Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari mana datangnya Golkar

Sejarah berdirinya Golkar. ABRI bersama orde baru mendirikan Golkar untuk melawan PKI yang mendominasi kehidupan politik. kini masyarkat mulai kritis. kepemimpinan sipil di Golkar tak perlu dipermasalahkan.

8 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA suatu fenomena politik yang sangat menarik pada tahun 1993 ini. Yakni meningkatnya dinamika kehidupan politik yang diwarnai oleh beberapa kejadian yang memberikan pertanda kehidupan demokrasi. Dan ini kiranya kian semarak pada masa mendatang, ke arah yang dikehendaki masyarakat banyak. Demokrasi semarak bukan karena semakin banyaknya unjuk rasa sebagai cermin ketidakpuasan beberapa masyarakat terhadap pemerintah. Yang lebih menarik, perhatian masyarakat semakin besar terhadap events yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi. Sebagai contoh, terhadap Munas Golkar dan Kongres PDI. Masyarakat sudah menyadari adanya hak kontrol atas setiap kegiatan yang menyangkut nasib mereka. Hal ini merupakan suatu gejala yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat juga dibaca sebagai suatu kenyataan bahwa pembangunan nasional selama ini (Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama) telah berhasil meningkatkan kesadaran politik rakyat, terutama kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Rakyat semakin kritis terhadap keputusan apa pun, baik pada tingkat infrastruktur (organisasi sosial politik) maupun pada tingkat suprastruktur (pemerintah). Terutama bila prosesnya mereka anggap kurang mengikuti norma-norma demokrasi. Sifat kritis rakyat yang didasari oleh kegandrungan berdemokrasi itu tidaklah terbatas pada apa yang terjadi hari ini saja. Mereka telah pula mempertanyakan konsep-konsep politik masa lalu dan relevansinya untuk masa kini dan masa mendatang. Konsep-konsep yang dipertanyakan itu antara lain dwifungsi ABRI, konsep pendekatan keamanan, dan konsensus nasional (untuk tidak mengubah UUD 1945), di samping masalah hak asasi manusia. Bahkan, lebih dari itu, konsep integralistik Supomo telah digugat pula karena dianggap sebagai penyebab keadaan sekarang yang mereka rasakan kurang demokratis. Yang menjadi fokus perhatian rakyat banyak selama tahun 1993 adalah Munas Golkar di Jakarta dan Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya. Dari perspektif demokrasi, kedua peristiwa ini mendapat apresiasi yang berbeda dari masyarakat yang sudah sadar politik. Yang pertama, soal Munas Golkar. Ini dinilai lebih berori entasi ke "arus atas" (birokrat) sehingga terkesan bahwa Munas kurang demokratis. Sebaliknya, Kongres PDI di Surabaya dinilai lebih berorientasi ke "arus bawah", yang memberi kesan lebih demokratis. Namun, di sini Kongres tercoreng oleh ambisi dan kepentingan pribadi dari beberapa oknum elite kepemimpinan PDI sendiri. Apresiasi masyarakat di atas sangat positif bagi PDI dalam menghadapi pemilu yang akan datang. Namun, bagi Golkar, perlulah mawas diri sebelum menghadapi pemilu. Maka, pertanyaan bagaimana prospek Golkar setelah adanya pergantian kepemimpinan dari kelompok ABRI ke sipil sangatlah relevan. Adakah perubahan kecenderungan di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu ditelusuri sejarah perjuangan Golkar, termasuk sejarah pembentukannya. Golkar didirikan atas prakarsa Angkatan Darat atau ABRI untuk melawan dominasi PKI, yang sudah merasuk ke dalam kehidupan politik bangsa, dan mengancam Pancasila. Untuk menghadapi PKI, diperlukan organisasi-organisasi massa. Maka, pada tahun 1960 lahirlah SOKSI yang dipimpin oleh Soehardiman, Kosgoro oleh Mas Isman, MKGR oleh R.H. Sugandhi, dan lain-lain. Kemudian disusul dengan upaya selanjutnya, yaitu penggalangan dan penyatuan golongan fungsional nonpartai dalam organisasi yang diberi nama Sekretariat Bersama Golongan Karya Anggota Front Nasional (Sekber Golkar). Pada masa awal pembentukannya, yaitu pada tanggal 20 Oktober 1964 (yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Golkar), Sekber Golkar yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 beranggotakan 97 organisasi, yang kemudian berkembang menjadi 220. Sekber Golkar yang sudah menjadi kekuatan massa inilah yang pada peristiwa G-30-S/PKI dapat mengimbangi massa PKI dan sangat mendukung usaha-usaha ABRI untuk segera memulihkan keamanan. Setelah kekuatan fisik PKI dapat ditumpas, kesempatan telah dimanfaatkan oleh Sekber Golkar untuk mengonsolidasikan diri dengan mengadakan Mukernas I, tanggal 911 Desember 1965, dengan tema "konsolidasi organisasi dan partisipasi terhadap timbulnya Orde Baru". Acara ini kemudian disusul yang kedua, bulan November 1967, yang berhasil membentuk tujuh kelompok induk organisasi (kino): Kosgoro, SOKSI, MKGR, Profesi, Ormas Hankam, Gakari, dan Gerakan Pembangunan. Dalam usahanya melebarkan sayap ke seluruh Indonesia, telah dibentuk pula Sekber Golkar Tingkat I dan Tingkat II. Semua lapis dan jajaran organisasi itu umumnya dipimpin oleh ABRI. Tujuannya, tak lain, demi stabilitas politik dan keamanan, sebagai salah satu syarat melaksanakan pembangunan. Dalam Pemilu 1971, Sekber Golkar dengan tanda gambar Golkar telah meraih kemenangan. Dua minggu kemudian, pada tanggal 17 Juli 1971, melalui Musyawarah Sekber Golkar di Jakarta, nama Sekber Golkar diganti dengan Golkar. Keputusan lainnya adalah bahwa kino-kino mengintegrasikan diri, sehingga Golkar menjadi organisasi yang bersifat kesatuan walaupun belum perorangan. Organisasi Golkar pada Munas I semakin dikukuhkan sebagai wahana politik Orde Baru dan ABRI, dan telah berhasil meletakkan landasan yang kuat bagi perkembangan selanjutnya. Hal itu dibuktikan dengan posisi Golkar yang semakin kuat dari pemilu ke pemilu. Dan tak disangkal lagi, organisasi ini telah menjadi wadah aspirasi sebagian terbesar rakyat yang memilih, yang tentunya mendambakan kehidupan yang meningkat, menuju masyarakat adil dan makmur. Dari sejarah kelahiran Golkar seperti itu, ada beberapa informasi pokok yang perlu dicatat, yang berkaitan dengan prospek Golkar di masa mendatang. Pertama, tidak bisa disangkal bahwa Golkar dibentuk oleh ABRI untuk tujuan politiknya yakni melawan dominasi politik PKI yang anti Pancasila. Dalam perkembangannya, Golkar menjadi sarana politik ABRI dan Orde Baru untuk merombak kehidupan politik yang sama sekali baru dan berbeda dengan Orde Lama, yaitu memurnikan Pancasila dan UUD 45, dengan meniadakan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. De-ideologi partai menjadi sasaran utama karena perbedaan ideologi inilah yang menjadi sumber ancaman terhadap stabilitas. Lingkungan strategis, baik internasional maupun nasional, sangat mendukung Golkar, hingga memudahkan perjuangan organisasi itu. Pada tingkat nasional, Golkar dengan mudah menguasai masyarakat, dengan memanfaatkan psikologi masyarakat yang trauma PKI dan ingin perbaikan hidup. Golkar dan pemerintah Orde Baru dianggap sebagai pembebas dari ketakutan dan kemelaratan. Lain dengan saat-saat kelahirannya, Golkar saat ini berhadapan dengan situasi sosial yang mulai berubah. Sikap masyarakat terhadap Golkar dan terhadap pemerintah tidak lagi seperti di awal Orde Baru sampai tahun 1980-an. Akibat dari keberhasilan pembangunan, jumlah kaum terdidik semakin banyak dan menambah jumlah (kuantitatif dan kualitatif) golongan menengah yang tersebar di berbagai sektor kehidupan modern dan sebagian besar di daerah perkotaan. Golongan menengah inilah yang sering menyuarakan aspirasi politiknya secara sangat vokal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka berani berbeda dengan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, mereka tidak lagi sependapat dengan mekanisme Golkar dalam Munas Golkar yang lalu yang terkesan tak mandiri karena masih sangat bergantung pada karisma Presiden Soeharto. Dan juga, mekanisme pemilihan ketua umum pun mereka anggap kurang demokratis. Maka, disenangi atau tak disenangi, kritik-kritik tersebut dapat dijadikaan masukan yang baik bagi masa depan Golkar. Terutama bila ia mau tetap mempertahankan status single majority. Tuntutan demi terwujudnya sistem politik yang lebih demokratis menjadi tantangan bagi Golkar. Bila hal ini tak dapat dijawab, Golkar dapat kehilangan lebih banyak suara dalam pemilu yang akan datang. Untuk itu, suatu keharusan bagi Golkar untuk meninjau kembali organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, yang lebih mencerminkan partai politik yang mempunyai grass root pada arus bawah, dan tak semata-mata alat pemerintah. Oleh karena itu, pergantian kepemimpinan dari kelompok ABRI kepada kelompok sipil tidak akan menjadi masalah. Sebab, yang menjadi masalah pokok adalah masalah demokratisasi. Meskipun demikian, masih ada yang sangat hakiki, yang harus dihayati oleh setiap generasi penerus Golkar. Bahwa Golkar adalah prakarsa ABRI, sehingga akan jadi kesalahan fatal bila ada usaha-usaha untuk meninggalkan ABRI dari kehidupan Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus