PENGOLAHAN limbah industri tak selalu menambah beban induknya. Bahkan dengan penggunaan teknologi yang tepat, bisa menghasilkan uang. Ini terjadi di kawasan industri baja Cilegon, persisnya di lingkungan Krakatau Steel (KS). Perusahaan penghasil baja spons sebanyak 640 ton setiap hari ini menghasilkan limbah yang jumlahnya tak bisa diremehkan: 96 ton sampah baja setiap hari. Tak heran kalau bungkahan hitam pekat ini segera menggunung di areal pabrik yang luasnya 6 ha itu. Wajar kalau banyak yang khawatir dan mulai bertanya-tanya: kapan bukit hitam ini berhenti tumbuh. Kini kekhawatiran, tampaknya, boleh minggat. PT Purna Baja Hacket (PBH), sebuah perusahaan patungan Indonesia-AS sejak Oktober tahun lalu, giat mengikis tumpukan itu. Tak kurang dari 410 ton sampah hitam ini dikeruk setiap hari. Tentu saja ulah PBH ini bukan sekadar usaha sosial. Perusahaan dengan modal sekitar Rp 5 milyar ini berkemampuan menemukan kembali 55 ribu ton scrap (besi tua), setiap tahun, dari limbah yang diolahnya. Selain itu, dihasilkan pula 165 ribu ton kerak baja (steel slag) yang ternyata juga punya banyak manfaat. Misalnya, untuk pupuk (TEMPO, 8 Januari 1983), bahan pembuatan jalan raya, dan pencampur semen. Konon, dua pabrik, PT Indocement dan PT Semen Gresik, sudah menunjukkan minat dan sedang menjajaki kemungkinan memanfaatkan kerak baja itu. "Kerak baja adalah senyawa kompleks yang sebagian besar terdiri dari CaO (kapur) dan SiO2 (Silikat)," kata Henk Dames, 33 Manajer Umum PBH. Butiran sintetis ini berbentuk kubus (cubical) serta mengandung unsur oksida-oksida magnesium, besi, dan mangaan dalam bentuk mikro. Proses mendapatkan kerak baja dari limbah sangat sederhana. Mulanya, limbah panas cair - sekitar 1000 Celcius - diambil langsung dari tanur listrik KS dengan slag pot carrier alias pot raksasa penadah limbah dan dibawa ke tempat pemrosesan PBH untuk disemprot dengan oksigen. Seperempat jam kemudian, ketika suhu limbah menurun ke 700 Celcius, sebuah traktor yang dilengkapi dengan sekop raksasa akan membalik limbah yang sudah memadat dan berwarna abu-abu ini. Pada saat itulah gas yang terperangkap akan menekan keluar sehingga slag pecah menjadi kerikil, dan dibawa dengan truk ke tempat penampungan untuk didinginkan selama sebulan. "Maksudnya agar sebanyak mungkin CaO yang lepas," kata Ir. Yames Sediono, wakil manajer umum. "Sebab, semakin sedikit kandungan CaO berarti semakin keras kerak baja yang dihasilkan," tambah alumnus Fakultas Teknik Sipil UGM, Yogyakarta, ini. Kemudian, pecahan ini diangkut dengan ban berjalan dan disaring melalui beberapa tingkat pengayakan. Selain itu, butiran ini juga dipisahkan antara yang mengandung logam dan tidak dengan menggunakan magnet. Yang logam dikembalikan lagi ke KS, sedangkan yang nonlogam alias kerak baja dijual kepada umum. PBH dibayar Rp 3.000, untuk setiap ton produksi KS (bukan limbahnya), dan boleh mengambil separuh dari hasil penjualan kerak baja. "Kami berharap bisa mendapatkan 750.000 dolar AS setahun," kata Dames optimistis. Optimisme ini, agaknya, lahir dari beberapa keunggulan kerak baja. Misalnya, harganya hanya Rp 3.500 per ton - separuh harga kerikil. Padahal, bekas sampah baja ini dianggap lebih keras. Karena itu, dianggap cocok sebagai bahan untuk pembuatan jalan raya. Maka, PBH sibuk mempromosikannya ke Departemen PU. Tapi departemen yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan raya di Indonesia ini masih berhati-hati. "Kami belum selesai melakukan penelitian," kata Ir. Irman Nurdin Kepala Laboratorium Aspal dan Kimia, Pusat Penelitian dan Pengembangan PU. Tapi alumnus Teknik Kimia ITB ini mengakui bahwa kerak baja dapat dimanfaatkan sebagai bahan: stabilisasi tanah dasar, lapisan fondasi bawah, dan konstruksi penetrasi makadam. Sedangkan sebagai bahan untuk permukaan jalan dianggap punya kelemahan: mempercepat aus ban kendaraan karena bentuknya yang tajam. Bambang Harymurti Laporan Farid Gaban (Bandung) & Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini