Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pojok putih afrika selatan

Persoalan penduduk kulit putih afrikaner (keturunan belanda) dan anglos (keturunan inggris) dalam posisinya menghadapi politik apartheid. perubahan sikap perjuangan mandela dan anc. (sel)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kulit putih Afrika Selatan bagai dongeng sang Raja dan Pakaiannya. Dengan tegar mereka mengenakan "pakaian paling indah" mereka sendiri, yang tak lain kulit mereka yang putih itu. Dengan kata lain, mereka sebenarnya telanjang bulat. Dan, seperti sang Raja, kulit putih Afrika Selatan tidak sadar akan ketelanjangan mereka - ketelanjangan etik dan moral, ketelanjangan yang fatal bagi kehadiran mereka. Diam-diam pula mereka merasa terdesak. Ini, antara lain, tercermin pada siaran radio Yohannesburg di suatu pagi. Seperti ditulis sastrawan kulit putih Afrika Selatan, Nadine Gordimer, di majalah The New York Times, 8 September lalu: setelah menyiarkan warta berita tentang makin banyaknya diplomat asing yang hengkang dari negeri itu, dan bank-bank asing mengancam akan menarik modalnya ke luar, acara diteruskan dengan sederetan lagu pop yang menggebu-gebu. Siaran radio pemerintah itu ditujukan kepada pendengar kulit putih, Afrikaner dan Anglos atau golongan penutur bahasa Inggris. "Wahai para sekutu sekalian," kata pembawa programa, "Kita semua merupakan sekutu, dengan punggung menghadap tembok." * * * Di Afrika Selatan, kulit putih hanya berjumlah 4,9 juta - dibandingkan dengan 23,9 juta kulit hitam. Dari para pendatang sebanyak itu, yang 2,5 juta adalah Afrikaner. Juga disebut Boer, kata Belanda yang berarti petani. Memang nenek moyang mereka, yang mengangkangi Afrika Selatan sejak 1652, adalah petani Belanda. Tapi 40% di antara mereka ini sebenarnya berasal usul Jerman. Sementara itu, bagian terbesar dari 1,8 juta Anglos, kelompok kedua, memang keturunan Inggris. Tapi di luar Afrika Selatan masih ada salah pengertian tentang kulit putih negeri itu. Orang Afrikaner selalu dianggap biang segala peri laku jahat, sementara Anglos malaikatnya kulit putih. Sesungguhnya, menurut Gordimer, tak semua Afrikaner setuju dengan keadaan darurat yang di nyatakan Presiden Pieter W. Botha 21 Juli lalu. Dan tak semua Afrikaner menyetujui tindakan sadistis polisi dan tentara yang melahirkan keadaan darurat itu. Sebaliknya, di kelompok Anglos yang berbahasa Inggris, tak semuanya membenci apartheid - seandainya politik itu besok berhasil menang berkat kegagahperkasaan tentara Afrikaner mempertahankan kubu mereka. Dan Presiden Botha tidak akan memberlakukan konstitusi baru - yang jadi salah satu pangkal kerusuhan kulit hitam kini - seandainya kelompok Anglos tidak ikut menyatakan ya dalam referendum khusus untuk kulit putih pada 30 November 1983. Karena kedua golongan kulit putih menyetujui konstitusi baru itulah, Botha membentuk parlemen bermajelis tiga yang terpisah satu sama lain - untuk kulit putih, keturunan India, dan Golongan Peranakan (Colored). Dengan konstitusi baru itu diperkuatlah landasan hukum yang menjadikan mayoritas kulit hitam tak punya hak dan suara apa pun di tanah air mereka sendiri. * * * Kulit putih non-Afrikaner tak pernah punya kedudukan khusus sejak kapan pun di negeri itu. Di samping yang keturunan Inggris, masih ada lagi 120.000 Yahudi asal Eropa dan 150.000 keturunan Portugis, Italia, Yunani, dan kulit putih lain. Sedangkan golongan peranakan (2,9 juta), leluhurnya terdiri dari campuran unsur-unsur Melayu, Hottentot (salah satu suku asli Afrika Selatan), dan kulit putih. Konstitusi baru yang oleh Botha diharapkan akan dapat menyelesaikan pergolakan Afrika Selatan itu malah membuat kulit putih negeri itu terpecah dua. Mayoritas dari mereka mendukung undang-undang itu, baik langsung maupun tidak, sebagai langkah yang sah untuk "menampung aspirasi kulit hitam", sementara yang minoritas menentangnya sebagai tindak yang tidak adil dan tak dapat dibenarkan. Memang, dibandingkan dengan golongan Anglos, tak banyak Afrikaner yang menentang apartheid. Pengumpulan pendapat umum baru-baru ini menunjukkan bahwa hanya 36% kulit putih menyetujui apartheid, sementara 63% ingin dihapuskannya sistem celaka itu dalam waktu 10 tahun. Sayangnya, poll ini tidak merinci lebih jauh berapa persentase Afrikaner dan Anglos yang terdapat di kalangan pendukung dan penentang itu. Tapi terlepas dari itu, akibat pergolakan sekarang ini baik Afrikaner maupun Anglos sama-sama menghadapi dilema tak terpecahkan: bagaimana mempersiapkan masa depan negeri mereka. Afrikaner terutama tertumbuk pada batasan waktu karena ajaran Kristen Kalvinis mereka yang keras dan sejarah mereka. Sebagai imigran pertama Eropa, mereka sangat menyadari kenyataan bahwa, berbeda dengan rekan kulit putih mereka yang lain, mereka tak lagi punya "tanah leluhur" tempat kembali. Dari segi kebudayaan, politik, dan agama, mereka sudah putus ikatannya dengan Eropa. Bahasa mereka sendiri Afrikaans, adalah bahasa Belanda dari abad ke-17. Sedang bagi golongan Anglos, keadaannya tidak begitu sulit. Umumnya mereka pemegang paspor Inggris, dan tidak sukar bagi mereka pindah ke negeri lain untuk mencari kehidupan yang baru. Tapi bila orang kulit hitam bicara tentang Boer, yang mereka maksud bukan semata Afrikaner. Istilah ini mengandung pengertian yang bersifat lebih umum ketimbang etnis. Sebab, memang tidak banyak lagi petani (Boer) di kalangan Afrikaner (sudah jadi pengusaha, pengacara, ilmuwan, tenaga ahli), istilah Boer lebih menunjukkan cara berpikir, pendirian, sikap. Dengan demikian, tak semua Afrikaner adalah Boer, sementara banyak di kalangan Anglos, yang leluhurnya sudah bermukim sejak 1820, adalah Boer .... Dalam keadaan krisis seperti sekarang ini, cara berpikir dan cara hidup agaknya sedikit banyak akan mengikuti garis pemisah itu - terutama cara berpikir. Krisis politik yang sudah semakin gawat ini tidak memilih bulu. Perlahan-lahan ia mulai merasuki kehidupan kulit putih dari kedua kelompok itu. Mereka mulai dipaksa memberikan perhatian terhadap apa-apa yang dulunya tak pernah mereka hiraukan. Yang paling terkena akibat pergolakan terus-menerus ini adalah usaha penyehatan ekonomi Afrika Selatan. Inflasi makin tajam, sampai 16%, pengangguran makin tinggi, sementara melonjaknya harga barang impor menyebabkan tingkat hidup kulit putih merosot. Boikot yang dilancarkan kaum kulit hitam terhadap toko dan jasa kulit putih di enam kota membuat mandek bisnis mereka sampai 50%. Dan boikot itu makin meluas ke kota-kota lain. Banyal keluarga kulit putih dibuat tidak tenteram oleh adanya panggilan berkala untuk menjadi anggota pasukan cadangan Angkatan Darat, untuk membantu polisi berjaga-jaga di kota-kota permukiman kulit hitam (township). Dan, di kalangan kulit putih, tiba-tiba saja pembangkangan terhadap wajib militer - meski masih jarang - tak lagi dianggap penyimpangan dari ajaran agama. Di pihak minoritas, dari garis pemisah antara kulit putih dan kulit putih itu muncul gerakan yang menamakan diri Kampanye Mengakhiri Wajib Militer (ECC). Ini merupakan reaksi kontan mereka atas pengerahan 7.000 pasukan pemerintah menumpas kerusuhan kulit hitam di permukiman Sebokeng, 40 mil selatan Yohannesburg, Oktober tahun lalu. Soalnya, tak lain, di antara pasukan yang dikerahkan terdapat para pemuda ingusan kulit putih yang baru menjalani wajib militer. ECC belum merupakan gerakan masal - dan agaknya tidak akan - tapi cukup membuat gemetar rezim Pretoria, sehingga mereka menahan sejumlah anggota kelompok itu. Dampak paling besar pergolakan sekarang ini terhadap kulit putih, barangkali, bersifat psikologis. Mereka kehilangan kepercayaan akan masa depan dan semakin merasakan bahwa, lambat tapi pasti, Afrika Selatan sedang menuju jurang kehancurannya. Mulailah timbul usaha lari ke luar negeri di antara mereka. Kedutaan besar sejumlah negara Barat di Pretoria di bikin repot oleh meningkatnya permohonan visa, dan badan usaha swasta baru bermunculan menawarkan jasa emigrasi. Di koran terkemuka Yohannesburg, Star, malah ada iklan menawarkan: bagaimana caranya mendapat paspor negara kedua. Melihat kegelisahan semakin berkecamuk di kalangan kulit putih ini, koran Citizen yang paling pro pemerintah ikut buka mulut. "Keadaan di Afrika Selatan memang gawat," tulis tajuk rencananya. "Namun, demi Tuhan, janganlah panik dan patah semangat. Janganlah berbicara seakan kiamat sudah datang." * * * Keresahan ini disebabkan karena kulit putih sendiri kurang mendapat informasi sebenarnya tentang apa yang sedang terjadi. Meski keturunan Eropa di Afrika Selatan itu mengenyam kebebasan pers yang lumayan, penyiaran kabar mengenai kerusuhan dibatasi. Mereka umumnya mendapat berita dari jaringan televisi yang barulah 10 tahun ini dibenarkan masuk Afrika Selatan oleh rezim Pretoria. Dan televisi itu dikuasai pemerintah, menyuarakan misi pemerintah. Sebelum film berita muncul di layar TV, adegan-adegan yang terlalu jelas menunjukkan kekerasan kulit hitam dan kekejaman polisi sudah dipotong di kamar redaksi dan dimasukkan ke keranjang sampah. Di segi lain film seri televisi Amerika, yang pemeran utamanya atau salah satu peran pentingnya dimainkan kulit hitam, baru beberapa tahun ini dibolehkan diputar. Dari koran-koran memang bisa didapat berita lebih terinci. Tapi para redakturnya pun harus amat berhati-hati, setelah diperingatkan polisi supaya "membatasi diri". Ancaman sensor resmi oleh pemerintah tetap menghantu. Tak heran kalau banyak kulit putih lebih suka menutup sebelah atau kedua belah mata dan telinga mereka terhadap kekacauan yang terjadi bukan di lingkungan sendiri. "Mereka tidak tahu, dan tak mau tahu, karena berita-berita seperti itu membuat mereka terganggu," kata Pendeta Colin Andrews, pemimpin gereja Metodis di Benoni, di pinggir timur Yohannesburg. Di wilayah permukiman kulit putih yang makmur itu memang tak ada tanda-tanda pergolakan. Kehidupan sehari-hari mereka tenang saja, seakan tak peduli pada kerusuhan yang sedang berkobar hanya beberapa mil di township East Rand. Bahkan, seperti umumnya pada kulit putih, seperti apa keadaan di township itu sendiri pun mereka banyak yang tidak tahu. Seperti kata pegawai biro perjalanan di Yohannesburg, "Turis-turis asing yang ikut tur dengan bis keliling kota, dan singgah di township," malah lebih tahu bagaimana kehidupan di sana." Mau tahu atau tidak, orang kulit putih tak bisa melarikan diri dari rasa takut. Ini tampak pada rumah-rumah mereka yang megah, yang dikelilingi pagar pengaman yang kukuh serta dikawal anjing galak. Banyak pula yang mempersenjatai diri untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan diserang. Tapi tindakan ini tak banyak artinya mengubah keadaan. Seperti kata Sam Grolman, wali kota Benoni, kepada wartawan harian Washington Post di Yohannesburg, "Saya tahu ada hal-hal yang bisa diselesaikan dalam kemelut ini. Tapi sebagai pribadi, tak banyak yang bisa saya perbuat." Di Benoni, yang hanya berpenduduk 80.000 kulit putih, pun bisa dilihat salah satu trauma sejarah tentang betapa kejinya kulit putih menindas kulit hitam. Kota kecil itu berdiri pada awal abad ini sebagai perkampungan para penambang emas. Dan setelah emas habis, kini ia mengandalkan kemakmurannya pada industri pengecoran besi dan baja. Dulu orang kulit hitam tinggal di township Actonville, sebelah selatan. Tapi pada pertengahan 1950 mereka diusir rezim Pretoria. Rumah-rumah (baca: gubuk-gubuk rombeng) mereka diratakan dengan tanah, kemudian di atasnya dibangun permukiman untuk Kaum Peranakan. Sedang kulit hitam di singkirkan ke utara, Daveyton. Yang memisahkan tempat kediaman baru mereka ini dengan Actonville adalah sebuah jalan raya berjalur empat - seperti Tembok Berlin fungsinya. Secara fisik kedua permukiman itu hanya terpisah 6 mil, tapi dalam hal kemakmuran, kondisi, dan harapan hidup, jarak keduanya sangatlah jauh dan semakin jauh. Di Benoni pun - seperti di bagian lain Afrika Selatan - konon usaha pembauran kulit putih-kulit hitam dijalankan. Tapi apa yang digambarkan sebagai perubahan ini amat lamban jalannya. Hanya di banklah, barangkali, kulit putih-kulit hitam tak perlu antre secara terpisah. Di bioskop, bahkan di perpustakaan dan tempat parkir, pemisahan atas dasar warna kulit masih berlaku. Sebuah restoran yang mencoba melaksanakan pembauran malah terancam bangkrut. Dalih pemiliknya: kulit putih tak mau makan di restorannya jika dibaurkan dengan kulit hitam. Di kalangan keturunan Eropa yang bersimpati kepada kulit hitam - yang oleh Gordimer disebut "minoritas di kalangan putih" - ada kesadaran akan perlunya konsep baru tentang kebudayaan Afrika Selatan. Orang-orang ini menginsafi bahwa perubahan kesadaran untuk meninggalkan "rasa putih" haruslah dicapai bersamaan dengan perubahan rezim, bilamana - di saat kulit hitam bersedia berkonsultasi dengan kulit putih - ada sesuatu yang hendak dibicarakan. Ini antara lain dikemukakan oleh Colin Coleman, mahasiswa Universitas Witwatersrand di Yohannesburg. Dibantu oleh Dolphine Smuts (kulit hitam), Colin memimpin sekolah terbuka yang tempatnya di pusat keramaian kulit putih di Yohannesburg. Di tempat yang mereka sebut lembaga pendidikan alternatif ini mereka memberi kesempatan kepada anak-anak dan pemuda kulit hitam belajar seni drama, seni lukis, seni tari dan musik - hal-hal yang memang tak dapat diperoleh dalam Program Pendidikan Bantu (kulit hitam) pemerintah Pretoria. Bersama saudaranya, Neil, Colin Coleman adalah langganan penjara karena sikapnya. Neil sendiri pada akhir Agustus lalu ditahan lagi, dan baru dua minggu sesudah itu orangtuanya diizinkan menjenguk. Seperti ribuan tahanan politik lainnya di Afrika Selatan, sampai saat itu pun Neil belum tahu apa yang sebenarnya dituduhkan kepadanya. Orangtua mereka adalah anggota-pendiri Komite Pendukung Orangtua Para Tahanan, sebuah organisasi yang baru dibentuk tapi cukup berbobot. Keterlibatan mereka itu mencerminkan sikap "golongan minoritas" di kalangan kaum putih. Demikianlah refleksi suasana pikiran dan perasaan yang terdapat di kalangan putih, mayoritas dan minoritasnya, di Afrika Selatan. Bagi mayoritas, apa yang menjadi keasyikan minoritas dianggap tak lebih dari ulangan tulisan-tulisan di koran yang dapat dibaca di mana-mana di luar Afrika Selatan. Selama pasukan lapis baja pemerintah berpatroli di township hitam, dan selama upacara penguburan kulit hitam secara besar-besaran, dilarang, mayoritas kulit putih masih merasa aman. Biarpun ada anggota keluarga yang ditahan, mereka tetap saja bisa tidur nyenyak dan bangun dengan perasaan tenang esok paginya. Kehidupan sehari-hari mayoritas putih itu tetap berlangsung dalam suasana yang sama seperti yang lain. Sikap mereka memang sama brengseknya dengan sikap semua keturunan Eropa, baik yang bermasa bodoh terhadap krisis maupun yang menganggapnya sebagai persoalan yang menentukan. Sebagian dari mereka mengunjungi rapat-rapat protes, yang lainnya main golf. Toh semuanya pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan aman nonton bioskop atau teater makan enak di restoran semuanya tanpa rasa khawatir menghabiskan sisa malam. * * * Tapi di kalangan Partai Nasionalis Presiden Botha yang berkuasa, pelaksanaan politik pemerintah selama dua tahun ini membuat mereka terpecah-belah. Mereka menganggap sikap tegar Botha merupakan pengakuannya yang diam-diam, bahwa perubahan sementara yang di lancarkannya dalam dua tahun ini lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Para pendukung Botha, sebagian besar terdiri atas Afrikaner, kini terbelah dua. Ada fraksi verligte (moderat) yang menyadari bahwa, bagaimanapun juga, persesuaian politik dengan kulit hitam toh akan datang. Sedangkan golongan verkrampte (garis keras) tetap mempertahankan apa yang ada. "Kalau perlu dengan sjambok (cambuk, dari kulit badak) dan senapan," seperti kata salah seorang dari mereka. Golongan ini merasa bahwa Afrika Selatan adalah juga tanah tumpah darahnya, dan mereka pun "berhak sama dengan kulit hitam untuk hidup di sini." Hanya saja, mereka tak bersedia mengakui hak kulit hitam yang sama dengan mereka dalam satu negara Afrika Selatan, tempat satu warga negara berhak akan satu suara dalam pemilihan. Kalau ini terjadi, tentu minoritas kulit putih benar-benar jadi minoritas. Dan melihat sistem otoriter yang kini dianut banyak negara hitam di Afrika, mereka pun takut kulit hitam Afrika Selatan akan bersikap sama. Mereka tak bisa membayangkan orang kulit hitam, yang umumnya berpendidikan rendah, akan menjadi penguasa mereka - meski mereka menyadari rendahnya pendidikan itu tak lain hasil politik penjajahan kulit putih sendiri. Dalam diskusi mengenai pembagian kekuasaan, kulit putih akhirnya bertahan pada tuntutan mereka akan sistem federal atau konfederasi, tempat hak-hak mereka dapat terjamin. Lepas dari perbedaan pendapat itu, baik Afrikaner maupun Anglos tetap lebih suka tidak meninggalkan negeri tempat lahir mereka, tempat kehidupan mereka terjamin. Tapi soalnya, berapa banyak dari mereka yang percaya bahwa masa depan apartheid sudah tamat - dan berapa banyak yang tetap bertahan pada anggapan bahwa, tanpa apartheid di Afrika Selatan, masa depan merekalah yang tamat. Seorang pengusaha kulit putih di Kota Tanjung (Capetown), Jannie Momberg, malah lebih gila. "Yang diperlukan untuk masa 10 tahun mendatang ini ialah kediktaturan yang bijaksana," katanya kepada Time. "Bukan untuk penduduk kulit hitam. Tapi kulit putih. Saya rasa kita harus memaksakan hal-hal tertentu pada kulit putih, demi kepentingan negeri ini." Ia lalu mengemukakan gagasannya: seandainya menjadi presiden republik itu, "Saya akan memasukkan Gatsha Buthelezi, kepala suku Zulu yang moderat itu, dalam kabinet. Saya akan melebur parlemen bermajelis tiga ke dalam satu majelis, lalu menerapkan sistem pemerintahan federal untuk tahap berikutnya, dengan mengikutsertakan kulit hitam." Momberg percaya bahwa di kalangan kulit hitam pada dasarnya "masih terdapat" itikad dan kemauan baik yang amat besar untuk mendapat penyelesaian masalah Afrika Selatan dengan kulit putih. Dan hal inilah, katanya, yang sebenarnya menyelamatkan negeri itu dari kehancuran. Itikad baik yang dimaksud itu, tampaknya, dilihat oleh sebagian kulit putih pada diri Buthelezi, 56. Sebagai kepala suku, ada lebih dari enam juta orang Zulu tunduk kepadanya secara tradisional. Jumlah ini adalah yang terbesar di antara sembilan suku kulit hitam Afrika Selatan. Dan suku Zulu punya rasa kebanggaan diri yang tinggi: leluhur mereka terkenal berperang paling lama dan paling gigih melawan penjajah Inggris pada abad ke-19. Tapi besarnya pengaruh Buthelezi adalah berkat Partai Inkatha yang dipimpinnya. Didukung oleh lebih dari satu juta anggota yang membayar iuran, Inkatha merupakan partai politik terbesar di Afrika Selatan. Meski penentang gigih apartheid, Buthelezi tak banyak punya pendukung di kalangan aktivis antiapartheid negeri itu. Kongres Nasional Afrika (ANC), partai berhaluan sosialis yang paling giat mendalangi kerusuhan kulit hitam sekarang, menuduhnya kapitalis. Partai Front Persatuan Demokratis (UDF), yang anggotanya campuran putih-hitam penentang apartheid, menyebutnya angkuh dan keras kepala. Sedang Organisasi Rakyat Azania, kelompok militan yang menolak keanggotaan putih, menudingnya sebagai pengkhianat. Namun, baik kulit hitam maupun putih yang menentang apartheid tahu bahwa, tanpa persetujuan Buthelezi, penyelesaian masalah politik Afrika Selatan tak mungkin tercapai. Dialah yang menganjurkan agar putih-hitam "berkompromi dan berunding, jika kita tidak ingin saling menghancurkan." Sejak menjadi kepala suku Zulu pada 1957 ia tetap teguh pada cara-cara antikekerasan. "Kami tak mencari popularitas murah dengan menganjurkan kekerasan senjata," katanya. "Tapi ini tak berarti bahwa kami, kulit hitam, tidak akan terpaksa mengangkat senjata pada suatu ketika." Buthelezi juga membantah, dengan berperan secara aktif di KwaZulu homeland ("daerah swatantra" kulit hitam yang didirikan rezim Pretoria - semuanya ada 10), berarti ia mengakui sistem apartheid. "Untuk merunding-kan perubahan, orang harus bekerja dari dalam," katanya. Ia tetap teguh dengan tuntutannya agar semua pihak di Afrika Selatan berperan sama dalam politik. Dan meski setuju akan perlunya kompromi semua pihak, ia sama sekali bukan boneka Pretoria. Ia mengancam akan menggunakan kekerasan bila perlu untuk menentang usaha rezim putih memberikan status "independen" kepada KwaZulu. Sebab, bila itu terjadi, berarti lenyaplah status kewarganegaraan Afrika Selatan orang Zulu dan juga peranan politik mereka di negeri mereka sendiri. * * * Jalan untuk kompromi kulit putihhitam semakin tertutup setelah langkah keadaan darurat dan "manifesto" Presiden Botha tak memberi tempat bagi kulit hitam dalam urusan politik masa depan di Afrika Selatan. Pemimpin kulit hitam yang paling moderat sekalipun, seperti Pendeta Desmond Tutu, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 1984, menggambarkan dirinya sebagai "remuk" setelah mendengar langkah terakhir Botha. "Harapan ke arah perubahan sekarang ini sudah nol sama sekali," katanya. Buthelezi lebih tegas lagi ketika mengatakan, satu-satunya kemungkinan berunding hanyalah apabila "pemerintah mencabut keadaan darurat dan membebaskan semua tahanan politik." Bila para tahanan dibebaskan - terutama Nelson Mandela, 67, pemimpin legendaris Kongres Nasional Afrika (ANC) yang terlarang - ada harapan kulit hitam akan menyetujui langkah Botha, dan kekerasan berakhir. Tapi justru pembebasan Mandela inilah yang jadi ganjalan. Botha pernah menawarkan hal itu, tapi dengan syarat Mandela mau meninggalkan semua kegiatan politik - yang tentu saja ditolaknya mentah-mentah. Dihukum seumur hidup atas tuduhan sabotase, Nelson Mandela sudah lebih dari 23 tahun mendekam di dalam bui. Tapi tembok penjara tak sanggup mengekang kharismanya sebagai pemimpin yang didengarkan semua kulit hitam Afrika Selatan. Pengumpulan pendapat umum belum lama ini, yang disiarkan sebuah koran Yohannesburg, menunjukkan bahwa lebih dari 90% kulit hitam Afrika Selatan menghendaki pembebasan Mandela tanpa syarat. Bukan itu saja: musuh-musuh politik kulit hitam, termasuk kaum konservatif yang bekerja di lingkungan pemerintah apartheid dan dipandang rendah oleh ANC, mengakui kepemimpinan Mandela dan menyetujui pembebasannya dengan segera. Kewibawaan Mandela yang besar di antara rakyatnya dan reputasinya yang semakin hebat di luar negeri memang merupakan masalah politik yang bikin pusing Pretoria. Selama tujuh bulan, tulis Allister Sparks, wartawan Washington Post di Yohannesburg, semacam dialog telah terjadi dalam pers antara Mandela dan Presiden Botha. Mandela menyampaikan pesannya lewat anggota keluarganya dan sejumlah tamu terbatas yang diperkenankan menjenguknya, dan Botha menjawabnya lewat pidatonya dalam pertemuan umum atau pernyataan pers. Tindakan Mandela yang berhasil memaksa penguasa mendengarkan dan menjawab pernyataan-pernyataannya itu membuat reputasinya semakin tinggi. Tindakannya itu pula yang memperbesar tekanan internasional terhadap rezim Pretoria. Tom Lodge, spesialis politik kulit hitam di Universitas Witwatersrand, menyimpulkan bahwa dari peristiwa itu, pemerintah Bothalah yang sebenarnya jadi tawanan Mandela - karena mereka harus selalu memperhatikan setiap pernyataan Mandela dan tidak bisa menganggapnya sepi. Bagai menghadapi buah simalakama, Botha serba salah. "Di satu pihak ia ingin melenyapkan mitos tentang Mandela dengan membebaskannya," kata Tom Lodge. "Karena, jika tidak, ia bisa mati di penjara. Dan ini bisa mengobarkan kemarahan kulit hitam yang baru." Tapi jika Mandela di bebaskan, dan aktif lagi dalam politik, "Botha khawatir akan pengaruhnya terhadap kulit hitam. Dan Mandela cukup keras dengan pendiriannya." Tawaran pembebasan pertama diajukan Botha Desember tahun lalu. Mandela akan dikeluarkan dari penjara, tapi hanya boleh tinggal di homeland Transkei yang dipimpin kepala suku Kaizer Matanzima - kerabat Mandela. Dengan tegas ia mengatakan, ia menolak pembatasan apa pun dan tidak mau berurusan dengan apa yang dianggapnya negara boneka yang didirikan di bawah sistem apartheid yakni homeland itu. Tawaran kedua, Februari lalu, dengan syarat dibubarkannya perjuangan gerilya ANC, juga ditolak. "Hanya orang merdeka yang bisa berunding," katanya dalam pernyataan yang dibacakan anak perempuannya, Zindziswa, 23, dalam rapat umum di Soweto. "Orang tahanan tidak bisa membuat perjanjian. Dan saya tidak akan menghentikan perjuangan, sebelum saya dan seluruh rakyat kulit hitam merdeka." Dari cerita orang-orang yang pernah mengenalnya sewaktu masih bebas dan sejumlah terbatas orang yang pernah menemuinya di penjara, Mandela adalah tokoh hebat - tinggi, rambutnya kini beruban, kesehatannya amat baik, dengan penampilan amat berwibawa sehingga para tamunya menganggapnya tak layak tinggal di lingkungan penjara. Di antara yang pernah menemuinya di penjara adalah Samuel Dash, orang Amerika bekas penasihat utama Komite Watergate Senat AS dan kini Direktur Liga Internasional Hak-Hak Asasi Manusia. "Selama pertemuan kami - Januari lalu - saya tidak merasa berhadapan dengan seorang pemimpin gerilya atau pejuang ras, tapi dengan seorang kepala negara," katanya. Helen Suzman, tokoh liberal kulit putih Afrika Selatan dan anggota parlemen, yang paling sering menemuinya di samping anggota keluarganya, menggambarkan Mandela sebagai pemimpin "yang sangat gigih" dengan kepribadian yang hangat dan terbuka. "Tak tampak rasa tertekan atau murung pada dirinya," katanya. Bahkan orang kulit putih yang menjadi kepala penjara menaruh hormat kepadanya, seperti kata Neville Alexander, yang pernah 10 tahun mengurusnya bersama sekelompok tahanan politik yang dipisahkan dari tahanan biasa, di penjara Pulau Robben. Sejak tiga tahun lalu Mandela bersama empat tahanan politik lainnya dipindahkan ke penjara Pollsmoor, di luar Kota Tanjung. * * * Nelson Rolihlahla Mandela dilahirkan 18 Juli 1918, sebagai pangeran di istana raja Tembuland, yang kini masuk Transkei. Ada yang menganggap lingkungan istanalah yang membuat ia, sejak muda, terbebas dari belenggu emosional dan intelektual sebagai warga negara kelas dua - kompleks kejiwaan yang menghinggapi kulit hitam - Afrika Selatan umumnya. Lingkungan itu pula yang membantunya menumbuhkan sikap dan rasa penuh kepercayaan diri seperti yang tampak sekarang. Sejak jadi mahasiswa di universitas kulit hitam di Fort Hare, ia di kabarkan sudah meyakini bahwa prospek sebagai kepala suku tidak menarik perhatiannya. Ia lalu terlibat dalam gerakan politik kaum nasionalis dan dikeluarkan dari universitas karena membantu pemogokan mahasiswa. Mandela menyingkir lebih jauh dari lingkungan sukunya ketika ia menolak perkawinan yang diatur para kepala suku Tembu. Ia pergi ke Yohannesburg, bekerja sebagai polisi di sebuah tambang emas, mengawasi lingkungan tempat tinggal buruh kulit hitam. Akhirnya bekerja sebagai magang di sebuah kantor pengacara kulit putih, sebelum mendirikan kantor pengacaranya sendiri bersama Oliver Tambo, sahabatnya seumur hidup yang kini menjadi ketua ANC dalam pengasingan. Dengan cepat kedua sahabat ini menanjak kedudukannya di ANC - gerakan nasionalis tertua di Benua Afrika. Didirikan tahun 1912, ANC ketika itu masih bersikap moderat. Para pemimpinnya hanya mengajukan petisi kepada penguasa kulit putih dan dengan sopan meminta kerja sama secara baik-baik. Mereka tak pernah bermimpi menginginkan kekuasaan mayoritas. Sikap ini berubah ketika pemerintah nasionalis Afrikaner berkuasa tahun 1948 dan mempertajam pemisahan rasial dengan ideologi apartheid-nya. Mandela dan Tambo membentuk kelompok militan Liga Pemuda dan memaksakan pandangan mereka terhadap ANC. Ini menunjukkan, pada usia muda Mandela sudah punya daya analisa yang baik dan kesadaran strategi jangka panjang yang tak banyak terdapat di kalangan pemimpin kulit hitam segenerasinya. Pada pertengahan 1950-an, Mandela dan Tambo sudah menyadari kemungkinan ANC harus berjuang di bawah tanah. Mandela lalu menyusun rencana yang disebut Rencana-M, untuk membentuk sel-sel di setiap jalan di township kulit hitam. Dengan cara ini organisasi bisa terus berjalan meski para pemimpin tingkat pusat dan cabang ditangkapi. Seandainya ANC - sebelum dilarang pemerintah, 1960 - berhasil melaksanakan Rencana-M dengan tepat, Pretoria akan mengalami kesulitan lebih berat lagi menumpas struktur organisasi itu. Mandela waktu itu dijatuhi hukuman percobaan karena mendalangi kampanye pembangkangan di kalangan penduduk. Kemudian dikenai larangan bicara, dan gerak-geriknya dibatasi berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Komunisme. Setelah empat tahun ditahan, ia bersama 155 pejuang kulit hitam lainnya dibebaskan. Sampai tahun 1960 ANC menempuh cara antikekerasan yang diilhami ajaran Gandhi, dalam perjuangannya mencoba mendesak Pretoria menghapuskan apartheid dan menyusun konstitusi baru dengan mengajak musyawarah semua ras di negeri itu. Tapi setelah pecah huru-haradi Sharpeville - di sini polisi membunuh 69 kulit hitam - ANC memutuskan cara-cara damai tak mungkin diteruskan dalam perjuangan mereka. Peristiwa Sharpeville itu mendapat kecaman keras di seluruh dunia dan membuat nama ANC dan Mandela semakin harum. Di pengurus tingkat nasional ANC, diketahui ada beberapa tokoh komunis, termasuk Joe Slovo, kulit putih, yang pernah jadi pengacara terkemuka di Yohannesburg. Kerja sama sejak lama memang ada dengan Partai Komunis Afrika Selatan yang dilarang tahun 1950. Partai ini tidak besar, dan kebanyakan anggotanya terdiri atas kulit putih. Dari Uni Soviet hingga kini ANC masih menerima bantuan senjata dan perlengkapan lain untuk pasukan gerilyanya. Tapi Mandela maupun Tambo membantah bahwa ANC komunis sebagaimana dituduhkan Pretoria. Dalam pertemuannya dengan Samuel Dash di pen jara, ia menolak tuduhan bahwa ia dikendalikan Moskow. Ia menegaskan, ANC "organisasi independen dan berdisiplin tinggi," dan menyamakan anggota-anggotanya yang pro komunis dengan kelompok radikal di Inggris dan negara negara Barat lain. Keputusan ANC untuk beralih kepada taktik gerilya diumumkan Mandela dalam pidatonya yang terakhir secara terbuka. Waktu itu ia masih menjadi ketua cabang. Ia kemudian bergerak di bawah tanah dan membentuk kelompok militer ANC yang disebut Tombak Bangsar (Umkhonto we Sizwe). Sebagai panglimanya, Mandela menyusup ke luar negeri untuk mengatur fasilitas latihan di Aljazair. Ia sendiri pun ikut dalam latihan gerilya. Kemudian kembali lagi ke Afrika Selatan secara menyelundup, dan melanjutkan gerakan bawah tanahnya yang berani. Kisah-kisah keberanian gerakan bawah tanahnya itu menambah citra romantiknya sebagai pahlawan di kalangan kulit hitam. Dijuluki Pacar Hitam (Black Pimpernel, diambil dari nama tokoh misterius dalam cerita fiksi terkenal Scarlet Pimpernel) oleh koran-koran Afrika Selatan, selama 18 bulan Mandela main kucing-kucingan dengan polisi - mengeluarkan pernyataan politik dan wawancara tersembunyi. Penulis biografinya, Mary Benson (kulit putih), bercerita bagaimana Mandela yang jenaka menyamar sebagai sopirnya, mengantarkannya keliling Kota Yohannesburg. Pertemuan rahasia diatur dengan istrinya yang berusia muda, yang di nikahinya hanya beberapa bulan sebelum ia bergerak di bawah tanah. Winnie Mandela, sang nyonya, menceritakan satu peristiwa ketika seorang kulit hitam, sopir ambulans, menjemputnya. Winnie menyamar sebagai wanita yang akan melahirkan. Dengan sirene meraung-raung, ambulans menembus penjagaan polisi, mengantarkannya ke tempat persembunyian Madela. Akhirnya Mandela tertangkap - dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena "menghasut dan pergi ke luar negeri tanpa izin". Setahun kemudian ia diadili lagi karena tuduhan sabotase. Sebagai terdakwa utama ia di sidangkan bersama hampir semua komando tertinggi Tombak Bangsa: orang-orang kulit hitam, keturunan Asia dan kulit putih yang tertangkap di sebuah peladangan kecil dekat Yohannesburg. Semua mereka dijatuhi hukuman seumur hidup. Sidang pengadilan itu, agaknya, mengingatkan kita di Indonesia pada pengadilan Bung Karno dan para pemimpin nasionalis di Bandung pada tahun 1920-an. Dan, seperti pada Bung Karno, pengadilan itu semakin memperhebat citra Mandela sebagai pemimpin. Dengan dihadiri khalayak yang penuh sesak setiap hari, tokoh itu, dalam sidang - seperti cerita salah seorang pembelanya - "menunjukkan pembawaan yang agung bagaikan raja." Dalam pidato pembelaannya yang panjang ia antara lain mengutip pidato Socrates, dan pidatonya itu kemudian menjadi semacam kitab suci perjuangan kulit hitam. Mandela berbicara-tentang cita-citanya: satu masyarakat demokratis dan bebas, tempat semua rakyat bisa hidup rukun dah dengan kesempatan yang sama. Ia berkata, "Itulah cita-cita yang menjadi pengabdian hidup saya dan yang saya harap bisa saya capai. Kalau perlu, demi cita-cita itu pun saya rela mati." Penyekapannya yang begitu lama di penjara menjadikan amanatnya itu semakin tertanam, dan pengaruh mistiknya sebagai pemimpin semakin besar. Orang kulit hitam merasakan: meski Mandela dikurung, cita-citanya tetap hidup dan perjuangannya diteruskan - oleh kader-kader ANC. Dalam hal itu amatlah besar peranan istrinya. Nomzamo Winnie Mandela baru berusia 20 ketika ia meninggalkan desa terpencil di Transkei. Ia pergi ke Yohannesburg untuk menjadi wanita kulit hitam pertama negeri itu yang berijazah sebagai pekerja sosial medis. Ia tak tahu banyak tentang politik, tapi ketika ia bertemu Mandela, ketika itu 35, ia mengaku segera jatuh cinta. Mereka tampaknya tak banyak persiapan untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. Ini diakui sendiri oleh Winnie Mandela sekarang ini: ia tak tahu pasti nasib apa yang menantinya. Pada hari Mandela dijatuhi hukuman seumur hidup, Nyonya Mandela hadir sambil tersenyum di tangga yang tinggi gedung pengadilan Pretoria, mengenakan pakaian kebesaran suku Tembu. Khalayak kulit hitam di bawah mengelu-elukannya. Ia tetap meneruskan peranannya sebagai pembangkang, meski pemerintah sangat membatasi gerak-geriknya dan melarangnya berkumpul dengan lebih dari satu orang. Delapan tahun yang lalu Winnie dikucilkan ke Brandfort, sebuah kota terpencil di Provinsi Oranje Vrij Staat, 250 mil selatan Yohannesburg. Tanpa menghiraukan pengucilan ini, ia kini tinggal di Yohannesburg, setelah rumah dan kliniknya di Brandfort dibom orang tak dikenal bulan Agustus lalu. Ia pun jadi langganan polisi - rumahnya digeledah dan hampir tiap tahun dikenai tuduhan melanggar pembatasan. Beberapa kali ia keluar masuk penjara. "Sumbangan Winnie sangat besar pada nama baik Nelson Mandela sebagai pejuang," kata Pendeta Desmond Tutu. "Sikap mereka yang konsekuen terhadap perjuangan menjadikan suami-istri itu lambang perjuangan kulit hitam." Tapi meski sikap politik mereka keras dan tak mau menyerah, suami-istri itu memperlihatkan ciri yang berbeda jika bicara tentang diri sendiri. Bahasa surat-surat Mandela kepada istrinya hampir mirip gaya sastrawan yang indah-halus ketimbang seorang tokoh revolusioner yang keras. "Cintamu dan dukunganmu yang penuh kesabaran memberikan kekuatan dan dukungan yang begitu banyak padaku," tulis Nelson dalam sebuah suratnya baru-baru ini. "Namun, ada saatnya ketika cinta dan kebahagiaan, kepercayaan dan harapan, berubah menjadi azab semata-mata - manakala suara hati kecil dan perasaan bersalah merasuki seluruh diriku, ketika aku bertanya-tanya apakah tanggung jawab macam apa pun cukup dijadikan dalih untuk membiarkan seorang wanita muda yang belum berpengalaman terlunta-lunta, mencampakkannya begitu saja ke dalam genggaman para penyamun seorang wanita luar biasa tanpa tempat bersandar dan dukungan di saat ia memerlukannya." Dengan nada penuh kerinduan Winnie Mandela bicara tentang hidup mereka. Tahun lalu adalah perkawinan perak mereka, dan tentu saja tidak ada perayaan dengan pesta meriah. Selama itu suami-istri itu sesungguhnya hanya berkumpul selama empat bulan - itu pun tidak tanpa terputus-putus. Ia melukiskan perkawinan mereka sebagai "hebat, perkawinan abad ini. Tapi saya masih merasa sebagai gadis 20 tahun ketika saya pertama kali bertemu dengannya, tetap ingin menikah dengannya, dan tinggal bersamanya serta keluarga kami." Adalah Winnie Mandela yang menyampaikan pesan keras suaminya, dalam dialog ganjil antara dia dan Botha. Dengan tegas Mandela menolak ajaran Botha untuk merundingkan konstitusi - jika dibebaskan. "Satu-satunya yang masih bisa dibicarakan oleh rakyat negeri ini dan penguasa Afrikaner ialah penyerahan kekuasaan kepada golongan mayoritas," Winnie mengutip pernyataan suaminya. Pernyataan itu mengejutkan kelompok liberal kulit putih dan beberapa anggota kelompok moderat Partai Nasionalis Botha. Mereka selama ini melihat Mandela sebagai satu-satunya pemimpin kulit hitam yang mendapat dukungan menyeluruh di kalangan bangsanya yang terpecah-belah, dan menganggap satu-satunya jalan mencegah konfrontasi rasial ialah agar pemerintah berunding dengannya. Tapi Winnie mengatakan, penolakan suaminya untuk berunding bukannya tak bisa ditawar. "Jika pemerintah menghapuskan apartheid, mencabut larangan terhadap ANC, melepaskan semua tahanan politik dan mengizinkan kaum pelarian kembali pulang, Nelson dan para pemimpin ANC lain bersedia berunding," katanya. Hanya, perkembangan keadaan yang semakin buruk belakangan ini membuat perundingan itu mustahil. Presiden Botha bukan saja tidak mungkin memenuhi tuntutan tokoh itu, tapi juga sudah kehilangan inisiatif. Ini terutama akibat perpecahan di kalangan para pendukungnya sendiri, di tambah tekanan sanksi ekonomi dunia. Sebaliknya, kulit hitam, untuk pertama kalinya merasakan bahwa kemenangan sudah dapat dilihat dalam waktu tak lama lagi. Dari tempat pengasingannya di Lusaka, ibu kota Zambia, Oliver Tambo sudah mencanangkan pekik peperangan. Taktik perjuangan yang ditempuhnya sekarang - lewat satuan-satuan gerilya kota ANC di Afrika Selatan - ialah "membuat keadaan tak terkuasai, apartheid tak bisa berjalan, dan siap-siap menghadapi pertumpahan darah." Inilah yang sekarang terjadi dalam pertarungan kekerasan antara polisi dan tentara Pretoria di satu pihak dan kulit hitam di pihak lain. Para pemuda kulit hitam, termasuk anak-anak sekolah belasan tahun, pada mengangkat senjata dari batu sampai senapan mesin - melawan kekejaman pasukan Botha. Mereka menganggap kekerasan sudah merupakan cara yang wajar untuk menyatakan perasaan mereka yang tertindas. Seperti kata Khrushchev Dumisani, 20, "Rujuk dengan kulit putih kini sudah terlambat. Yang mayoritas di negeri ini adalah kami, dan mereka harus diberi pelajaran. Kulit putih Afrika Selatan akan merasakan hal yang sama dengan kulit hitam di Amerika Serikat." Khrushchev, yang pada usia 10 tahun menyaksikan kawan sebayanya ditembak polisi, diberi nama itu oleh ayahnya untuk mengenang pemimpin Soviet Nikita Khrushchev. Bersama ribuan temannya, Khrushchev termasuk apa yang disebut gerilya jalanan. Sementara ini kegiatan mereka tampak tanpa koordinasi atau pimpinan yang rapi. Para pemuda berang ini memang sedang menunggu pemimpin mereka, yang akan memimpin mereka mewujudkan Azania - nama negara baru Afrika Selatan yang dicita-citakan kulit hitam di atas puing-puing apartheid, tempat mereka berdiri tegak sebagai manusia, dan tidak dihina hanya karena kulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus