DULU saya rasa bohong besar kalau mendengar penjelasan guru
kesusastraan bahwa kata-kata yang kita guakan, sebenarnya tidak
hanya berfungsi mcnyatakan, meyampaikan tetapi juga mencipta?
mengadakan. Bahwa keterangan itu bohong belaka, mudah pula
dibuktikan.
Suatu sore sehabis main bola di lapangan sekolah, duduklah kami
di bawah sebatang pohon kelapa, lalu mulai berexperimen.
"Hei, masih ingat pelajaran kesusastraan dua minggu lalu? atau
benar bahwa kata-kata dapat menciptakan dan mengatakan, mengapa
tidak lebih baik kita mencipta minuman-minuman sekarang?". Maka
lima orang dari antara kami segera sibuk mengucapkan sesuatu,
seperti mantera layaknya. Tiba-tiba terdengar instruksi.
"Dari kiri ke kanan. Mulai!"
- Air kelapa muda.
- Air jeruk.
- Nenas.
- Air tomat dengan gula.
- Cukup air segar.
Harapan itu tentu hanya lebih menambah rasa haus. Kata-kata itu
menghilang di kaki bukit dan rerumputan tempat duduk basah kuyup
karena keringat terus mengucur dari seluruh tubuh.
"Coba panggil pak guru ke sini. Mana daya cipta kata-kata?
Bohong ah, ngajar yang tidak-tidak".
***
Dua tahun kemudian di kampung kami seorang anak mula digebuk
sampai babak belur dan memar mukanya. Sebabnya tak lain dari
fitnah. Ia ketahuan menyebarkan gossip bahwa kepala desa kami
--seorang veteran revolusi fisik - "ada main" dengan gadis
keponakannya sendiri, suatu hal yang hampir tabu bagi adat di
kampung kami, sehingga seandainya berita itu benar, kepala desa
itulah yang tentu babakbelur.
Pengalaman itu terasa demikian kasarnya, sehingga suatu hari
saya tanyakanlah hal itu kepada ayah. "Mengapa fitnah harus
dihukum sedemikian kejam? Seperti sewenang-wenang saja. Fitnah
kan cuma berita bohong. Kalau bohong artinya tidak benar. Kalau
tidak benar mengapa tidak ditinggalkan saja? Perduli amat dengan
cerita burung!" Ayah saya termasuk orang yang amat selektip
dalam menjawab pertanyaan anak-anaknya. Tidak semua pertanyaan
akan dijawab dan kalauplm ia menjawab, jawabannya tidak selalu
dalam cala yang diharapkan. Maka sekali ini saya berusaha sekuat
tenaga agar jawabannya cukup memenuhi harapan dan keinginan tahu
saya. Betul juga.
"Begini nak! Kalau engkau cerita bahwa teman kelasmu mencuri
uang gajian gurunya, maka biarpun cerita itu cuma bohong,
temanmu itu tetap saja menderita rugi. Karena kata-katamu itu,
diri dan namanya ternoda. Setelah terbukti tidak benar,
kata-katamu mungkin cepat dilupakan orang, tetapi arang yang
tercoreng di muka temanmu itu, amat sukar menghilangkannya".
Pikiran saya sekonyong-konyong tersingkap Pelajaran guru
kesusastraan saya dulu hidup lagi dalam ingatan. Mungkin ada
benarnya juga: kata-kata tak cuma berfungsi menyatakan,
menyampaikan, tetapi juga menciptakan, mengadakan.
***
Sekarang setelah pengertian dan pikiran saya mulai berkembang,
pelajaran itu kembali memberi kesan yang khusus. Teoritis
mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kata-kata dapat berfungsi
menciptakan, mengadakan. Namun, dalam kenyataan, teori itu
terbukti banyak diterapkan orang dalam kehidupan sosial.
Di sana-sini bisa ditemui setiap hari kritik yang terasa amat
dibuat-buat. Kritik itu tidak lahir dari persoalan tetapi justru
menciptakan persoalan yang pada hakekatnya tak ada dan tak
berguna, yang separuhnya lahir dari sinisme murahan. Kita bisa
sedih kalau mendengar bahwa seorang yang sederhana hidupnya
cenderung dicap sebagai tak berhasil, tanpa prestasi, tak
berpunya, tanpa kemungkinan berbuat banyak bagaimana dia dapat
menciptakan prasarana usaha, kalau dia tak berduit? Pokoknya
boleh disepelekan, tidak perduli apakah cara hidup yang demikian
merupakan nasib yang tak dapat ditolak, atau itu memang pilihan
hidup yang dibuat dengan sadar. Sebaliknya kita bisa dibuat
bingung kalau mendengar betapa seorang yang agak makmur hidupnya
dikasakkusukkan sebagai bourjuis, lupa-daratan, tanpa kesadaran
sosial, mengkhianati cita-cita, dan seribu dakwaan lagi.
***
Apa yang menarik di sini adalah logika persoalan. Yang sederhana
hidupnya dikritik karena tak berpunya, sebaliknya yang berpunya
dikritik karena tidak sederhana. Secara absurd: yang sederhana
dikritik karena sederhana, yang makmur dikritik karena makmur.
Yang miskin dikritik karena miskin, yang kaya dikritik karena
kaya.
Persoalannya menjadi kacau bukan saja karena tak adanya
kriterium, tetapi juga karena kuatnya sinisme. Sinisme adalah
sikap menertawakan sesuatu karena perasaan getir (perasaan
seekor rubah yang tak dapat mencapai buah anggur, dan kemudian
mengatakan bahwa anggur itu masam rasanya). Saya kira dari
situlah lahir kemudian ucapan dan pernyataan yang menciptakan
kenyataan yang lain samasekali. Yang berhati-hati disebut
pengecut. Yang berani disebut ceroboh. Yang banyak pertimbangan
dituduh tak mampu mengambil keputusan. Yang cepat memutuskan
disebut picik. Yang sederhana disepelekan. Yang makmur
digossipkan.
Dan saya tercenung lagi: menyebut seorang picik sama dengan
menjadikannya picik. Betapa sinis, betapa getir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini