Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POPULISME adalah taktik politik generik sekaligus paling menggoda dari zaman ke zaman. Dulu ia dilekatkan pada metode politik orang kuat di negara-negara Amerika Latin, Afrika, atau Asia yang demokrasi dan sistem politiknya rapuh. Kini, setelah naiknya kaum kanan di Eropa dan Donald Trump di Amerika Serikat, populisme menguat bahkan di negara-negara yang sistem kepartaiannya kuat dan demokrasinya matang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, sejarah kepemimpinan politiknya adalah sejarah jatuh-bangun populisme: populisme Sukarno yang khas dengan retorika “penyambung lidah rakyat” serta populisme pembangunan Soeharto yang didaku sebagai “petani dari Dusun Kemusuk dan bapak pembangunan” yang meredup sebentar di era Reformasi hingga era Susilo Bambang Yudhoyono, tapi menguat kembali di era Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Populisme bisa digunakan secara lentur. Persis sebagaimana dikatakan Jan-Werner Müller: ketika di luar kekuasaan, populis akan menentang institusi formal politik. Namun, ketika di dalam kekuasaan, para pemimpin populis akan mengklaim institusi-institusi sebagai miliknya.
Aksentuasi populisme Jokowi telah dimulai sejak awal kekuasaannya. Ia dinarasikan sebagai orang dari bawah, di luar lingkaran elite lama Indonesia, dan memikat lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga lapisan kelas menengah Indonesia. Semboyan di tahun 2014, “Jokowi adalah kita”, yang dimobilisasi kelompok-kelompok relawan di luar partai, secara eksplisit menegaskan pendirian populismenya. Pada periode ini, populismenya diproduksi sebagai suplemen pendamping institusi formal partai untuk memenangi posisi presiden.
Dalam pidato pada 14 Oktober 2023 di depan Relawan Projo, Joko Widodo mengatakan: “Kadang-kadang saya mendengarkan politik kita ini, kok ribet banget, ya. Padahal yang menentukan kemenangan itu adalah rakyat. Kedaulatan di tangan rakyat, yang nantinya mencoblos juga rakyat. Yang menentukan kemenangan juga rakyat.” Ia mempertentangkan “politik yang ribet” vis a vis kedaulatan rakyat. Apa maknanya?
Rakyat dan kedaulatan rakyat adalah retorika khas seorang populis. Ia biasanya disampaikan sebagai bagian dari mobilisasi dukungan nonformal. Melalui pidato itu, Jokowi tengah mendayagunakan politik nonformal untuk menantang kelembagaan politik formalnya.
Sindirannya tentang “politik kok ribet” ditujukan kepada bekas partainya sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dia ingin mengatakan kekuasaan politik bisa ditempuh melalui dua jalur: formal dan informal, bila perlu. “Jika partai tidak mendukung saya, saya punya peralatan lain.” Di titik ini, berbeda dengan periode pertamanya yang menggunakan populisme sebagai suplemen partai, di periode kedua kekuasaannya, populisme ia gunakan untuk membesarkan kekuatan informal (relawan/rakyat) guna meminggirkan yang formal (partai).
Kata Nadia Urbinati, populisme harus dimengerti sebagai bentuk representasi politik yang basisnya adalah hubungan langsung antara si pemimpin dan mereka yang didefinisikan sebagai “right” atau “good” people (Urbinati, Me The People, Harvard University Press, 2019). Itu sebabnya narasi dan opini publik selalu diarahkan untuk memobilisasi kekuatan nonformal. Dengan cara itu, ia membangun sentimen antielitisme yang parsial. Populisme terkesan antielite tertentu sambil mencari dukungan dari elite yang lain.
Jokowi menikmati kekuasaan populis dengan basis dukungan sosial dari kelompok politik yang bersifat lintas kelas, termasuk dari kelas menengah yang memberinya semacam cek kosong kekuasaan. Ini membuatnya memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan partai-partai politik, termasuk di hadapan partainya sendiri. Dengan itu pula ia mendulang dukungan dari partai-partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Dia secara mulus mengegolkan undang-undang kontroversial, seperti omnibus law Cipta Kerja dan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), serta mengubah dan memperlemah otonomi Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini belum termasuk penguasaan lembaga-lembaga hukum yang dimanfaatkan secara produktif untuk mengakumulasi kekuasaannya. Ini yang menjadi modal politik Jokowi mereproduksi kekuasaan dan memperpanjang pengaruhnya dalam komposisi elite setelah Pemilihan Umum 2024.
Kekuatan populis ini pula yang menyulitkan PDIP dalam Pemilu 2024. PDIP adalah partai besar yang banyak memenangi pemilu legislatif. Karena itu, ia terlampau percaya diri dengan kekuatan basis dan pendiriannya. Justru dengan kepercayaan itu, PDIP sering mengambil sikap taken for granted. Di sini PDIP lengah dalam memahami kemunculan populisme Jokowi. Penggunaan relawan, penihilan kelembagaan formal, serta mobilisasi dan industri opini publik sebenarnya adalah tanda bahwa Jokowi telah membangun kekuatan sendiri di luar PDIP.
Ketika PDIP masih terombang-ambing dalam dilema memposisikan Jokowi, ia secara determinan memperluas basis populisnya dan memastikan kepentingannya di 2024. Berlama-lama tertahan dalam dilema membuat PDIP immobile dalam menghadapi pemilihan presiden 2024. Dari segi ini, bahkan sebelum hari pencoblosan Pemilu 2024, sesungguhnya Jokowi sudah memenangi satu langkah pertarungan.
Pemilihan presiden 2024 diwarnai pertarungan politik yang berpusat di luar para kandidat. Salah satu sebabnya, Jokowi sejak awal menggeser pemilihan presiden agar mengarah kepadanya melalui pencalonan anaknya sebagai wakil presiden. Kini, setelah Mahkamah Konstitusi mengetuk palu yang memberikan justifikasi bagi dimulainya era presiden baru, muncul pertanyaan: sejauh mana populisme Jokowi masih akan berpengaruh dalam kepolitikan di masa kepemimpinan Prabowo Subianto?
Ada elemen-elemen dalam populisme Jokowi yang secara politik menguntungkan pemerintahan Prabowo di masa depan. Meskipun demikian, warisan populisme Jokowi juga akan berkonflik dengan rasionalitas politik dan ekonomi Prabowo.
Pertama, setiap pemerintahan baru selalu mengangankan kabinet konsosiasional guna menghasilkan pemerintahan kuat yang didukung semua kepentingan. Karena itu, Prabowo memerlukan PDIP. Di titik ini, populisme Jokowi akan menghadapi keterbatasan: informalismenya tidak bisa menggantikan kekuatan formal-institusional partai di DPR. Apalagi ia sudah tidak lagi memiliki sumber daya politik yang cukup untuk terus menggerakkan politik “ekstra-parlementer”.
Sikap PDIP yang kukuh akan menghasilkan pilihan terbatas bagi Prabowo: Megawati Soekarnoputri atau Jokowi? Kekuatan PDIP di DPR dan sejarah panjang kedekatan Prabowo dengan Megawati terlampau berharga bila diabaikan.
Kedua, kombinasi keterbatasan ekonomi dan politik global yang tak menentu membuat Indonesia tak memiliki kemewahan finansial untuk mempertahankan proyek-proyek grandeur seperti IKN. Prabowo akhirnya harus memilih program utama: IKN atau makan siang gratis.
Urbinati mengingatkan, berdasarkan pengalaman Eropa, populisme yang dibiarkan membesar akan merusak demokrasi dan pelembagaan politik. Lantas bagaimana ia bisa dilampaui? Salah satu cara menghadapinya adalah menegakkan formalisme dalam praktik demokrasi dan prinsip-prinsip mendasar politik ketatanegaraan.
Di sini, front pertama yang mesti dikukuhkan adalah konstitusionalisme. Selain itu, untuk konteks Indonesia, yang demokrasinya banyak ditopang oleh kerja civil society, organisasi ini memerlukan pendekatan baru dalam berelasi dengan pemerintahan Prabowo. Civil society harus menemukan dan menggunakan metode yang tepat untuk bernegosiasi dengan rezim yang sedang terbentuk sehingga tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setelah Populisme Jokowi"