mereka, makin tak toleran mereka kepada anasir lain, makin gagal mereka menerima (untuk memakai istilah Laclau) the logic of equi-valence. Mereka tak bisa memperlakukan kelompok lain sebagai kemungkinan yang setara—dan sejalan—dalam menghadapi “musuh bersama”, yakni dunia yang merisaukan. Mereka tak mau orang lain menafsirkan dan memberi isi apa yang dianggap “adil”, “lurus”, “benar”.

Dalam isolasi diri itu berkembanglah bukan saja ideologi ketidaksabaran, tapi juga ketidaksabaran ideologi. Demikianlah mereka tak tumbuh jadi kekuatan politik. Mereka jadikan kekerasan sebagai substitusi—bukan kelanjutan—kerja politik untuk menang.

Darah tumpah, kebencian meraja. Yang terjadi di Mesopotamia itu adalah pembunuhan yang kembali purba—sebelum politik, sebelum orang ramai menyatakan hasrat untuk bebas dari luka zaman.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus