Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda yang lahir sebelum 1980-an tentu mengenal SDSB dan Porkas, dua jenis undian berhadiah di zaman Orde Baru.
Sesuai dengan namanya, SDSB atau Sumbangan Dana Sosial Berhadiah merupakan kupon berhadiah bagi para pembelinya. Kuponnya mirip voucher. Di dalamnya tertera nomor seri dan angka. Meski berbau judi, kupon SDSB itu resmi atau legal. Sebab, penyelenggaranya pemerintah, di bawah Kementerian Sosial. Kuponnya bisa dibeli di agen penjualan resmi dan di sub-agen di pinggir jalan. Pengundian kupon dilakukan pukul 00.00 sepekan sekali. Adapun Porkas juga judi yang dilegalkan pemerintah Orde Baru. Dalihnya sebagai dana untuk membantu kegiatan olahraga di Tanah Air. Seperti SDSB, Porkas diundi sepekan sekali—lewat televisi dan radio.
Karena protes keras dari umat, akhirnya pemerintah menutup SDSB dan Porkas. Namun keduanya tidak benar-benar tamat. Para penggemar judi kini masih bisa mengundi nasib dengan membeli togel atau toto gelap. Sesuai dengan namanya, togel dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Sebenarnya aparat kepolisian sudah menangkapi penjualnya, tapi togel masih saja marak di tengah masyarakat.
Orang tua melarang saya membeli SDSB, Porkas, dan togel. “Berapa pun banyaknya uang hasil judi seperti SDSB, Porkas, dan togel, pasti akan cepat habis. Sebab, itu uang panas,” kata bapak saya.
Frasa “uang panas” itu menancap di otak saya hingga sekarang. Karena penasaran, saya pun membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV untuk mencari takrif “uang panas”. Menurut KBBI, “uang panas” adalah “uang yang diperoleh dengan mudah atau dengan jalan yang tidak sah”. Saya pun mendapat jawaban kenapa Ayah mengharamkan SDSB, Porkas, dan togel. Sebab, uang hasil tiga jenis judi itu didapat dengan mudah, tanpa kerja keras dan keringat. Kita cukup menebak nomor dan menunggu keberuntungan.
Di bawah lema “uang panas”, KBBI menjelaskan secara detail beberapa istilah yang tidak bisa dipisahkan dari pengertian “uang panas”, antara lain “uang pelicin” atau “uang yang diberikan secara tidak resmi kepada petugas yang berwenang untuk memperlancar urusan”. “Uang pelicin” berkelindan dengan “uang pelincir”, “uang pelumas”, “uang semir”, “uang sogok”, “uang suap”, dan “uang tempel”. Juga ada “uang siluman” untuk menyebut “biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha (perusahaan dan sebagainya) di luar biaya resmi dan biasanya bersifat rahasia”.
Sekali lagi, semua istilah yang merujuk pada perilaku koruptif itu menghasilkan “uang panas”, yang tidak berkah dan membuat hidup pelakunya susah. Para koruptor yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena “uang panas”, misalnya, harus menikmati pengap dan panasnya hotel prodeo.
Istilah “uang panas” tidak muncul begitu saja. Sejarah “uang panas” sudah ada sejak abad kedelapan. Tepatnya saat Umar bin Abdul Aziz bertakhta sebagai khalifah pada 717-720. Kisah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat masyhur, terutama soal keteladanan. Semua orang mafhum, ketika cicit Khalifah Umar bin Khattab itu memerintah, rakyatnya hidup sejahtera. Tidak satu pun dari mereka berstatus mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Sang Khalifah juga tidak memberikan toleransi terhadap perilaku kolusi, korupsi, dan nepotisme—tanpa kecuali bagi keluarga besarnya sendiri.
Syahdan, suatu ketika bibi Khalifah Umar mendatanginya. Merasa punya keponakan yang sedang menjadi pejabat tinggi, si bibi meminta hak lebih dari yang seharusnya didapat dari kas negara. Khalifah Umar langsung beringsut. Dia masuk ke rumah dan mengambil satu dirham uang perak. Tak lama kemudian, dia bakar uang logam itu. Setelah dirasa cukup panas, dia bungkus uang itu dengan sehelai kain, lalu dia berikan kepada bibinya. “Inilah hak tambahan yang Bibi minta,” kata Khalifah Umar.
Sang bibi girang. Dia bergerak cepat meraih bungkus-an berisi uang itu. Namun betapa kagetnya dia. Saat menerima bingkisan tersebut, tangannya merasakan panas yang sangat tinggi. “Kalau api di dunia terasa panas, bagaimana dengan api di akhirat yang kelak akan membakar saya dan Bibi karena telah menyelewengkan harta baitul maal (kas negara) yang tak lain adalah harta kaum muslim?” kata Khalifah Umar.
Tidak begitu jelas apakah ada kisah seperti itu sebelumnya. Yang pasti, kisah “uang panas” Khalifah Umar dan bibinya itu bisa dijadikan inspirasi. Jangan sekali-kali kita mendekati, memegang, apalagi memakan “uang panas”. Sebab, selain tidak ada keberkahan darinya di dunia, baranya sudah menunggu kita di akhirat kelak.
*) Sastrawan, wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo