Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISRUH berulang aturan impor menjadi petunjuk bahwa penyusunan kebijakan pemerintah tak melalui kajian komprehensif. Bukannya memperkuat industri dalam negeri, pembatasan impor malah menyulitkan produsen berbagai jenis barang sehingga bisa memicu krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023, pemerintah memberlakukan larangan dan/atau pembatasan alias lartas untuk 2.110 pos tarif atau jenis barang yang diimpor. Aturan ini juga memperketat pengawasan dan membatasi barang bawaan penumpang pesawat dari luar negeri, termasuk para buruh migran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuannya mulia: menekan arus impor yang terus membeludak dan cenderung merugikan produsen dalam negeri. Namun dampak kebijakan ini berkebalikan dengan tujuannya, yaitu kelangkaan berbagai jenis barang, termasuk bahan baku untuk industri tertentu, sehingga menyulitkan produsen dalam negeri.
Aturan ini pun menuai protes baik dari pelaku usaha maupun anggota masyarakat yang dirugikan. Dampaknya, pemerintah kalang kabut dan terpaksa menerbitkan aturan perubahan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024, pada pertengahan Maret lalu. Peraturan ini mengurangi jumlah barang yang terkena lartas menjadi 2.098 pos tarif atau jenis barang. Ketentuan tentang barang bawaan penumpang pun dilonggarkan seperti sebelumnya.
Alih-alih membereskan masalah yang timbul, regulasi baru ini kembali menuai protes dari pelaku industri lain yang kepentingannya tak terakomodasi.
Masalah terbaru adalah protes dari produsen terigu yang terancam berhenti beroperasi karena kelangkaan premiks fortifikan atau bahan pengaya. Karena premiks fortifikan terkena lartas, stok bahan campuran terigu ini langka. Jika tak ada perubahan kebijakan, pada Mei mendatang banyak produsen terigu yang bakal berhenti beroperasi. Dampaknya, pasokan tepung terigu untuk konsumsi masyarakat dan industri makanan akan langka.
Dari serangkaian aksi bongkar-pasang regulasi itu bisa dilihat bahwa mekanisme penyusunan aturan impor oleh Kementerian Perdagangan tak dilakukan dengan kajian yang memadai. Niat membatasi impor untuk melindungi produsen dalam negeri malah menjadi bumerang dan bahkan bisa memicu krisis. Kelangkaan bahan pangan seperti terigu bakal berdampak panjang, antara lain melejitnya angka inflasi. Lonjakan harga pangan bakal memperparah kondisi saat ini, ketika kita dihadapkan pada melemahnya nilai rupiah dan kenaikan suku bunga.
Di sisi lain, desain aturan impor yang diikuti aksi bongkar-pasang setelah muncul protes memunculkan dugaan lain: jangan-jangan pembatasan impor dirancang untuk membuka ruang praktik suap dan korupsi. Sudah seperti menjadi kebiasaan bahwa pengetatan impor diikuti penyelewengan atau kongkalikong antara importir dan aparatur pemerintah. Sejumlah kasus korupsi muncul lantaran adanya main-main dalam regulasi impor. Salah satunya perkara impor garam periode 2016-2022 yang menyeret tiga pejabat Kementerian Perindustrian.
Data Tim Nasional Strategi Nasional Pencegahan Korupsi atau Stranas PK menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak menerapkan pembatasan impor. Sebagai contoh, pada 2024 Indonesia menerapkan lartas pada 7.200 barang atau 63,16 persen dari total 11.415 pos tarif atau barang yang beredar. Menurut tim gabungan lima lembaga itu, banyaknya pembatasan menyebabkan proses perizinan lebih panjang dan rumit sehingga memperbesar potensi korupsi.
Jika tak ada perbaikan, tak salah jika muncul dugaan bahwa aturan impor memang dirancang untuk menyuburkan suap dan korupsi.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bumerang Pembatasan Impor Barang"