Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang kita lihat dan terjadi beberapa bulan terakhir di negeri ini sangat memprihatinkan. Dari kasus penculikan aktivis, Trisakti, Banyuwangi, Semanggi, Aceh, dan masih banyak lagi sederetan kasus lain yang sampai sekarang tak ada satu kasus pun yang diselesaikan. Dari itu semua, timbul tanda tanya besar di kalangan masyarakat luas, seberapa besar niat pemerintah menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan obyektif. Saya sendiri meragukan bahwa ada niat itu pada pemerintah yang sekarang.
Terlepas dari hal itu, saya melihat bahwa manajemen konflik yang dipraktekkan baik oleh Soeharto maupun Habibie tidak ada perbedaan. Atau, meskipun ada, sama sekali tidak menyentuh substansi permasalahan dan hanya terkesan menghibur kaum reformis. Keduanya, Soeharto-Habibie, lebih memilih jalan untuk memetieskan kasus-kasus yang mempunyai bobot menyudutkan pemerintah, dibandingkan mencari penyelesaikan kasus tersebut lewat jalur hukum, yang tentunya secara obyektif, tanpa mengambinghitamkan orang lain.
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, sederatan kasus sepanjang Orde Baru yang sampai detik ini pun belum tersentuh hukum. Kasus Tanjungpriok, Sampang, Santa Cruz, Aceh, Lampung, dan belum lagi ditambah kasus-kasus selama era reformasi. Disadari atau tidak, sebenarnya dengan membiarkan kasus-kasus tersebut berlarut-larut, apalagi memetieskan, hal itu hanya akan menimbulkan api dalam sekam. Pada saatnya nanti, semua itu akan menyebabkan ledakan dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk revolusi sosial atau pemberontakan. Bahkan, kenyataan pahit lainnya adalah keinginan daerah-daerah untuk memisahkan diri dari Indonesia, seperti apa yang terjadi saat ini di Timor Timur. Bukan satu hal yang tidak mungkin akan menyusul pula daerah lain seperti Aceh, Irianjaya, dan Ambon, sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap apa yang mereka terima selama ini, baik dari sisi hukum (keadilan) maupun ekonomi (eksploitasi kekayaan daerah ke pusat).
Yugoslavia, yang dulu kita kenal sebagai sebuah negara, sejak era 1990 sampai saat ini telah terpotong-potong menjadi 9 negara kecil dan sampai saat ini pun konflik tersebut masih terus berlangsung. Bila kita cermati, ada sedikit kesamaan antara konflik yang terjadi di Yugoslavia dan yang terjadi di Indonesia, yaitu pertentangan SARA, lebih spesifik lagi adalah masalah agama antara muslim dan kristiani.
Karena ini adalah masalah yang sensitif yang diembuskan sang dalang kerusuhan demi kepentingannya, dalang yang dimaksud harus segera ditangkap. Pemerintah harus mempunyai keberanian menangkap sang dalang.
Akankah Indonesia menuju ?Balkanisasi?? Jawabannya adalah sampai sejauh mana kesungguhan penguasa negeri ini mempunyai niat yang tulus untuk menjalankan amanat rakyat yang dipercayakan atas dirinya. Bahkan lebih jauh lagi bagaimana rakyat (melalui MPR) mampu memilih seorang pemimpin yang mempunyai integritas moral yang tinggi kepada rakyat dan Tuhannya, di samping pengalamannya di bidang pemerintahan.
Budi Murdiyantoro
11, Sun Shines Building 78B
Dr. Annie Beasant Road 400 018
Worli-Bombay, India
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo