Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

BPPN dan Nasib 20 Debitur Kakap

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kredit macet bank pemerintah sampai kini masih merupakan masalah besar. Jumlahnya semula diperkirakan oleh Bank Indonesia sekitar Rp 145,6 triliun (52 persen dari Rp 280 triliun), kemudian susut menjadi Rp 130 triliun, tapi terakhir dinyatakan hanya Rp 100 triliun. Penyusutan itu tentu perlu dipertanyakan, tapi kini yang lebih mendesak ialah bagaimana mencari jalan keluar dari tekanan kredit macet yang sedemikian besar. Dalam kaitan itu, Asset Management Unit (AMU), yang ditugasi mengelola kredit macet, kini banyak dilirik orang. Lembaga yang berada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini banyak dilirik karena kepentingan pemerintah, debitur, dan para calon investor bermuara di sana. Terlebih hari-hari ini. Sebab, berdasarkan memorandum antara pemerintah Republik Indonesia dan IMF?ditandatangani 16 Maret 1999?lembaga keuangan dunia itu membuat rekomendasi agar bank-bank pemerintah mengajukan gugatan pailit terhadap 20 debitur kakap. Gugatan pailit dijadwalkan 30 April 1999, yang berarti tidak sampai satu minggu dari sekarang. Sikap keras IMF mungkin bisa ditafsirkan sebagai upaya mengimbangi sikap ragu-ragu pemerintah Indonesia, terutama dalam melaksanakan restrukturisasi perbankan. Tapi, kalau disorot 20 nama debitur terbesar itu, sikap keras IMF terasa wajar-wajar saja. Mereka tidak asing bagi kita semua. Sebut saja beberapa nama: Bambang Trihatmodjo, Hutomo Mandala Putra, Prajogo Pangestu, Hashim Djojohadikusumo, Sudono Salim, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Bos Bimantara, Bambang Tri, menempati posisi teratas daftar 20 debitur kakap, disusul adiknya, Hutomo Mandala Putra. Kedua anak mantan presiden Soeharto ini menanggung kredit macet yang sebagian terbenam di proyek olefin Chandra Asri dan proyek mobil nasional: Timor. Baik olefin maupun mobnas adalah proyek mercu suar yang sejak Soeharto lengser menjadi terombang-ambing dan tak jelas nasibnya. Mungkin masih segar dalam ingatan pembaca tentang silang pendapat seputar bisnis anak-anak Soeharto yang marak pada akhir 1980-an. Pandangan paling optimistis yang berkumandang waktu itu memberi pembenaran bagi bisnis Cendana sebagai upaya membangun kekuatan pengusaha pribumi. Pandangan ini, selain cukup dominan, juga sangat berbau politis dan menggampangkan persoalan. Kini, cara yang cenderung menggampangkan bisa saja terulang dalam menyelesaikan kredit macet anak-anak Soeharto dan para kroni mereka. Disebut menggampangkan, sebab gugatan pailit tentu sepenuhnya terpulang pada keputusan pengadilan niaga. Bukan mustahil keputusan itu lagi-lagi menguntungkan debitur; beberapa kasus menunjukkan bahwa hal itu sangat mudah dilakukan oleh hakim pengadilan niaga yang kabarnya selalu siap untuk "main mata". Kasus kekalahan Bank Niaga dari Suryamas Duta Makmur?kemudian, di tingkat kasasi, Bank Niaga dimenangkan oleh Mahkamah Agung?membuktikan hal itu. Andaikata rekomendasi IMF dituruti, dan juga andaikata dalam penanganan kasus 20 debitur kakap dipilih para hakim yang tahan suap dan punya integritas, tak bisa lain keputusannya tentu memailitkan berbagai perusahaan Cendana dan kroni mereka. Ini berarti bank-bank BUMN akan menguasai aset perusahaan mereka. Dan kalau itu belum cukup, aset pemilik perusahaan semestinya bisa disita juga. Namun, pihak mana yang bisa menjamin bahwa segala sesuatu akan terlaksana sesuai dengan hukum yang berlaku? Kekhawatiran ini perlu diperhatikan, terutama kalau pemerintah menghendaki agar megadana yang mereka kucurkan tidak sama sekali amblas. Keberhasilan "menyelamatkan kredit macet" itu juga akan berkaitan dengan kemampuan bank-bank BUMN menyehatkan struktur modalnya agar masuk kategori B dan kemudian menyetor 20 persen dari modal agar mencapai CAR 4 persen. Kalau target itu tidak tercapai, bank BUMN yang gagal memenuhi syarat rekapitalisasi akan diambil alih oleh BPPN. Sampai pada titik ini terlihat, baik masalah kredit macet bank pemerintah maupun nasib bank BUMN itu sendiri, keduanya bertumpu pada BPPN, sebuah lembaga yang baru dibentuk pada Februari 1998 dan mempekerjakan 200-an karyawan. Majalah Fortune pernah menyebutkan bahwa Ketua BPPN, Glenn Yusuf, adalah tokoh yang kini paling berkuasa di Indonesia. Fortune tidak mengada-ada. Sebab, Glenn yang berumur 44 tahun itu diserahi tanggung jawab sangat besar: mengelola dan menyelamatkan aset bank-bank?baik pemerintah maupun swasta?senilai Rp 316,5 triliun. Masa kerja BPPN ditetapkan lima tahun, wewenangnya cukup besar, dan targetnya: menyehatkan perbankan nasional, sedangkan target jangka pendek adalah mencairkan aset bank-bank senilai Rp 17 triliun yang akan digunakan untuk membiayai setengah dari program rekapitalisasi. Masalahnya kini: mampukah BPPN melaksanakan tugas besar itu? Di atas kertas seharusnya BPPN mampu. Sebab, berdasarkan PP No. 17/1999, lembaga ini berwenang menyita aset secepatnya, tanpa menunggu keputusan pengadilan. Tapi ini mungkin alternatif terakhir yang akan digunakan. Hanya, kalau mau dicek kebolehan BPPN "merawat" bank-bank sakit, itu bisa dilihat pada dua bank swasta: BCA dan Danamon, yang tampaknya sudah bugar lagi. Beberapa bank yang dibekukan, konon, berkasnya sedang disiapkan untuk diserahkan ke kejaksaan. Dan kini yang mendesak adalah masalah kredit macet bank-bank BUMN sebesar Rp 100 triliun. Diduga, BPPN akan menjadi ajang pertarungan yang ketat antara sejumlah petinggi, para debitur kakap, dan para investor yang mengincar aset-aset yang dikelolanya. BPPN bisa mengalihkan utang menjadi saham, atau dapat juga menawarkan aset tersebut kepada para investor, atau mungkin juga menempuh jalan lain lagi?tapi semuanya memang tidak gampang dan tidak boleh pula digampangkan. Termasuk dalam hal yang disebut terakhir ini: adanya kemungkinan BPPN tunduk pada kepentingan pihak tertentu, suatu moral hazard yang dampaknya bukan saja akan meminimalkan keberhasilan dari restrukturisasi, tapi juga akan mendorong IMF untuk kesekian kali memperlihatkan "taring"-nya. Pilihan yang berat, bagi BPPN dan juga pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus