PERBANKAN Indonesia dibuat bopeng wajahnya ketika bulan Mei tahun yang baru saja kita lewati meledak isu kredit macet yang mencapai belasan triliun rupiah. Ada yang menuding, biang keladi peristiwa keuangan yang besar itu adalah beleid uang ketat yang tiba-tiba dikeluarkan oleh otoritas moneter yang dulu. Maka, dalam Kabinet Pembangunan VI ini, keran kredit itu perlahan-lahan mulai dikendurkan lagi. Apakah persoalannya jadi selesai sampai di situ? Bagaimana dengan para debitur kakap itu, yang sampai sekarang masih dibiarkan bebas, tanpa dikenai sanksi yang berarti? Mampukah Bank Indonesia di bawah komandannya yang baru meratakan jalannya dunia perbankan yang hingga kini masih serbabenjol itu? Dr. Soedradjad Djiawandono, Gubernur Bank Indonesia, yang tampak bertambah banyak ubannya, bicara panjang, lebih dari sepekan silam, dengan wartawan TEMPO Bambang Aji dan Budi Kusumah. Beberapa petikan: Tentang kredit macet yang dialami bank pemerintah dan bank swasta. Ini salah satu tes bagi Kabinet Pembangunan VI. Tapi, asal Anda tahu, sebagian dari kejadian ini adalah kelanjutan dari apa yang terjadi dulu. Ini dimulai dengan Pakto 1988. Waktu itu, terjadi suatu boom di dunia perbankan. Apalagi dengan diturunkannya ketentuan cadangan bank dari 15% menjadi 2%, itu membuat pengusaha semakin mudah mendirikan bank, juga untuk mendapatkan kredit. Tapi akibatnya kan ekonomi jadi overheated, yang kemudian didinginkan oleh beleid uang ketat. Jadi, rem yang tiba-tiba dilakukan oleh otoritas moneter ketika itu terlalu pakem rupanya. Ya. Dan ini yang membuat bank-bank menjadi kelabakan. Selain harus menanggung biaya yang cukup besar, bank juga tidak bisa menagih piutangnya karena dunia usaha yang serbalesu setelah diberlakukannya beleid uang ketat. Seberapa jauh pedal rem itu sudah Anda tarik? Ya, itu yang pertama kali kami lakukan. Salah satu caranya adalah memperbaiki suasana perkreditan melalui Pakmei 1993, yang kemudian disusul dengan paket deregulasi di sektor riil. Hasilnya seperti yang Anda lihat, laju kredit sejak Juli lalu sangat pesat. Ini terjadi hampir di semua sektor, kecuali pertambangan. Itu tidak berarti sektor perbankan sudah sehat benar. Hingga kini situasinya boleh dibilang masih dalam rangka konsolidasi. Apa betul, ada anjuran dari otoritas moneter agar kredit macet itu dihapuskan saja? Tidak persis begitu. BI bersama Departemen Keuangan kan sudah membentuk satu tim khusus untuk menangani bank-bank pemerintah, dan satu lagi untuk perbankan swasta. Salah satu cara yang ditempuh adalah menganjurkan penghapusan atas kredit macet itu sendiri. Konsekuensi dari tindakan ini memang cukup berat. Sebab, bank yang bersangkutan harus menambah modalnya. Apakah kredit macet itu lalu dianggap hilang begitu saja? Oh, tidak. Nasabah yang berutang harus tetap dikejar agar mencicil utang-utangnya. Makanya, kami bekerja sama dengan instansi terkait, seperti Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Badan Pertanahan Nasional. Tujuannya, kami ingin merumuskan cara terbaik untuk mengatasi soal kredit macet ini selekasnya. Beberapa ide yang muncul dari pertemuan itu antara lain, kemungkinan dihidupkannya lagi gijzeling, atau lembaga yang menyandera debitur. Tapi, di sini banyak pro dan kontra, karena sebagian pihak tetap menganggap lembaga ini tidak manusiawi. Ada usul lain: membuat semacam peradilan khusus, yang memungkinkan eksekusi bisa dilakukan. Ini penting, sebab jika melalui peradilan biasa (apalagi jika ada banding dan kasasi), akan memakan waktu yang panjang. Tapi usul ini masih dalam tahap pembicaraan, belum final. Ada anggapan, beberapa debitur yang punya koneksi ke atas dilindungi. Apa betul begitu? Ha-ha-ha ..., tidak benar itu. Pemerintah juga tidak melindungi debitur yang nakal. Persoalannya, kami terikat oleh undang-undang yang mewajibkan perlindungan terhadap kerahasiaan nasabah, termasuk yang nakal-nakal itu. Terus terang, kami sangat setuju untuk mengusut tuntas para bankir yang terbukti berkolusi dengan nasabah. Wong, orang-orang itu merugikan negara. Kok, kredit macet bukannya berkurang malah bertambah besar? Ini memang pernah dipermasalahkan di DPR. Sebab, pertama kali kami mengumumkan bahwa jumlah kredit macet di bank-bank itu 2,7% dari total kredit yang disalurkan. Tapi kemudian angka itu berubah menjadi 3,3%. Tapi itu bukan lantas berarti masalahnya menjadi bertambah besar. Itu semata-mata hanya kolektivitasnya yang berubah. Di samping yang terselesaikan, ada juga kredit yang semula masuk dalam kategori piutang ragu-ragu kemudian ternyata menjadi kredit macet. Salah satu penyebab munculnya kredit macet yang begitu besar adalah karena lemahnya pengawasan BI terhadap bank-bank. Pendapat Anda? Jangan lupa, sejak Pakto 1988 bank tumbuh sebagai industri, dari 111 (sebelum Pakto) menjadi 232 bank. Begitupun kantor cabangnya, dari sekitar 2.500 menjadi 5.000. Belum lagi jika ditambah dengan BPR (bank perkreditan rakyat), total menjadi 8.000-an bank. Pertumbuhan ini berarti juga bertambah besarnya aset serta kredit yang disalurkan bank. Selain itu, kegiatannya juga kini makin canggih. Bank tidak lagi cuma sekadar menjadi lembaga penerima tabungan dan pemberi kredit, tapi lebih dari itu. Yang namanya promissory note, misalnya, dulu tidak sepopuler sekarang. Ditambah lagi kian membesarnya pasar modal, yang juga secara langsung terkait dengan kegiatan bank. Semua itu semakin mendudukkan porsi pengawasan dan pembinaan bank pada posisi yang penting. Itulah sebabnya di BI ada dua direktur pengawasan. Satu direktur untuk mengawasi bank-bank pemerintah dan swasta, satu lagi untuk bank nondevisa dan BPR. Ini jangan dianggap enteng, lo, sebab posisi kedua direktur ini setaraf dengan direktur jenderal. Mereka ini eselon satu. Lalu tentang lemahnya pengawasan tadi...? Ini memang semakin sulit karena menyangkut jumlah personel dan sistem. Kedua hal ini terus-menerus kami perbaiki. Mengontrol bank yang sekian banyaknya kan bukan perkara gampang? Kami harus menambah orang yang siap mengawasi, di samping memperbaiki sistem laporan yang dilakukan bank-bank agar mudah dianalisa. Kami juga melakukan pemeriksaan langsung. Nah, di sini kendala kekurangan pengawas terasa. Akibatnya, sebuah bank hanya satu kali dalam 1,5 tahun didatangi supervisor. Memang, memeriksa bank-bank kecil bisa dilakukan dalam waktu sepekan. Tapi bank besar seperti BRI butuh waktu berbulan-bulan. Kabarnya, BI telah menyuntikkan dana segar ke 18 bank yang terancam kolaps. Itu yang namanya isu. Itu tidak pernah terjadi. Bagaimana kami bisa mengambil kesimpulan seperti itu jika kami baru sampai pada tahap pengumpulan data. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap bank-bank itu menyangkut kualitas aktiva produktif yang secara rinci menggambarkan kredit yang disalurkan bank. Mulai dari yang lancar, kurang lancar, ragu-ragu, hingga yang macet. Hasil akhirnya masih dikonsolidasi. Setelah semua itu selesai, mungkin, kelak kami akan menetapkan sebuah aturan main baru. Misalnya sebuah bank yang memiliki tingkat kredit macet tertentu memerlukan sebuah tim khusus untuk menanganinya. Ya, semacam tim kredit macetlah. Jadi, apa saja langkah BI untuk menolong bank-bank pemerintah yang punya tagihan macet? Kami bisa melakukan berbagai tindakan untuk membantu. Misalnya BI bisa meminta suatu bank yang bermasalah agar melakukan merger atau akuisisi. Bisa juga kami meminta pihak lain untuk menyuntikkan dana. Kalau perlu BI yang menyuntikkan dana segar ke bank yang bermasalah. Lo, apa BI sudah tidak menabukan penyuntikan tersebut? Nanti dulu. Saya tadi hanya menyitir undang-undang. Perkara BI akan melakukan atau tidak, itu soal lain. Yang kami lakukan masih tetap cara yang biasa, yakni dengan memperpanjang KLBI (kredit likuiditas Bank Indonesia). Contohnya seperti yang terjadi di Bank Susila Bhakti. Di sana ada sejumlah KLBI yang diperpanjang. Suku bunga deposito sudah lama turun pada angka 8%13%, tapi suku bunga kredit masih saja tinggi. Ada yang menilai itu pertanda dunia perbankan tidak efisien. Jangan cuma melihat tingkat suku bunga deposito dengan tingkat bunga kredit, lantas mengambil kesimpulan bank tidak efisien. Sekarang tingkat bunga untuk kredit modal kerja sudah sampai ke titik rata-rata 18,30%, sedangkan untuk kredit investasi 16,5%. Ini sudah lebih bagus, karena lebih rendah dari sebelum terjadinya kebijakan uang ketat. Dan jangan cepat- cepat mengambil kesimpulan bank mengambil margin lebih dari 5%, sebab kenyataannya tidak begitu. Bahkan banyak bank yang mengambil margin 0,75% sampai 1% saja. Mengapa marginnya jadi serendah itu? Itu karena ada beberapa faktor, misalnya bank masih terlibat dengan sumber dana lama (berupa deposito) yang cost-nya sangat tinggi. Selain itu, overhead yang mereka tanggung juga cukup besar. Sementara bank pemerintah harus membayar gaji pegawainya yang begitu banyak, lain lagi bank swasta. Pegawainya sedikit tapi bayarannya mahal. Soalnya, demi kompetisi, mereka memakai manajer-manajer dari bank lain dengan gaji lebih besar. Hal lain yang juga menggerogoti margin adalah adanya ketakutan bankir kehilangan deposan utama, hingga mereka terpaksa memberikan bunga deposito yang lebih tinggi. Kalau tidak percaya, silakan mengecek. Prospek dan kebijakan keuangan di masa depan dalam jangka pendek? Saya kira, bunga masih akan mengalami penurunan. Begitupun kredit masih akan terus berkembang. Dan arah pembangunan tetap ditekankan pada penanaman modal. Dan ini jelas perlu saving yang cukup. Selama ini, masih ada gap antara tabungan pemerintah serta masyarakat dan investasi. Jadi, jelas, tabungan mesti diperbesar. Lantas, bagaimana pembiayaan bisa dilakukan? Ya, dengan mendatangkan PMA. Di samping itu, pasar modal juga masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya. Tentang pinjaman komersial, hal itu tetap akan dibatasi. Jadi, harus ada diversifikasi sumber dana, misalnya dengan emisi-emisi saham kita di luar negeri. Usaha seperti ini pada waktu-waktu mendatang akan semakin berkembang, dan BI, sebagai bank sentral, akan bertindak sebagai guide bagi dunia usaha Indonesia agar bisa menjadi pemain dunia. Bank Dunia mengkritik BI terlalu banyak menarik likuiditas dengan SBI. Padahal, akan lebih bagus jika dana itu dipinjamkan ke Pemerintah. Sebab, dengan demikian BI tak perlu mengeluarkan dana untuk membayar bunga. Itu semata-mata dilakukan untuk mengendalikan uang yang beredar agar tidak terjadi inflasi. Apalagi saat ini banyak uang yang masuk dari luar. Valuta asing itu kan dirupiahkan, yang berarti uang primer menjadi bertambah. Nah, jika rupiah yang dikeluarkan sudah melebihi permintaan, jelas BI harus mengambil tindakan. Habis, siapa lagi yang akan melakukan? Departemen Keuangan kan tidak punya wewenang mengeluarkan obligasi? Jadi, ya, BI-lah yang melakukan intervensi melalui perangkat SBI. Perlu Anda ingat, uang yang masuk ke bank sentral itu bukan duit lagi namanya. Masyarakat juga ingin tahu ihwal utang BPPC ke BI. Apa sudah beres? Oh, yang sekitar Rp 700 miliar. Itu sudah selesai. Semula, BDN sebagai bank perantara berniat membayar dengan SBPU (surat berharga pasar uang), tapi kami tidak mau terima. SBPU itu kan jangkanya satu tahun. Entah uang dari mana, BDN akhirnya membayar tunai tanggal 30 September lalu, lengkap dengan bunganya. Jadi, kini urusannya tinggal antara BDN, BPPC, dan Gudang Garam. Satu lagi, tentang penyelesaian Bank Summa oleh investor baru. Saya belum mau omong soal ini karena belum final. Yang penting kalau benar ada pengusaha yang tertarik, ya silakan. Asalkan diingat syaratnya: selesaikan semua kewajiban Bank Summa, termasuk utang ke BI, nasabah, dan antarbank. Jadi, dia harus membawa masuk dana segar. Apa dana segarnya datang dari bank pemerintah? Harus benar-benar segar, dong. Jangan pinjam dari bank-bank pemerintah lagi. Sebab, kalau pinjam dari bank pemerintah, akibatnya tetap panjang. Bisa-bisa Bank Summa hidup lagi, tapi bank pemerintah yang meminjami jadi kedodoran. Nah, jika syarat itu terpenuhi, terserah pengusaha yang bersangkutan, mau diapakan bank itu. Saya sudah pusing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini