APA yang terjadi, bila engkau masuk restoran di sela pepohonan, dan pesan telur dadar seharga 4 franc sedangkan uangmu cuma 11 franc, dan sisanya untuk tip para pelayan? Itulah yang terjadi pada diri Kornel Esti, orang Hungaria yang mau pulang ke negerinya dari Paris dan singgah di Zurich. Ia berjalan gontai di bawah awan musim semi berbintang, sementara bangsa Swiss sudah pada tidur dan duduk mencangkung di kaki patung Zwingli. Telur dadar itu tidak ada istimewanya - persis seperti gorengan ibunya sehari-hari. Kornel seperti tertidur, tapi bukan tidur - ia menangis tersedu-sedu, masih lapar bukan main, tersentak-sentak lemah dan pendek. Sandor Nagy, prajurit cadangan Resimen Lima Puluh Satu, berseragam biru dan bersepatu yang berat talinya. Hari Minggu ini ia kenakan pakaian sipil, bertemu dengan gadis pramuwisma bernama Vilma Jatab, jelita berambut cokelat kenari, bersih bagai seprei baru diangkat dari cucian, langsing seperti anak pohon cemara. Lelaki namanya, ia pun ternyata punya hubungan dengan putri majikan, sehingga Vilma asal Kalotaszeg yang polos penuh cinta itu merasa perlu lari sejauh-jauhnya dan enggan bertemu muka lagi. "Biarlah aku pergi, Tuan Nagy," katanya pada suatu hari. Sesudah menoleh sekali lagi, ia berjalan menuju lebuh yang gelap, menjinjing peti kayu berwarna hijau. Sejak saat itu Vilma Jatab tak pernah dilihatnya lagi, kapan dan di mana saja. Syahdan, seorang anak sekolah mendaki jalan di balik bukit siulannya lagu mars Jerman, tangannya berayun dengan gerakan lebar, seperti dirundung kantuk, memetik sekuntum bunga negerinya, Hungaria, dikenakan pada topinya. Sungguh riang ia melompat-lompat, seperti layaknya seorang badut, berguling dan melempar topi, bagai orang lepas kendali. Sesungguhnya musim semi sudah mengangkatnya tinggi-tinggi, dan menghadiahkan keriangan tak tepermanai. Tapi, malang sekali, ia jatuh terduduk di atas comberan, wajahnya merah lantaran malu, romannya merana dibasahi air mata. Ia berjalan menuruni bukit, rikuh, bimbang, seperti si pincang. Ya Tuhan, ia tentunya ingin lari, hingga menerobos Kota Budapest yang persis terbelah dua oleh sebatang sungai, bagai kue tarcis teriris sebilah lading keperak-perakan. Penulis cerita ini, Jozsi Jeno Teransky, mendalami cerah musim semi negerinya hingga ke bulu-bulunya, dan di sela-sela keindahannya yang merasuk, seorang anak bercengkerama lewat caranya sendiri. Adalah anak muda di negeri jantung Eropa, tutur Laszlo Kamondy. Ia tiarap di biduknya, dan seorang wanita, boleh jadi bernama Gyuri, datang mendekat dan bertanya apa gerangan pekerjaannya. Anak muda itu berseloroh: ia tukang gaet, atau boleh juga seorang pejabat gereja. Saat percakapan berlangsung antara keduanya, pohon-pohon pantai Balaton gemetar diguncang angin dari pelbagai penjuru, semak-semak menyuarakan peringatan, dan turunlah hujan bagai tabir kelabu, dilempar ke bawah dengan kekerasan dari satu ketinggian. Aku hanya ingin sebuah kecupan sehingga aku bisa masuk universitas, kata si anak muda. Walau mulanya hanya kecupan, ujung-ujungnya ia tidur setilam. Kedengarannya kisah biasa, tetapi sesudah suami wanita itu melemparkan mata uang lima forint sebagai upah mendayung, tahulah orang betapa banyak suami dungu semacam itu di bumi ini, dan betapa banyak istri yang penuh pesona, bagai blasteran bidadari dengan seekor ular. Kornel Esti atau Sandor Nagy, anak muda berikut suami malang di tepi danau, bahkan anak sekolah yang tertimpa malu serta kecewa, tidak akan pernah kita kenal kalau saja Dr. Fuad Hassan tidak berkenan membaringkan biolanya barang sejenak dan menyambar mesin ketik pada suatu tengah malam, seraya merokok dan menyeropot kopi tak henti-henti langsung dari termosnya. Menteri yang satu ini boleh jadi duduk di kursi yang sanggup berputar-putar, boleh jadi main golf ataupun tenis di saat senggang, tapi sudah pasti ia jadi penerjemah, seperti untuk bukunya Sang Mahasiswa dan Sang Wanita terbitan Grafiti Pers. Menteri dengan sendirinya sudah hal yang bagus, tapi menteri yang menerjemahkan tentu lebih bagus. Bila menteri menerjemahkan sastra, ia akan menjadi lebih bagus lagi. Lebih-lebih sastra Hungaria, negeri yang tak terperikan jauhnya, seperti terselip di balik awan. Nama-nama semacam Sandor Hunyadi, atau Ferenc Santa, sama asingnya dengan jenis-jenis anggrek di dalam hutan. Kenapa sastra? Karena pembangunan di negeri ini seperti mencoret kesusastraan dari daftarnya. Ada yang bilang, manusia tanpa sastra akan menjadi binatang pintar. Bisa jadi berlebihan, tapi sedikit banyak ada betulnya. Kita tidak mengharapkan semua menteri beramai-ramai menerjemahkan kisah sastra. Satu menteri rasanya sudah memadai, apalagi menteri itu bertanggung jawab di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini