Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Dari Mana Datangnya ’Tuan’

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joss Wibisono
Penyiar radio Nederland di Hilversum, Belanda

ADA baiknya tulisan ini diawali dengan dua larik syair lagu Juwita Malam, karya Ismail Marzuki (1914-1958). ”Juwita malam siapakah gerangan tuan/Juwita malam dari bulankah tuan”. Kemudian dua larik lagi, kali ini lagu Aryati, masih karya komponis yang sama: ”Dosakah hamba mimpi berkasih dengan tuan/Ujung jarimu kucium mesra tadi malam”. Belum jelas kapan Ismail Marzuki menciptakan keduanya, mungkin pada 1930-an. Tapi apa arti kata ”tuan” pada dua lirik lagu di atas?

Sebelum menjawabnya, berikut ini kita tengok dulu pantun bahasa Melayu yang berusia lebih tua ketimbang lagu-lagu Ismail Marzuki tadi. Pertama, Kerengga di dalam boeloeh/Serahi berisi aer mawar/Sampai mesera di dalam toeboeh/Toean s’orang djadi penawar.

Kedua, Djika tida karna boelan/Masakan bintang timor tinggi?/Djika tida karna toean/Masakan abang datang kemari? Pantun ketiga: Kaloek toean djalan dahoeloe/Tjarikan saja daoen Kambodja/Kaloek toean mati dahoeloe/Nantikan saja di pintoe Soearga.

Tiga pantun di atas terhimpun dalam buku musik Maleische Liederen (Lagu-lagu Melayu), karya komponis Constant van de Wall (1871-1945) yang berdarah campuran Indonesia-Belanda. Walaupun baru terbit pada 1913, Van de Wall sebenarnya sudah selesai menggubah lagu bagi pantun-pantun itu pada 1906.

Sampai di sini kita tentunya mafhum bahwa kata ”tuan”, baik pada syair lagu-lagu Ismail maupun pada pantun yang dilagukan Constant, bukan berarti lawan dari ”nyonya”. ”Tuan” di atas berarti ”Anda”, mungkin dengan sedikit unsur pujaan. Kalau begitu, bagaimana dengan ”tuan” zaman sekarang yang adalah pendamping ”nyonya”? Bagaimana ”tuan” bisa sampai pada makna itu? ”Anda” jelas tidak berjenis kelamin, jadi bisa ditujukan kepada ibu (betina); bisa pula kepada bapak (jantan). ”Anda”, dengan kata lain, berjenis kelamin netral. Jadi bagaimana ”tuan” yang dulu berkelamin netral dan bukan pendamping ”nyonya” bisa ganti kelamin menjadi jantan? Kunci untuk memahami perubahan yang dialami ”tuan” ada pada tiga pantun yang melodinya diciptakan oleh Constant van de Wall. Pantun itu sudah ada pada abad ke-19.

Dalam kata pengantar Maleische Liederen, Constant van de Wall menyebut satu nama yang, menurut dia, berjasa membakukan ejaan bahasa Melayu. Itulah Charles Adriaan van Ophuysen (1854-1917). Anehnya, walaupun menyebut namanya, Van de Wall ternyata tidak menggunakan ejaan Van Ophuysen yang mulai berlaku pada 1901. Misalnya ia masih menulis kaloek dan bukan kalau; tida, bukan tida’ atau tidak. Pantun-pantun yang dilagukannya diambil dari kumpulan puisi bahasa Melayu yang dihimpun oleh orang Prancis, Aristide Marre, dalam buku Le monde poétique, revue de poésie universelle (1887).

Jika memuji upaya Van Ophuysen, mengapa Van de Wall menggunakan karya seorang Prancis pakar bahasa Melayu? Bisa jadi karena sampai saat itu baru karya Marre yang ditulis dalam abjad Latin. Maklum, pantun-pantun itu aslinya ditulis dalam aksara Jawi (Arab Melayu). Yang jelas, pada karya Marre, ”tuan” masih bermakna ”Anda”, makna aslinya. Jangan-jangan yang dilakukan Van Ophuysen lebih dari pembakuan belaka. Jangan-jangan ia juga sudah mengubah makna dengan, misalnya, memberikan jenis kelamin jantan pada kata yang aslinya berjenis kelamin netral.

Dugaan semacam ini bukan tanpa alasan. Charles Adriaan van Ophuysen adalah arsitek bahkan pencipta bahasa Melayu baku, bahasa yang kelak menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu seperti itu, menurut dia, ada di Riau, apa yang disebutnya Riouw Maleisch. Dengan pilihan ini, tersingkirlah bahasa Melayu lain yang digunakan di mana-mana, karena bahasa ini sudah merupakan lingua franca di Nusantara. Kerja Van Ophuysen juga erat berkaitan dengan upaya Belanda melebarkan kekuasaannya ke seantero Nusantara pada awal abad ke-20, selama periode Politik Etis.

Begitulah, yang disebut pembakuan memang tidak lebih dari penguasaan bahasa supaya rakyat penggunanya juga terkuasai. Langkah Van Ophuysen sendiri juga tidak konsisten. Ketika masih menjabat penerus Van Ophuysen sebagai guru besar sastra Melayu di Universitas Leiden, Henk Maier mencatat bahwa sebagai ilmuwan bahasa, Van Ophuysen sebenarnya lebih menyukai bahasa lisan orang Riau, karena lebih hidup. Tapi, ketika menjadi pejabat kolonial, Riouw Maleisch justru dipilih karena banyaknya naskah dalam bahasa ini yang dianggap puncak bahasa Melayu.

Itu berarti, demikian kesimpulan Maier, sebenarnya yang disebut Riouw Maleisch itu tidak pernah ada di dunia nyata, hanya ada dalam naskah. Ini cuma bahasa rekaan yang tidak (pernah) digunakan oleh siapa pun. Bahkan Henk Maier menyebut Riouw Maleisch sebagai ”tidak lebih dari mitos politik”. Tapi, berkat kekuasaan kolonial, Riouw Maleis menjadi apa yang disebut beschaafd Maleis, bahasa Melayu tinggi, sebagai lawan laag Maleis, bahasa Melayu rendahan. Yang terakhir ini antara lain untuk mencibir bahasa Melayu kalangan Tionghoa, karena mereka waktu itu dianggap mendominasi dunia percetakan dan penerbitan.

Pembakuan bahasa menyebabkan hilangnya bahasa yang tidak dibakukan. Dari tiga pantun Van de Wall, paling sedikit terlihat dua kata yang sekarang sudah tidak kita ketahui lagi maknanya. Tanpa membuka kamus, siapa masih tahu makna kata-kata kerengga dan serahi?

Pembakuan, tak pelak lagi, juga mengubah makna kata. Kata ”tuan” bisa dilihat sebagai salah satu sasarannya. Van Ophuysen sepertinya begitu ngebet menemukan padanan mijnheer atau meneer dalam Riouw Maleisch, sehingga ”tuan” harus menjalani dua kali operasi, ganti makna dan ganti kelamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus