Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Daya cipta kata-kata

Kata-kata tak cuma berfungsi menyatakan, menyampaikan, tetapi juga menciptakan, mengadakan. banyak kritik yang justru menciptakan persoalan, hanya lahir dari sikap sinis.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU saya rasa bohong besar kalau mendengar penjelasan guru kesusastraan bahwa kata-kata yang kita guakan, sebenarnya tidak hanya berfungsi mcnyatakan, meyampaikan tetapi juga mencipta? mengadakan. Bahwa keterangan itu bohong belaka, mudah pula dibuktikan. Suatu sore sehabis main bola di lapangan sekolah, duduklah kami di bawah sebatang pohon kelapa, lalu mulai berexperimen. "Hei, masih ingat pelajaran kesusastraan dua minggu lalu? atau benar bahwa kata-kata dapat menciptakan dan mengatakan, mengapa tidak lebih baik kita mencipta minuman-minuman sekarang?". Maka lima orang dari antara kami segera sibuk mengucapkan sesuatu, seperti mantera layaknya. Tiba-tiba terdengar instruksi. "Dari kiri ke kanan. Mulai!" - Air kelapa muda. - Air jeruk. - Nenas. - Air tomat dengan gula. - Cukup air segar. Harapan itu tentu hanya lebih menambah rasa haus. Kata-kata itu menghilang di kaki bukit dan rerumputan tempat duduk basah kuyup karena keringat terus mengucur dari seluruh tubuh. "Coba panggil pak guru ke sini. Mana daya cipta kata-kata? Bohong ah, ngajar yang tidak-tidak". *** Dua tahun kemudian di kampung kami seorang anak mula digebuk sampai babak belur dan memar mukanya. Sebabnya tak lain dari fitnah. Ia ketahuan menyebarkan gossip bahwa kepala desa kami --seorang veteran revolusi fisik - "ada main" dengan gadis keponakannya sendiri, suatu hal yang hampir tabu bagi adat di kampung kami, sehingga seandainya berita itu benar, kepala desa itulah yang tentu babakbelur. Pengalaman itu terasa demikian kasarnya, sehingga suatu hari saya tanyakanlah hal itu kepada ayah. "Mengapa fitnah harus dihukum sedemikian kejam? Seperti sewenang-wenang saja. Fitnah kan cuma berita bohong. Kalau bohong artinya tidak benar. Kalau tidak benar mengapa tidak ditinggalkan saja? Perduli amat dengan cerita burung!" Ayah saya termasuk orang yang amat selektip dalam menjawab pertanyaan anak-anaknya. Tidak semua pertanyaan akan dijawab dan kalauplm ia menjawab, jawabannya tidak selalu dalam cala yang diharapkan. Maka sekali ini saya berusaha sekuat tenaga agar jawabannya cukup memenuhi harapan dan keinginan tahu saya. Betul juga. "Begini nak! Kalau engkau cerita bahwa teman kelasmu mencuri uang gajian gurunya, maka biarpun cerita itu cuma bohong, temanmu itu tetap saja menderita rugi. Karena kata-katamu itu, diri dan namanya ternoda. Setelah terbukti tidak benar, kata-katamu mungkin cepat dilupakan orang, tetapi arang yang tercoreng di muka temanmu itu, amat sukar menghilangkannya". Pikiran saya sekonyong-konyong tersingkap Pelajaran guru kesusastraan saya dulu hidup lagi dalam ingatan. Mungkin ada benarnya juga: kata-kata tak cuma berfungsi menyatakan, menyampaikan, tetapi juga menciptakan, mengadakan. *** Sekarang setelah pengertian dan pikiran saya mulai berkembang, pelajaran itu kembali memberi kesan yang khusus. Teoritis mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kata-kata dapat berfungsi menciptakan, mengadakan. Namun, dalam kenyataan, teori itu terbukti banyak diterapkan orang dalam kehidupan sosial. Di sana-sini bisa ditemui setiap hari kritik yang terasa amat dibuat-buat. Kritik itu tidak lahir dari persoalan tetapi justru menciptakan persoalan yang pada hakekatnya tak ada dan tak berguna, yang separuhnya lahir dari sinisme murahan. Kita bisa sedih kalau mendengar bahwa seorang yang sederhana hidupnya cenderung dicap sebagai tak berhasil, tanpa prestasi, tak berpunya, tanpa kemungkinan berbuat banyak bagaimana dia dapat menciptakan prasarana usaha, kalau dia tak berduit? Pokoknya boleh disepelekan, tidak perduli apakah cara hidup yang demikian merupakan nasib yang tak dapat ditolak, atau itu memang pilihan hidup yang dibuat dengan sadar. Sebaliknya kita bisa dibuat bingung kalau mendengar betapa seorang yang agak makmur hidupnya dikasakkusukkan sebagai bourjuis, lupa-daratan, tanpa kesadaran sosial, mengkhianati cita-cita, dan seribu dakwaan lagi. *** Apa yang menarik di sini adalah logika persoalan. Yang sederhana hidupnya dikritik karena tak berpunya, sebaliknya yang berpunya dikritik karena tidak sederhana. Secara absurd: yang sederhana dikritik karena sederhana, yang makmur dikritik karena makmur. Yang miskin dikritik karena miskin, yang kaya dikritik karena kaya. Persoalannya menjadi kacau bukan saja karena tak adanya kriterium, tetapi juga karena kuatnya sinisme. Sinisme adalah sikap menertawakan sesuatu karena perasaan getir (perasaan seekor rubah yang tak dapat mencapai buah anggur, dan kemudian mengatakan bahwa anggur itu masam rasanya). Saya kira dari situlah lahir kemudian ucapan dan pernyataan yang menciptakan kenyataan yang lain samasekali. Yang berhati-hati disebut pengecut. Yang berani disebut ceroboh. Yang banyak pertimbangan dituduh tak mampu mengambil keputusan. Yang cepat memutuskan disebut picik. Yang sederhana disepelekan. Yang makmur digossipkan. Dan saya tercenung lagi: menyebut seorang picik sama dengan menjadikannya picik. Betapa sinis, betapa getir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus